SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN
Rabu, 09 Desember 2015 21:27
Hidup Multiple Choice

Oleh: AZRUL ANANDA

KENAPA ya di sekolah tidak ada bidang studi memilih? Karena hidup ini, dari awal sampai akhir, selalu memberi kita tantangan untuk memilih.

***

Kalau ujian, biasanya ada tipe multiple choice. Pilih jawaban yang benar: A, B, C, atau D.

Kebiasaan saya dulu, selalu menjawab semua pertanyaan sebisa mungkin. Kalau bingung, saya lompati dulu nomor itu, lanjutkan dulu nomor-nomor selanjutnya sampai habis.

Setelah sampai akhir, biasanya ada pertanyaan yang ”bolong” alias belum saya jawab.

Kadang saya memang benar-benar tidak tahu jawabannya, dan tidak tahu cara mencari jawabannya. Mungkin sudah mengeliminasi satu atau dua pilihan, tapi tetap harus memilih dua atau tiga pilihan yang tersisa.

Kalau sudah begitu, percuma berpikir sampai waktu ujian habis. Sekali tidak bisa, tetap tidak bisa. Percuma garuk-garuk kepala atau jedok-jedokin kepala ke meja.

Kalau sudah begitu, main hukum probabilitas saja. Lihat jawaban di sekelilingnya. Kalau nomor-nomor lain banyak yang A, B, dan D, maka kemungkinan besar jawaban nomor yang bolong itu ya C.

Logikanya, tidak mungkin dalam satu lembar ujian itu jawaban C tidak dipakai sama sekali.

Kalau benar, ya sudah alhamdulillah. Kalau salah, ya adil-adil saja, wong memang tidak tahu jawabannya!

Itu soal ujian multiple choice.

Dalam hidup ini, kita selalu diberi banyak pilihan, bukan?

Sejak kita kecil, selalu ada pilihan.

Ibu selalu mengingatkan: ”Jangan minum es, nanti pilek.”

Kita pun memilih: Menurut ibu atau tetap nekat minum es.

Ketika menginjak dewasa, semakin banyak pilihan yang harus kita hadapi. Masuk SMP mana, SMA mana, kuliah jurusan apa di mana. Pilih pasangan yang mana. Pilih menikah atau tidak. Pilih kerja di mana. Pilih kerja atau tidak.

Terus berlanjut.

Beli motor atau tidak. Beli motor yang mana. Beli mobil atau tidak. Beli mobil yang mana.

Masuk ke bioskop, nonton film yang mana.

Sakit parah, pilih dokter yang mana. Perawatan model apa.

Badan agak tidak nyaman, antara sakit dan tidak, sehingga harus memilih. Izin absen atau memaksakan masuk.

Merokok atau tidak juga pilihan.

Minum alkohol kebanyakan atau tidak juga pilihan.

Makan kebanyakan sampai kegemukan juga pilihan.

Diet ketat supaya kurus juga pilihan.

Mencuri atau tidak juga pilihan.

Berangkat ke kantor dan lalu lintas padat, kita pun harus memilih memotong lewat mana, melanggar rambu yang mana, menyerempet mobil atau motor yang mana, melompati trotoar yang mana, meneriaki pengguna jalan lain atau tidak, menyundul mobil di depan atau tidak, dan lain sebagainya.

Kalau ternyata distop polisi, kita pun kembali punya pilihan. Membiarkan ditilang dan menjalani prosesnya atau…

***

Kadang orang tidak diberi kesempatan untuk punya banyak pilihan.

Saya sejak SD sudah suka sepatu kets. Tapi, orang tua dulu tidak punya uang untuk membelikan merek top seperti Nike. Sepatu SD saya dulu selalu harga antara Rp 10 ribu sampai Rp 17.500 (Kasogi!).

Waktu itu, Nike paling murah harganya Rp 28 ribu. Jadi, saya pun disuruh mengumpulkan uang. Lama-lama terkumpullah Rp 28 ribu, dan waktu kelas IV SD saya punya sepatu Nike yang pertama.

Saya tidak punya banyak pilihan. Cukupnya hanya untuk satu model itu saja. Saya pun memilih warna hitam. Karena bisa dipakai sekolah, dan lebih awet tidak gampang kotor.

Bertahun-tahun berjalan, saya perhatikan, setiap kali ada kenalan/rekan/siapa pun yang baru kali pertama bisa beli barang bermerek, dia hampir selalu memilih warna hitam!

Dan ketika saya tanya, alasannya kurang lebih sama. Karena tidak gampang kotor dan lebih awet.

Baru ketika lebih punya uang, pilihan jadi semakin banyak. Tidak terasa, sepatu saya jumlah totalnya sempat hampir mencapai 400 pasang.

Saya perhatikan, kenalan/rekan/siapa pun yang kemudian juga punya uang lebih dan punya pilihan lebih, maka dia pun mulai meninggalkan warna hitam. Mulai berani beli sepatu warna-warni ngejreng.

Lalu sebagian orang hidupnya terus membaik, dan pilihan yang dia punya semakin tidak keru-keruan.

Bisa membeli mobil harga miliaran, dan bisa memilih yang mana saja. Walau mungkin tidak mampu mengendalikannya.

Bisa memilih teman siapa saja, hingga kalangan yang paling atas. Walau mungkin kemudian bisa menjerumuskan.

Bisa menyewa pengacara mana saja, yang termahal sekalipun. Walau mungkin hasilnya tidak sesuai harapan.

Pilihan, oh, pilihan.

Saya jadi berpikir, kalau pilihannya terlalu banyak, kita mungkin bisa terbutakan. Kalau hanya A, B, C, atau D, alias hanya empat jalan yang bisa kita pilih, kemungkinan salahnya sudah 75 persen. Kalau opsinya A, B, C, D, sampai tak terhingga, maka kemungkinan salahnya jadi tidak terhingga pula…

***

Sori geser sedikit ke politik, karena ini ujian kumulatif masyarakat untuk memilih.

Sekarang banyak yang mengomel karena wakil rakyatnya berulah. Lha yang memilih siapa?

Sekarang banyak yang mengomel karena eksekutifnya juga berulah. Lha yang memilih siapa?

Saya bukan pakar politik, tapi mau tidak mau memang terekspos dengan negara kita yang sangat ”politik”.

Dalam sepuluh tahun terakhir, saya melihat ada kota atau provinsi yang memilih pemimpin ala ”kucing dalam karung”. Maksudnya, memilih siapa saja asalkan bukan incumbent, karena tak tahan dengan ”parahnya” pemimpin sebelumnya.

Kucing dalam karung lebih baik daripada kucing yang sudah kelihatan kulit dan kelakuannya.

Tapi, saya juga melihat ada kota atau provinsi yang sudah memilih dengan akal sehat, dengan logika, berdasar kinerja.

Ada juga kota atau provinsi yang beruntung, karena semua calonnya punya reputasi dan kinerja baik. Sehingga siapa pun yang menang, hasilnya tidak akan buruk.

Sayangnya, ada juga kota atau provinsi yang kurang beruntung. Karena pilihannya tidak ada yang menggairahkan.

Atau mungkin bukan sayangnya, karena salah masyarakat kota atau provinsi itu sendiri yang memunculkan pilihan?

Pilihan, oh, pilihan.

Sulitnya belajar memilih.

Kalau salah beli sepatu, kumpulkan duit sebentar lagi sudah bisa memilih lagi yang baru. Kalau salah pilih pacar, masih ada sejuta opsi laki-laki atau perempuan lain yang bisa dipilih untuk didekati lagi.

Kalau salah pilih pemimpin? Harus menunggu empat sampai lima tahun lagi untuk punya pilihan lagi. Dan empat atau lima tahun lagi masih bisa salah pilih lagi! (*/jpg)

loading...

BACA JUGA

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers