SAMPIT – Tugas Dewan Pengawas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Murjani Sampit dinilai tidak maksimal. Pasalnya, usulan kebijakan rumah sakit yang sampai ke DPRD ternyata lepas dari pengawasan tim tersebut. Di antaranya terkait rencana pengusulan tarif untuk penunggu pasien yang ditolak DPRD pekan lalu.
”Dewan pengawas ini tidak kami ketahui apakah ada atau tidak. Tapi, kalaupun ada, itu saya dengar tidak sesuai latar belakangnya, “ ujar Jhon, Senin (22/10).
Jhon mengaku tidak mengetahui saat Dewan Pengawas terbentuk. Secara aturan, kebijakan semacam itu memang tidak harus melibatkan lembaga DPRD. Namun, lebih eloknya apabila hal demikian disampaikan ke legislatif.
”Sebenarnya saya ini tidak tahu ada Dewan Pengawas, karena memang tidak pernah ada pemberitahuan dari manajemen,” ujarnya.
Semestinya, kata Jhon, Dewan Pengawas yang terdiri dari berbagai unsur tersebut wajib diisi kalangan profesional. Tentunya yang paham tentang manajemen rumah sakit atau aturan dunia kesehatan. Apalagi status RSUD Murjani sebagai BLUD itu masih disubsidi anggaran daerah sekitar Rp 50 – Rp 60 miliar per tahun.
Rumah sakit, lanjutnya, sejatinya ada dua orientasi. Pertama sosial, yakni untuk pelayanan di kelas III. Untuk pelayanan dengan orientasi bisnis ada di kelas I sampai VVIP.
”Jadi, kalau manajemen menyatukan semuanya orientasi itu ke arah bisnis, sudah tidak sesuai pembicaraannya dengan DPRD, karena sebelumnya kami sepakat ada orientasi kepentingan sosial di situ,” tegas dia.
Jhon mengaku sering menerima laporan keluhan pelayanan RSUD dr Murjani Sampit, mulai dari pelayanan registrasi hingga pelayanan perawat kepada pasien. Jika dibandingkan dengan RSUD daerah lain, Kotim masih tertinggal. Terutama dari sikap petugas yang ramah dan bersahabat.
”Manajemen RSUD juga kami dorong membenahi semua itu, karena APBD Kotim tidak sedikit yang dikucurkan ke pembangunan fisik yang sudah berjalan ini,” tegasnya. (ang/ign)