RITUAL Nyanggar dan Barasih Banua, menjadi salah satu ritual adat di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat yang sudah dilaksanakan turun temurun. Acara ini juga disaksikan sejumlah wisatawan yang transit, sebelum menuju Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP).
JOKO HARDYONO, Pangkalan Bun
PROSESI upacara Adat Nyanggar dan Barasih Banua di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) masih terus dijalankan hingga saat ini oleh para penerus dari para leluhur di Kumai.
Damang Adat, Arbain Johan (50) yang merupakan keturunan dari leluhur dan melakukan prosesi upacara Nyanggar dan Berasih Banua itu menyampaikan, lokasi ritual adat antara lain pertama di muara Sungai Nyirih. Proses itu menurutnya merupakan simbol dari pemerintahan sejak dulu, diawali sudah ada perjanjian nenek moyang leluhur yang kini menjadi prosesi adat yang turun menurun.
"Jadi membawa balai istana (miniatur) sebagai tempat istana mereka dengan 40 macam kue tradisional," ujarnya, Rabu (14/3) kepada koran ini.
Prosesi adat itu diawali dengan membawa 7 balai istana, satu ekor kambing hitam dan miniatur perahu yang diletakkan ayam hitam di atasnya. Semua sarana tersebut dibawa dari Pasar TNTP setelah dibuka oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kobar Masradin dan Ketua DPRR Kobar Triyanto, kemudian dibawa mengunakan perahu kelotok wisata.
Ada belasan perahu kelotok wisata, speedboat, Kapal KPLP, Kapal Polairud, speedboat TNI AL yang juga turut mengikuti jalannya ritual prosesi adat tersebut. Dengan diiringi lantunan musik Tirik sebagaimana dalam prosesi adat, kapal yang membawa sarana balai istana tersebut menuju ke 8 titik lokasi yang berada di sungai Kumai.
Setelah menuju Sungai Nyirih, prosesi dilanjutkan ke muara Sungai Tendang yang merupakan tempat pusaka kerajaan. Kemudian dilanjutkan ke panggung yang saat ini merupakan Pasar Kumai, yang maknanya merupakan tempat pasukan.
"Di Panggung kita menyembelih kambing dan kepalanya ditancapkan di sana, untuk badanya kita masak untuk acara selamatan usai kegiatan," terang Arbain.
Rombongan adat yang terus bergerak ke muara Sungai Kapitan, juga meletakkan balai istana yang maknanya tempat seni dan budaya. Diteruskan kembali ke muara Sungai Sekonyer, yang merupakan tempat pariwisata dan Sungai Pasir Panjang sebagai rumah balai besar tujuh suku, ada juga ke Sungai Sintuk dan Sungai Sentosa.
"Untuk miniatur kapal yang dilarutkan di Sungai Kumai sebagai simbol alat transportasi perdagangan, dan ayam hitam yang masih hidup diikutsertakan, merupakan bekal," tambah Arbain.
Ditegaskannya, dari semua prosesi adat tersebut intinya untuk berserah diri kepada Yang Maha Kuasa.
Ditambahkan Arbain, pembuatan 7 balai istana tersebut pengerjaannya membutuhkan waktu 10 hari, dan untuk menyemangati para pekerjanya, maka diiringi juga lantunan musik Tirik.
"Tirik merupakan musik khas daerah Kumai, isinya berupa pantun-pantun yang intinya untuk membina kerukunan," tandasnya.
Dirinya pun berharap, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Kobar dapat mendukung prosesi adat tersebut agar bisat berjalan setiap tahunnya. Sekaligus juga menjadi daya tarik pariwisata bagi warga, wisatawan lokal dan internasional. (*/gus)