PANGKALAN BUN – Puluhan Warga Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng geram, lahan pertanian yang telah mereka garap selama bertahun-tahun tak kunjung mendapat legalitas.
Wargapun kini resah, khawatir kelak lahan yang digarap tersebut bakal diambil alih oleh pihak lain meski secara fisik lahan itu masih dikuasai mereka.
Alwi, perwakilan warga yang menginginkan legalitas tanah itu mengatakan bahwa kasus yang membelit dirinya dan 27 warga lainnya sudah berlangsung sejak lama tetapi hingga kini belum ada solusi. Menurut mereka, Katono mantan Kepala Desa Karang Mulya yang menjadi biang persoalan tersebut.
Kepada Radar Pangkalan Bun dia membeberkan bahwa puluhan warga itu sudah menggarap lahan yang belum memiliki legalitas itu sejak tahun 2007 silam. Penggarapan lahan itupun atas persetujuan Katono. Warga menanam kelapa sawit di lahan tersebut hingga tanaman itu tumbuh dan berkembang
Namun masalah mulai muncul, tahun 2013 lahan itu di klaim oleh PT Surya Sawit Sejati (SSS). Lahan itu dianggap masuk kawasan perusahaan penghasil CPO tersebut. Persoalan itu lantas mencuat ke public hingga akhirnya difasilitasi untuk mediasi dengan bantuan pihak Kecamatan.
Dalam mediasi itu disepakati bahwa warga mengganti rugi lahan senilai Rp 8 Juta per hektare sekaligus biaya pembuatan SKT (Surat Keterangan Tanah) dan keterangan pelepasan tanah dari PT SSS untuk warga penggarap.
Kala itu dari pihak PT SSS diwakili H Suriadi, sementara yang menjembatani adalah Katono saat dia masih menjabat sebagai Kades Karang Mulya. Setelah mediasi wargapun segera menyetorkan sejumlah uang yang telah disepakati itu kepada sang Kades.
”Kita menyetor ke Pak Katono, namun selama lebih kurang dua tahun masih belum ada kejelasan soal tanah tersebut,” jelas Alwi.
Warga tidak tinggal diam, dan terus mengkonfirmasi kepada Katono hingga sampai ke kantor Desa. Hingga akhirnya terkuak bahwa tanah tersebut oleh Kades dianggap sebagai tanah lembaga atau tanah milik desa.
”Dari sini muncul persoalan hingga akhirnya kami tidak bisa mengajukan pembuatan SKT, termasuk surat pelepasan juga belum kami terima,” lanjut Alwi dan diamini warga lainnya Sri.
Singkat cerita, warga juga sempat mendatangi H Suriadi untuk mencari solusi. Dengan usaha warga itu akhirnya ada kesepakatan bahwa H Suriadi selaku investor dari PT SSS bersedia memberikan surat pelepasan atau penyerahan lahan kepada warga. Namun Katono tak bergeming. Pengajuan pembuatan SKT lahan tersebut tidak dilakukan, tanpa alasan dan argumentasi yang jelas.
”Saat ini kami ingin hak kami diberikan, karena memang kami yang mengganti rugi dengan uang kami dan menanam sawit tersebut, bukti dan saksi jelas,” terang kakek setengah abad ini.
Alwi juga membeberkan, selain kasus tanah dengan 28 warga ini, ada dugaan bahwa selama menjabat sebagai Kades, Katono dianggap kurang transparan termasuk ada beberapa tindakan yang diketahui dan dianggap melawan hukum.
”Saya ini siap dimintai keterangan oleh siapapun, apalagi terkait tanah garapan kami. Karena jelas semua, tinggal hati nurani Pak Katono saja, bagaimana sekarang ini menyikapi kasus ini, karena selama ini yang bersangkutan menghindar terus,” katanya.
Mantan Kepala Desa Karang Mulya Katono tidak dapat dihubungi. Dua nomor ponsel yang biasa digunakan selama ini juga belum berhasil tersambung. Pesan singkat yang dikirimkan media ini sebagai bentuk keberimbangan informasi juga tidak mendapatkan respon.
Sementara itu, Pejabat (Pj) Kepala Desa Karang Mulya, Amir Mahmud mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan upaya mediasi, tetapi menurutnya masih menemui jalan buntu. Bahkan sebelumnya ia juga sempat melakukan negosiasi hingga muncul tawaran 70 persen untuk warga dan 30 persen untuk Desa, tetapi warga masih enggan dan meminta seratus persen kepemilikan lahan.
”Saya pernah melihat bahwa tanah yang dimaksud ini ada SKT nya. tetapi memang atas nama lembaga, yang didalamnya ada Karang Taruna, PKK dan sebagainya. Tetapi itu dulu dan sekarang saya tidak tahu,” jelas Amir.
Saat ini Amir mengaku bahwa tanah tersebut memang tercatat secara aset lembaga desa, karena PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) setiap tahunnya dibayarkan oleh desa. Namun ia juga menyayangkan kenapa waktu itu jika lahan tersebut memang aset desa seharusnya desalah yang wajib mengganti rugi, bukan malah menyuruh warga.
”Kalau kami sempat komunikasi dengan pak Alwi dkk, bahwa bagaimanapun juga kita tetap akan mencarikan solusi terbaik dengan catatan laporan ke ranah hukum dicabut. Karena setahu kami ini sudah dilaporkan ke Kejaksaan, tetapi nyatanya warga tidak mau,” jelasnya.
Terpisah Mantan Sekretaris Desa di masa itu, Surono saat dikonfirmasi menegaskan bahwa sepengetahuan dirinya tanah tersebut memang tanah lembaga. Waktu itu warga diperbolehkan menggarap tetapi tidak diperbolehkan memiliki.
”Setahu saya waktu itu tanah tersebut memang tanah lembaga desa, boleh menggarap tetapi tidak boleh memiliki. Namun persoalan ganti rugi kepada yang mengklaim dan justru yang membayar adalah warga saya kurang paham karena sebelum ada persoalan itu saya sudah purna tugas,” jelas Surono. (sam/sla)