Mbah Munib Zakaria (76), begitu sapaan akrab pria tua yang masih setia menjalani profesi permak panci di Pangkalan Bun ini. Di tengah gempuran kemudahan teknologi yang kian maju seiring perkembangan zaman, dirinya tetap kukuh menekuni keahliannya tersebut.
Slamet Harmoko, Pangkalan Bun
Garis-garis keriput terlihat nyata di sela-sela senyumnya saat Radar Pangkalan Bun tiba menyambangai. Rambut putih menyembul dari sisi tutup kepala bertuliskan Arema, seolah menunjukkan lelaki ini tak lagi muda.
Mbah Munib, masih tampak sehat. Dengan usia yang kian renta, kakek 22 cucu ini masih setia menjalani profesi langka yang kian terpinggirkan kemajuan zaman.
Permak panci, profesi yang terbilang asing di kota manis Pangkalan Bun. Masih kalah tenar dengan permak jeans, yang masih sering kita jumpai di beberapa lapak dipinggir jalan atau berkeliling dengan motor.
Membuka lapak di sisi utara jalan Udan Said Pangkalan Bun. Menempati lapak kecil bercat biru yang mulai kusam termakan usia. Mbah Munib melayani berbagai perbaikan panci. Mulai menambal, mengganti saringan, hingga memperbaiki bagian bawah panci yang robek.
"Usia 10 tahun mulai belajar memperbaiki panci," ujarnya, sembari terus mengerjakan perbaikan panci milik langganannya. Tangannya masih tampak lincah memainkan palu untuk mengetuk bagian bawah panci yang memasuki tahap akhir perbaikan.
Sekilas tampak mudah, namun permak panci membutuhkan ketelitian. Tak ada peralatan canggih yang digunakan. Selain palu, peralatan yang digunakan berupa gunting, tatakan besi, tang, penggaris dan kayu. Semua orderan perbaikan sebagian besar alat masak itu, ia kerjakan sendiri.
Sedangkan bahan yang digunakan untuk permak adalah seng, plat alumunium dan stainless menyesuaikan bahan pembuat panci yang akan dipermak.
Mbah Munib menceritakan, sebelum secara penuh menekuni profesi permak panci. Dirinya menggantungkan hidupnya dari menerima pesanan membuat plat nomor polisi. Pekerjaan itu ia lakoni sejak tahun 1993, saat pertama kali menginjakkan kaki di Kabupaten Kobar.
"Awalnya bikin plat nomor, dan saat itu ilmu perbaikan panci belum saya gunakan. Karena lebih menghasilkan jadi tukang leter dibanding menjadi tukang permak panci," katanya.
Keahlian menambal dan memperbaiki perabot dapur itu ia peroleh secara turun temurun dari Abdul Wahab, bapak sekaligus gurunya sewaktu masih tinggal di Kabupaten Malang.
"Bapak saya dulu ahli memperbaiki, bahkan membuat panci juga bisa," katanya.
Ia mulai konsentrasi mengerjakan perbaikan panci saat makin menjamurnya usaha leter plat nomor di Pangkalan Bun sekitar tahun dua ribuan. Saat itu, selain makin banyak pesaing, rata-rata mulai menggunakan peralatan yang lebih baik. Selain itu persaingan harga juga mulai terjadi.
Sejak saat itu, meski masih menerima pesanan plat nomor ia akan menyerahkan pesanan ke salah satu anaknya yang telah memiliki usaha serupa.
"Masih nerima orderan plat, tapi yang ngerjakan anak saya. Dia punya lapak sendiri, lokasinya juga di Udan Said ini. Saya fokus ke panci saja," katanya sambil tersenyum menunjukkan barisan gigi depannya yang mulai ompong.
Selain persaingan usaha, menekuni profesi permak panci itu juga ter-ilhami saat ia melihat panci yang dijual ke tukang rongsok, padahal masih bagus dan layak digunakan.
"Waktu itu lihat tukang rongsok bawa panci besar, kelihatannya bagus, tapi bagian bawah sudah keropos dan berlubang. Padahal kalau di perbaiki lagi, masih bisa tahan minimal dua atau tiga tahun lagi," papar Mbah Munib.
Harga jasa perbaikan yang dipatok juga tidak mahal, untuk panci kecil bila menambal hanya dimintai Rp 10 ribu. Namun untuk penggantian bagian bawah (pantat) panci, hanya dikenai Rp 40 ribu. Untuk panci ukuran besar seperti milik penjual mie ayam atau bakso, Munib mengenakan tarif hanya Rp 60 - 75 ribu. Semua sudah termasuk bahan baku untuk perbaikan sesuai dengan bahan pembuat panci.
"Semua sudah dengan bahannya, terima beres dan bisa langsung dipakai," katanya.
Dalam melakukan perbaikan, ia tidak membutuhkan peralatan pengelas atau pun alat press modern. Mengandalkan teknik lipatan saja, bagian sambungan panci dijamin tidak akan bocor.
"Dilipat dan di pukul-pukul saja pakai palu. Yang penting telaten dan harus sabar. Salah sedikit, bukannya rapet panci malah penyok dan akan susah diperbaiki," katanya.
Dalam sehari, Mbah Munib mampu mengerjakan perbaikan berupa penggantian pantat panci hingga lima buah, tergantung ukuran dan juga bahan pembuatanya."Masih mampu lima panci ukuran besar, bisa lebih malahan," tantangnya.
Selain para ibu rumah tangga, pelanggan permak panci biasa berasal dari para penjual mie ayam, soto, hingga penjual bakso ( pentol) keliling. "Penujual pentol yang sering kesini, kalau ibu rumah tangga yang sudah kenal biasanya ke rumah," tambahnya.
Pelanggannya pun tidal hanya seputaran Pangkalan Bun, penjual bakso asal Lamandau pun mempercayakan perbaikan panci kepadanya. " Beli baru bisa sampai Rp 300 ribu lebih, kalau ke saya cukup Rp 75 ribu, panci sudah bisa dipakai lagi," katanya.
Meski tak seramai lima tahun lalu, Mbah Munib mengaku bahwa profesi permak panci ibarat menunggu jatuhnya embun di pagi hari. Namun layaknya embun yang selalu datang dipagi hari, ia juga yakin selama panci masih ada, maka orang akan membutuhkan jasanya.
Di usia yang tidak muda lagi, rupanya ia masih menyisakan harapan. Profesi langka ini, terancam tanpa penerus. Dari enam anaknya, tidak ada yang mampu secara telaten mempelajari ilmu yang selama ini menghidupi dirinya dan keluarga itu.
"Satu saja anak saya yang buka usaha leter plat nomor. Tapi dia tidak bisa permak panci. Lima anak lainnya juga sudah besar dan menikah," tandas Mbah Munib. (*/gus)