SAMPIT – Tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi tanah Dinas Pendidikan Kotim Jamaludin menyempatkan diri plesiran alias liburan ke Korea saat dia dipanggil pertama kali sebagai saksi dalam kasus itu. Pemanggilan itu dilayangkan Kejari Kotim sepekan sebelum dia ditahan dalam kasus program IP4T.
Hal tersebut tertuang dalam duplik yang dibacakan dalam sidang gugatan praperadilan Jamaludin di Pengadilan Negeri Kotim, Kamis (31/5). Kejari Kotim diwakili tim Jaksa, Arie Kesumawati dan Laddy Lanny Tarore.
Jamaludin awalnya dipanggil pada 16 Maret 2018 lalu. Dia diminta hadir sebagai saksi dalam kasus tanah Disdik pada 20 Maret 2018. Namun, Jamaludin tidak hadir. ”Pemohon (Jamaludin, Red) tidak hadir memenuhi panggilan karena sedang berlibur ke Korea," kata Jaksa dalam dupliknya.
Kemudian, sesuai kesepakatan, Jamaludin dijadwalkan diperiksa pada 26 Maret 2018. Sebelumnya, pada 23 Maret, dia ditahan dalam kasus pertama yang menjeratnya, yakni IP4T. Jaksa menilai apa yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur.
Hal itu menyanggah tudingan Jamaludin yang disampaikan dalam refliknya, yakni tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka. Selain itu, pemeriksaan dan pemanggilan harus secara jelas dengan surat panggilan yang sah dan memperhatikan tenggang waktu yang wajar.
Jaksa menegaskan, Jamaludin dipanggil secara resmi. Surat panggilan itu diberikan kepada pemohon melalui Kalapas Klas IIB Sampit karena yang bersangkutan ditahan di Lapas tersebut.
Mengenai alasan kuasa hukum Jamaludin yang menganggap psikis pemohon praperadilan tidak mampu memahami situasi yang dihadapinya saat jadi saksi karena baru ditahan dalam kasus IP4T, Jaksa menilai hal itu tidak berdasar dan hanya asumsi.
Dalam duplik itu ditegaskan, sebelum diperiksa sebagai saksi, Jamaludin sempat ditanya, apakah bersedia atau minta ditunda. Saat itu, dia menyatakan bersedia, sehingga disiapkan penasihat hukum, Burhansyah, untuk mendampinginya. Hal itu bisa dibuktikan dalam berita acara pemeriksaan.
Selain itu juga ditegaskan, dalam perkara tersebut Jaksa tak menyoal tanah milik Yenni T atau Dinas Pendidikan Kotim. ”Sekali lagi yang menjadi penekanan kami adalah proses penerbitan sertifikatnya yang terindikasi adanya tindak pidana korupsi dan tidak sesuai dengan prosedur yang ada," kata Jaksa.
Terkait penerapan Pasal 1 Perma Nomor 1 Tahun 1956 dan surat panduan dalam sistem penuntutan yang dikeluarkan Kepala Kejagung RI Nomor: B-230/E/Ejp/01/2013, pemohon diminta kembali memastikan isi dan maksud surat tersebut.
Pasalnya, surat yang dimaksud melalui kuasa hukumnya Henry S Dalim dan Kartika Candrasari itu tidak mengatur mengenai apa yang didalilkan.
”Pemohon sangat mengada-ada dan menggunakan dasar yang menyesatkan. Apabila perlu, pemohon menjadikan surat dimaksud sebagai alat bukti pada pemeriksaan praperadilan ini," tegasnya. (ang/ign)