SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Senin, 11 Desember 2017 16:29
MENGINSPIRASI!!! Legenda Persebaya Ini Menetap di Sampit, Mengabdi untuk Sepak Bola hingga Tua
PENGABDIAN: Didik Nurhadi (depan, bertopi), memberi instruksi kepada anak didiknya di SSB Rudi Sport. (FOTO: TAMAMU RONY/RADAR SAMPIT)

Namanya berkibar saat membela Persebaya puluhan tahun silam. Di usianya yang kian senja, Didik Nurhadi setia mengabdikan diri untuk sepak bola yang dicintainya.

TAMAMU RONY, Sampit

Cuaca siang itu mulai mendung. Sinar matahari perlahan mulai hilang terhalang awan hitam. Seorang pria gempal, bertopi, dengan kulit gelap, berdiri di antara belasan anak-anak di atas rumput lapangan Kompi Antang, Jalan Tjilik Riwut, Sampit.

Pria berusia 67 tahun itu sesekali meniup peluit memberi instruksi. Belasan anak asuhnya mengikuti aba-aba yang diberikan sang pelatih. Didik, Minggu (19/11) itu, tengah sibuk melatih anak didiknya yang tergabung dalam Sekolah Sepak Bola (SSB) Rudi Sport.

Hujan perlahan turun membasahi pakaiannya. Namun, dia tak bergeming. Demikian pula belasan anak didiknya. Wajah mereka masih ceria meski dihujam butiran air hujan.

Bagi Didik, cuaca bukan halangan mengasah kemampuan olah bola. Radar Sampit ikut merasakan semangat itu dari pinggir lapangan. Berteduh dari hujan.

Hari itu, Didik kembali mengingat perjuangannya membela timnya, Persebaya Surabaya. Di sela istirahat, dia menceritakan kisahnya. Ingatannya masih tajam mengenai memori kejayaan puluhan tahun silam.

Didik merupakan salah satu kiper kawakan. Namanya berkibar di Kota Surabaya pada masanya. Pria kelahiran Gresik, 17 Desember 1950 itu, memulai karier sepak bola profesional sejak tahun 1973. Saat itu, Bajul Ijo—julukan Persebaya—di bawah asuhan pelatih Yanuar Pribadi.

Dia mengawali hobinya itu dari kampungnya, Desa Gapura, Kelurahan Gapura Sukolilo, Gresik, Jawa Timur. Selama tiga tahun, dia menjadi pemain klub kecil bernama Bentoel, sebagai pemain inti. Hingga akhirnya dia jadi bagian dari Persebaya Surabaya, klub raksasa di provinsinya.

Puncak kariernya mengamankan mistar gawang Persebaya terjadi pada 28 Januari 1978. Persebaya berhadapan dengan Persija Jakarta dalam final Kompetisi Divisi Utama Indonesia yang digelar di Stadion Gelora Bung Karno, 28 Januari 1978.

Didik turut berjasa mengantarkan Persebaya menjadi juara kompetisi tertinggi di Indonesia pada musim 1977-1978. Meski gawangnya kebobolan tiga gol, Persebaya keluar sebagai juara setelah empat gol bersarang di gawang Persija.

Kendati pertandingan penuh emosional itu mengantarkan Persebaya sebagai kampiun/ jawara Nusantara, bagi Didik, pertandingan paling berkesan adalah ketika Persebaya melawan Ajax Amsterdam pada 11 Juni 1975 silam.

Tensi penonton yang menyesaki Stadion Gelora 10 Nopember Surabaya kala itu sangat tinggi. Antusiasme warga mampu menggetarkan detak jantungnya. Didik mengaku tak pernah mengira, kecintaannya pada sepak bola, mampu membawa anak desa menjajal pemain kelas dunia.

”Sekitar 60 ribu orang memadati stadion. Rasanya bangga sekali," katanya.

Meski harus takluk dengan skor 3-2, Didik tetap puas. Mengingat saat itu, Ajax diperkuat sejumlah pemain timnas Belanda yang sukses mencapai final Piala Dunia 1974 (Belanda kalah dari Jerman Barat dengan skor 2-1).

Menghadapi pemain kelas dunia, Persebaya turun dengan skuad terbaik. Didik Nurhadi bertugas sebagai kiper utama. Dia berjuang bersama rekannya, di antaranya Rusdi Bahalwan, Jacob Sihasale, Lukman Santoso, Ngurah G Rai, Hartono, Burhan Harahap, Nyoman Witarsa, Hamid Asnan, Abdul Kadir, dan Subodro.

Didik dan kawan-kawan, bermain total menahan gempuran Ajax Amsterdam yang saat itu diperkuat Stuy (penjaga gawang), Ruud Krol, Van Dorf, Stefan Hasen, Dusbaba, Anidas, Suurbier, Johnny Rep, Rene Notten, Gerrie Muhrend, dan Hiels. Nama Johnny Rep cukup mentereng. Dia pencetak gol terbanyak ketiga pada Piala Dunia 1974 bersama Gerd Muller (Jerman Barat) dan Ralf Edstrom (Swedia) dengan raihan empat gol.

”Pertandingan berjalan sangat seru sekali. Saya tidak pernah membayangkan, semua personel Persebaya harus bekerja sangat keras menyamakan skill dengan pemain bertaraf internasional,” ujarnya.

Didik terus menoreh catatan emas dalam kompetisi sepak bola nasional. Dia ikut mengantarkan Persebaya menjuarai banyak pertandingan yang diselenggarakan PSSI selama dua periode di tahun 1975 dan 1977. Namanya semakin berkibar di seluruh Nusantara.

Pertandingan antara Persebaya melawan PSIS Semarang di Kompetisi Perserikatan 1987-1988 pada 11 Januari 1988, juga menjadi momen yang tak kalah meriah dalam sejarah perjalanannya sebagai seorang kiper. Dalam laga itu, adu kuat antara dua tim yang sama-sama dijagokan menimbulkan suasana menegangkan. Sekaligus seru.

Bentrok antara dua tim yang saat itu merupakan rival bebuyutan, mencatat rekor jumlah penonton terbesar sepanjang sejarah kompetisi sepak bola Indonesia, yaitu sekitar 70 ribu orang. Fanatisme Bonek—suporter Persebaya—yang membanjiri Stadion Gelora 10 Nopember, hingga kini belum terpecahkan di Liga Indonesia.

Didik juga pernah bergabung dengan timnas Indonesia. Dia masih ingat betul pertandingan terakhirnya membela tim Garuda. ”Melawan Australia di Gelora Bung Karno 1980. Kalau tidak salah skornya imbang 1-1,” jawabnya sambil tersenyum.

 

Hijrah

Nama Didik mungkin awam bagi sebagian besar masyarakat Sampit masa kini, termasuk penggila bola. Namun, bagi generasi 80-an, namanya membahana hingga ke Sampit. Ayah dari tiga anak itu pernah mampir ke Bumi Habaring Hurung—julukan Kota Sampit—pada tahun 1989.

”Saya masih ingat. Kira-kira tahun 1989 waktu itu, beliau ini (Didik Nurhadi) pernah berkunjung ke Sampit. Saya bahkan sampai bolos sekolah hanya karena ingin melihat kedatangan (salah satu) pemain terbaik bangsa ini,” kata Sulistyono (43), warga Sampit yang saat itu ikut menyaksikan Didik melatih.

Meski usianya kian renta, semangat Didik dalam dunia sepak bola belum padam. Sejak pindah ke Sampit bersama istrinya pada 2009, Didik tak lepas dari dunia yang membesarkan namanya itu.

Kemauannya keras. Pandangannya luas. Skill-nya mumpuni. Cita-citanya untuk menumbuhkan olahraga sepak bola di manapun dia menginjakkan kaki, sangat besar ketimbang harus banting stir terjun ke dunia di luar bidangnya itu. Dia dengan sukarela menjadi pelatih di kesebelasan SSB Rudi Sport.

