SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN
Jumat, 28 Agustus 2015 11:50
Tanjung Katung, Saksi Layu Kejayaan Kayu di Kabupaten Kotim
SAKSI KEJAYAAN: Dermaga kayu di tepian Sungai Mentaya menjadi gerbang pintu menuju Desa Tanjung Katung.

Empat warsa silam, Tanjung Katung menjadi simbol kerajaan perkayuan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah. Berganti dinasti, dan perlahan mati. Setelah 45 tahun berlalu, yang tersisa hanya desa yang juga hampir ‘mati’.

LAPORAN Usay Nor Rahmad, Metana HS, dan M Faisal

Raung kapal bermesin tempel berhenti di menit kelima. Daprah, karet pengaman, di moncongnya beradu dengan dermaga tua Tanjung Katung. Keheningan menyergap tatkala mesin disel itu berhenti berbunyi. Tanjung Katung begitu sunyi, tak lagi sama dengan puluhan tahun lalu, kala kayu masih menjadi ‘madu’.

Untuk mencapai Tanjung Katung, perlu 20 menit perjalanan darat dari Sampit, ibu kota Kotim, menuju Desa Belanti. Kemudian menyeberangi Sungai Mentaya yang melebar sekira 400 meter menggunakan kelotok.

Dulu, di tanah itu, menghampar kerajaan industri perkayuan, PT Meranti Mustika Plywood (MMP) yang kesohor. Perusahaan pengolah gelondongan meranti menjadi kayu lapis itu hanya salah satu saksi kejayaan perkayuan di tengah rimba Borneo.

Saking identiknya perusahaan tersebut dengan kayu, warga menyebut kompleks permukiman di sana dengan sebutan ‘plywood’. Sebutan itu bertahan hingga kini.

PT MMP dirintis pada periode 1970. Setelah itu, mulai 1975, perusahaan berdiri dan memproduksi kayu lapis yang dikenal dengan sebutan plywood. Bahan utama adalah meranti. Ada juga kayu lainnya; tengkawang ataupun lepeh.

Kayu mentah dipasok dari daerah di hulu Sungai Mentaya, seperti Parenggean, Tangar, Sangai, Kuayan, Sebabi, serta Keminting. Alur sungai itu disesaki rakit-rakit kayu gelondongan. Periode 1988-1998 menjadi masa keemasan. Produksi kayu lapis menembus pasar internasional seperti Dubai, Hong Kong, dan Korea.

Medio 1990-an, tepatnya 1995, aroma kehancuran ‘raja kayu’ di Kotawaringin ini mulai merebak. Aset PT MMP dijual kepada PT Industri Kayu Meranti Mustika (IKMM). Pucuk pimpinan beralih dari Njoto Soenarto ke tangan Ir Tandiono.

”Politik dinasti itu juga ada di perusahaan ini,” ujar Syarief Arifin, mantan karyawan, yang ditemui Radar Sampit di Tanjung Katung, Kamis (11/6) lalu.

”Semenjak menjadi IKMM perubahan besar terjadi.  Mungkin mereka (pimpinan PT IKMM) merasa kayu masih banyak dan tak akan habis. Pikiran mereka, untuk apa membuat plywood, lebih baik jual kayu log,” sambung Syarief.

Syarief bekerja di dua periode perusahaan itu, mulai PT MMP hingga PT IKMM. Kini usianya 61 tahun. Namun dia belum lupa ihwal kebangkrutan perusahaan yang menjadi sumber penghidupannya hingga kini.

Saat produksi plywood tamat, PT IKMM memilih menjual langsung kayu log ketimbang mengolahnya. PT IKMM juga sempat bekerja sama dengan pengusaha Taiwan untuk mengembangkan penjualan kayu log-nya.

”Setelah perusahaan diakuisisi oleh PT Industri Kayu Meranti Mustika (PT IKMM) dan pimpinannya ganti, semuanya jadi sulit. Gaji ‘mati’. Per bulan hanya Rp 700 ribu (gaji tingkat supervisi). Tidak ada libur, hari besar pun tetap masuk, ” katanya.

Empat tahun berselang setelah alih dinasti pada 1995, perusahaan mulai oleng. Tanda-tanda yang terlihat adalah penyempitan lahan kayu yang dimiliki. Akhirnya, pada 2003 perusahaan berhenti total karena terlilit utang dengan Bangkok Bank.

Kawasan lahan hutan kayu yang dimiliki pun menyusut cepat. Luas hak pengusahaan hutan (HPH) yang pada 1999 sebesar 46.879 hektare, di tahun 2001 menyusut menjadi 33.498 hektare, dan tahun 2007 hanya tersisa 32.491 hektare. Diperparah lagi dengan tragedi berdarah 2001 yang membuat karyawannya menghilang satu per satu.

Akibat terlilit utang, seluruh aset perusahaan PT IKMM disita pengadilan pada 2005. Pengadilan memutuskan melelang aset. Lelang dinilai perlu karena 912 karyawan yang masih tercatat belum menerima uang pesangon. Yang dilelang adalah mesin pengolahan kayu. Pada  2007, PT Tuti Eksperindo, memenangkan lelang tersebut dan membeli mesin seharga Rp 13,5 miliar.

”Setelah itu saya tidak tahu berapa yang diterima masing-masing karyawan, karena enam bulan sebelum itu saya sudah mengundurkan diri,” ungkap Syarief.

Pascalelang, yang tersisa hanya bangunan gudang dan pabrik pengolahan. Pada 2009, Bangkok Bank memutuskan membongkar sisa-sisa pabrik. Besi-besi pondasi pabrik  pun telah habis diambil oleh oknum warga untuk dijual.

Kamis (11/6), Radar Sampit tiba di Tanjung Katung hampir tengah hari. Di sekitar dermaga, tampak berdiri lesu banguan tiga kali dua meter, yang telah kelompang. Di pos jaga inilah biasanya sekuriti perusahaan mengawasi ribuan kubik kayu gelondongan yang berendam di Sungai Mentaya. Kayu yang datangkan dari hulu sungai sebagai bahan utama untuk membuat plywood.

Meniti jembatan dermaga yang reot, pijakan kaki berganti ke bebatu-batuan kasar. Memang sepertinya pernah diaspal. Tapi kini, aspalnya telah mengelupas dan menyisakan keretakan di banyak tempat. Menyusuri jalan itu, beberapa rumah tampak masih berdiri, ditandai dengan jemuran pakaian di terasnya.

Tak sedikit rumah kayu seukuran tipe 35 itu, yang terlihat kosong dan angker, karena telah berjelaga dan ditutupi  semak belukar. Di situlah kompleks mess para pekerja kelas tiga pabrik pengolahan kayu itu. Di kompleks ini, ada sekitar 65 kepala keluarga (KK) yang masih bertahan. Sebagian besar adalah bekas karyawan PT MMP.

”Lambat laun kampung ini ditinggalkan warganya. Ada yang memilih bekerja di perusahaan perkebunan, dan pindah ke Kota Sampit. Sementara yang masih menetap karena masih mengajar sebagai guru di kampung ini, dan memilih bertani dan berkebun di kampung ini,” ucap Herman A Tamis, kepala desa pertama Tanjung Katung.

Konon, dulunya kampung ini ramai. Selalu dipadati aktivitas perkayuan. Namun kini tak ubahnya seperti kota mati. Tak banyak fasilitas yang terlihat. Di sepanjang jalan, sisi kanan dan kiri hanya terlihat pohon pisang, disisipi semak liar.

”Kalau tidak berkebun pisang, berkebun karet, atau memagat (mengambil rotan dari hutan), mereka mau kerja apa lagi. Banyak yang bergantung dengan hasil kebun karena memilih tetap tinggal di sini, ” katanya.

M Zainuddin, eks karyawan PT MMP yang masih bertahan, mengaku enggan meninggalkan kampung itu. Selain karena keterbatasan kemampuan, besarnya kecintaan terhadap lingkungan menjadi alasan.

”Berat rasanya pindah. Memang sempat ada tawaran untuk pindah ke Desa Ganepo (desa baru sebelah utara) dan ke Sampit, tapi kami sudah menyatu dengan kampung ini,” Kata Zainuddin.

Berjalan ke hilir (utara), masih tersisa kompleks pendidikan. Di sini masih ada bangunan SD Swasta Meranti Mustika, SMP Meranti Mustika, dan SMK Ambarwati. Tak setangguh prestasi yang ditorehkan peserta didiknya, sekolah ini pun sudah kerontang dimakan waktu. Beberapa ruang kelas pun mengalami kehancuran sana-sini, namun tertutupi dengan tampilan luarnya yang dipoles warna-warna cerah.

Sekitar tiga kilometer ke hilir dari kompleks sekolah itu, tak ada pemandangan mencolok selain hamparan kebun pisang nan luas. Namun jika diperhatikan dengan seksama, masih ada puing-puing beton raksasa yang terbenam di permukaan tanah. Dulunya, itu adalah pabrik plywood yang mendunia. Kini, seluruh bangunan rata dengan tanah.

Sekitar dua kilometer perjalanan, pemandangan berbeda terlihat. Tampak beberapa perumahan lebih besar dari mess sebelumnya. Meski juga berbahan kayu, konstruksi bangunan yang berbeda dengan sentuhan modern, seakan mendeskripsikan kesenjangan sosial di kala itu. Kompleks ini merupakan kediaman para manajer perusahaan, atau biasa disebut warga lokal rumah insinyur. Kawasan ini terlihat lebih ramai, berbeda dengan lokasi sebelumnya di eks mess pekerja. Salah satunya dengan sudah terlihatnya hewan ternak yang berkeliaran.

Beredar kabar, bekas kawasan PT MMP telah dibeli oleh pengusaha tambang bijih besi asal Sampit. Asa pun itu pun kembali menyeruak bagi warga sekitar. Namun di balik itu, ada kekhawatiran bagi mereka. Mereka takut akan didepak dari tempat tinggal yang sudah puluhan tahun didiami.

”Semoga bisa dihibahkan lahan 110 hektare ini. Karena di sini masih ada madrasah dan masjid yang masih diperlukan termasuk mess yang ada. Sesuai perjanjiannya, lahan di sini tak masuk kawasan yang dilelang, ” tandas Zainuddin. (/dwi)

 

”Pokoknya Enak Lah!!”

Mantan supervisor PT Meranti Mustika Plywood (MMP), Syarief Arifin (61), menuntun Radar Sampit kembali ke masa keemasan ‘kerajaan kayu’ itu pada 1980-an. Dia paham betul, dan masih hafal sejarah perusahaan di Tanjung Katung itu. Pria berjenggot itu bahkan masih ingat bagaimana PT MPP menghasilkan plywood dengan kualitas terbaik.

Plywood dengan kualitas wahid dihasilkan dari meranti. Ada dua jenis meranti; merah dan putih. Di antara kedua jenis kayu itu, meranti merahlah yang mampu menghasilkan plywood kualitas ekspor.

”Ada grade A, B, dan C. Grade A dan B untuk diekspor, sedangkan grade C untuk lokalan (pasar dalam negeri),” jelasnya.

Zaman itu, saat pasokan kayu mentah datang dari hulu Sungai Mentaya seperti daerah Parenggean,Tangar, Sangai, Kuayan, Sebabi, serta Keminting. Sepanjang aliran sungai dipenuhi rakit-rakit kayu gelondongan. Banyak jenis kayu yang disuplai, seperti meranti, tengkawang, lepeh, dan lainnya.

Kayu-kayu itu lantas diangkat menggunakan crane. Kemudian dimasukkan ke areal pabrik untuk dikeringkan menggunakan mesin. Selanjutnya disortir berdasar diameter. Kayu yang dengan panjang 25 meter ke atas dijadikan bahan baku untuk plywood dan paper overlay. 

Paper overlay adalah lembaran pelapis yang terbuat dari kayu, bentuknya tipis dan berserat. Sementara sisanya, yang berukuran 25 meter ke bawah, akan dijadikan papan blok dengan tebal 23-27 milimeter.

Plywood produksi perusahaan ini memiliki panjang 8 ft dan lebar 4 ft (kurang lebih 2,44 meter x 1,22 meter). ”Grade A dan B tergantung permintaan pasar, ada juga ukuran 3 x 6 meter,” tambahnya pria berdarah Sulawesi itu.

Kala itu, lahan yang dimiliki PT MMP mencapai 104 hektare. Dengan panjang lima kilometer, membentang di sepanjang Tanjung Katung. Perusahaan pengolahan kayu ini memiiliki lebih dari lima ribu karyawan. Pekerja dibagi menjadi tiga sesi waktu, 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, pabrik ini nonstop mengolah kayu.

Kawasan perusahaan dibagi menjadi tiga. Perkantoran, gudang logistik, dan pabrik pengolahan. Kantor berada di bagian tengah, ditandai dengan dermaga kecil tempat karyawan menyeberang. Dua dermaga besar menjadi gerbang untuk dua bangunan yang mengapit perkantoran. Sisi kanan dermaga pabrik, sisi kiri dermaga gudang. Gudang yang terbuat dari kayu itu membujur ratusan meter. Di sinilah kayu-kayu gelondong yang tiba diangkut ke pabrik. Sedangkan dermaga kanan berfungsi sebagai tempat kapal-kapal besar dan tongkang mengangkut hasil akhir olahan.

”Kerjanya 24 jam namun mesin kerjanya dibatasi tujuh jam siang dan tujuh jam malam. Dalam satu hari beroperasi sebanyak 800 meterkubik kayu yang menjadi bahan bakar,” ungkapnya. Dari satu kali operasi itu, hanya 300 meterkubik yang dihasilkan.

Risiko kerja waktu itu pun sangat tinggi. Jika tak hati-hati, anggota tubuh bisa putus karena tajamnya gergaji raksasa pembelah kayu. Bahkan di beberapa ruangan tak bisa sembarangan orang bisa masuk, selain petugas ahli. Seperti Glue Room (ruang pengeleman), jika tak terbiasa bisa jadi malapetaka.

”Bisa-bisa beku, dan salah-salah bisa kudisan karena tak tahan dengan lem,”ujarnya.

Tahun 1970 merupakan masa perintisan bagi PT Meranti Mustika Plywood (MMP). Saat itu, perusahaan bekerja melakukan pembelahan kayu, dari kayu log menjadi kayu setengah jadi. Namun lima tahun selanjutnya, perusahaan itu berkembang dan memproduksi plywood (kayu lapis).

PT MMP menoktahkan namanya pada 1982 menjadi perusahaan resmi penghasil kayu lapis. Kala itu, Njoto Soenarto menjadi pemegang puncak kekuasaan tertinggi perusahaan. PT MMP memiliki Hak Pengelolaan Hutan (HPH) seluas 46.879 hektare. Mereka merengkuh puncak kejayaan di tahun 80-an akhir hingga 90-an awal.

Njoto Soenarto merupakan warga Singapura yang pindah kewarganegaraan dan berdomisili di Jakarta. Njoto Soenarto memiliki tiga perusahaan pengolah kayu di Tanjung Katung.  Mulai PT MMP, PT Tribuana rama (KTR) I dan PT KTR II.

PT MMP menghasilkan plywood, sementara PT KTR I dan PT KTR II menghasilkan kayu moulding dan soundtimber . Semua hasil olahan perusahaan-perusahan itu berkualitas ekspor. Di tangan dinginnya, PT MMP  berkembang pesat, dan konon menjadi perusahaan terbesar di Kalimantan Tengah saat itu. Manajemen perusahaan pun, menurut mantan karyawan, sangat memuaskan.

”Saat itu tunjangan masih ada, gajinya harian, pokoknya enak lah. Tapi setelah perusahaan diakuisisi oleh PT Industri Kayu Meranti Mustika (PT IKMM) dan pimpinannya ganti, semuanya jadi sulit. Gaji ‘mati’. Per bulan hanya Rp 700 ribu (gaji tingkat supervisi). Tidak ada libur, hari besar pun tetap masuk, ” katanya. Terdapat dua periode kepemimpinan atas perusahaan ini. PT MMP pada periode 1982-1995, dan PT IKMM pada tahun 1995-2003. (oes/dwi)

 

loading...

BACA JUGA

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers