SITUS banyak tersebar di berbagai daerah di Kalimantan Tengah. Salah satunya bisa ditemukan di Desa Tangkahen, Kecamatan Banama Tingang, Pulang Pisau. Di lokasi itu, banyak peristiwa bersejarah yang dibuktikan dengan situs yang masih tersimpan rapi hingga sekarang.

 DEDY SANJAYA, Pulang Pisau

Perlu tiga jam perjalanan menuju Desa Tangkahen dari Palangka Raya menggunakan sepeda motor. Kemudian, menyeberang lagi menggunakan kapal feri untuk menuju kampung lama. Oleh warga setempat, kampung itu disebut-sebut sudah berpenghuni sejak ratusan tahun lalu, saat desa lain masih berupa hutan belantara. 

”Tangkahen dulunya berada di seberang, di pinggiran Sungai Kahayan. Lambat laun masyarakat mulai berkembang. Sebagiannya ada yang merantau ke kota, sebagian lagi pindah ke seberang sungai, mendekati akses jalan lintas provinsi," ujar Masimpay, tokoh masyarakat Desa Tanghaken, beberapa waktu lalu.

Masimpay menuturkan, bukti kuat bahwa Kampung Tangkahen usianya sangat lama, yakni dengan keberadaan kayu ulin besar yang teronggok di pinggir sungai. Kayu tersebut sepanjang sekitar 20 meter.

Dasarnya menyentuh pantai tepian sungai. Menurut Masimpay, kayu ulin tersebut merupakan bekas titian atau jembatan orang terdahulu yang digunakan untuk menyeberangi Sungai Kahayan.

”Dulu jembatan ini panjang sekali. Dari kampung lama ini sampai ke kampung seberang hampir ratusan meter. Uniknya, titian ini hanya terdiri dari satu batang pohon ulin saja, tidak disambung-sambungkan. Sejak orangtua saya lahir, titian ini sudah ada. Bahkan, katanya sudah ada sejak kakek kami. Oleh masyarakat Tangkahen, Titian ini diberi nama Henan Bawi Ayah, yang artinya titian orang Tangkahen terdahulu," tutur Masimpay.

Meski memiliki bukti situs Hejan Bawi Ayah yang berasal dari pohon kayu ulin, di sekitar hutan perkampungan Desa Tangkahen tidak ditemukan pohon kayu besi tersebut. Justru di desa lain di dekatnya yang ada, seperti Desa Pematang Limau dan Desa Pandawei. Keanehan tersebut dipercaya berasal dari adanya kisah orang dahulu.

”Jadi, dulu, orang-orang besar yang mendiami Desa Tangkahen ini sedang membuat sumpit untuk senjata berburu. Sumpit dibuat dari potongan kayu ulin besar yang dilubangi bagian tengahnya. Nah, saat memain-mainkan anak sumpit, rupanya sang anak yang masih kecil, kira-kira seukuran manusia, masuk ke dalam sumpit tersebut. Ketika disumpitkan, sang anak terlempar jauh dan meninggal," ujar Masimpay.

Masimpay melanjutkan, orang-orang berbadan besar itu marah dan mencabut semua tanaman ulin di Desa Tangkahen. Semua kayu dan pohon kayu ulin dicabut hingga tidak tersisa, kemudian dibuang di tengah Sungai Kahayan. Keaslian cerita tersebut bisa dibuktikan dengan banyaknya fosil pohon ulin yang terendam di dasar sekitar sungai.

Tokoh masyarakat lainnya, Jonjobilo Didie D Ajun mengatakan, dulunya Desa Tangkahen dihuni orang-orang dengan ukuran badan yang besar dan tinggi. Hal itu dibuktikan dengan adanya bekas Titian Hejan Bawi Ayah yang mustahil bisa dibuat manusia biasa. Selain itu, ada pohon pinang yang berukuran besar di Desa Tangkahen.

”Pohon pinang tawar yang hidup di desa kami merupakan sebuah tanaman yang cukup aneh dan langka. Tidak ada di desa manapun, meski bentuk buahnya tak ada bedanya dengan pohon pinang pada umumnya. Namun, pinang tawar di Desa Tangkahen memiliki tinggi yang mengalahkan pohon kelapa dengan buah yang juga sangat besar,” katanya.

”Ukuran buahnya bisa dua kali lipat dari pinang biasa. Bila dimakan rasanya tawar," tandasnya. (ds/ign)