Pemilik SSB Rudi Sport Rudi Abidinsyah merupakan orang yang menyalurkan semangat Didik. Ketika mengetahui Didik berada di Sampit, dia mengunjunginya.

”Banyak sekali yang kami bicarakan. Mulai visi, misi, dan rencana yang akan dilakukan untuk mengembangkan sepak bola di Sampit ini,” kata pria yang juga pernah membela Persatuan Sepak Bola Sampit (Persesam) era 90-an ini.

Dilatih mantan kiper legendaris, membuat puluhan anak yang bergabung di SSB Rudi Sport sangat antusias. Sebagian besar masih duduk di bangku SMP. Didik selalu mengajarkan disiplin tinggi kepada anak didiknya.

”Disiplin bagi olahragawan itu nomor satu. Olahraga ibarat makan. Kalau manusia tidak disiplin (teratur) makan, pasti sakit. Sama halnya dengan olahraga dan aktivitas lainnya yang memerlukan profesionalitas dalam menjalankannya. Kalau tidak disiplin, harga matinya adalah kegagalan,” kata Didik.

Meski semangatnya besar, Didik agak kecewa karena dukungan pemerintah sangat minim untuk perkembangan sepak bola. Kondisi itu berbeda saat dia masih aktif sebagai pemain. Pemerintah di daerahnya mendukung penuh.

”Mungkin, pemerintah tidak pernah merasakan euforia nikmatnya sebuah prestasi yang diraih melalui sepak bola,” ujarnya.

Anak didiknya, lanjut Didik, harus berjuang sendiri untuk menempa diri dan mengasah kemampuan. Mereka patungan menyisihkan uang untuk menyewa lapangan milik Kompi Antang setiap hari Minggu. Anak-anak itu masing-masing menyetor sebesar Rp 5 ribu.

Uang itu dikumpulkan dalam sebuah toples. Biasanya, setelah sebulan, uang akan dihitung. Setelah terkumpul sekitar Rp 600 ribu, dana tersebut dipakai untuk biaya sewa lapangan. Jika tak sampai terkumpul sebanyak itu, Didik dan Rudi yang menutupi kekurangannya.

”Kita tidak boleh putus asa,” kata Didik.

”Anak-anak yang mau menjadi pemain sepak bola profesional di kota ini masih banyak sekali. Hanya saja, belum kelihatan. Saya yakin akan bermunculan suatu saat nanti. Walaupun saya sudah tidak ada lagi di dunia,” ujarnya.

Ketua KONI Kotim Halikinnor menuturkan, pembangunan olahraga di Kotim perlu banyak perbaikan. Terutama dari segi infrastruktur. Diperlukan sinergisitas semua pihak untuk memajukan olahraga, terutama sepak bola.

Lapangan sepak bola di Sampit yang kerap digunakan untuk bermain bola hanya dua. Pertama lapangan Kompi Antang, tempat Didik melatih anak didiknya. Kedua Stadion 29 Nopember milik Pemkab Kotim. Kondisinya belum memenuhi standar.

Lapangan Kompi Antang yang terletak di pinggir Jalan Tjilik Riwut itu minim fasilitas pendukung. Tak ada tribun penonton. Apabila ada pertandingan, penonton menyaksikan dari pinggir lapangan. Atau bahkan dari pinggir jalan.

Kondisi Stadion 29 Nopember jauh lebih baik meski belum standar. Tribun penonton ada di sisi kiri dan kanan lapangan dengan jumlah terbatas. Lapangannya belum memenuhi standar. Rumputnya tak rata dan kerap jadi kubangan apabila hujan.

”Infrastruktur memang masih minim. Tapi, nanti akan saya bicarakan dengan pihak terkait untuk menanggapi antusiasme masyarakat soal sepak bola ini,” ujar Halikin. (***/ign)


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers