SAMPIT - Warga Desa Rantau Tampang, Kecamatan Telaga Antang, resah. Sebab, rumah dan pekarangan dipasangi patok oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Lahan mereka masuk dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU).
“Kami terkejut, ternyata datang orang BPN memasang patok. Rumah warga dan kebun kami masuk dalam kawasan HGU mereka,” kata Leger Adiyustama, warga Telaga Antang, saat bertandang ke Radar Sampit kemarin (4/11).
Mereka tidak tahu saat patok tersebut dipasang. Mereka menduga patok dipasang malam hari. Sebab, sehari sebelumnya, warga desa sedang berjaga-jaga menunggu BPN memasang patok di desa tersebut.
“Kami resah karena ini masuk HGU. Sewaktu-waktu mereka bisa mengusir kami dengan dasar itu,” kata Leger didampingi Rait Yanus.
Warga awalnya mengetahui rumah dan kebun mereka masuk dalam kawasan HGU ketika mengusulkan sertifikasi lahan ke BPN Kotim. Ternyata lahan itu tidak bisa diajukan untuk sertifikasi lantaran sudah masuk dalam areal HGU.
“Nah waktu itu kami terkejut kok bisa seperti itu, padahal kebun dan rumah kami jelas ada sebelum perkebunan itu ada di desa kami,” ujar Rait Yanus.
Rait Yanus mengakui hingga areal rumah dan pekarangan miliknya pun masuk dalam kawasan HGU perusahaan tersebut. Melihat situasi demikian, per 1 November lalu pemerintah desa juga sudah bersurat kepada BPN Kalteng, Kepala BPN Kotim, hingga Kepala Bidang Tata Ruang Kabupaten Kotim. Dalam surat yang ditandatangani kepala desa Rantau Tampang Rudy Antonius I dan Kepala BPD Johni Kiria itu menyatakan menolak dan keberatan dengan ulah BPN dan perkebunan yang menyatakan desa itu masuk HGU.
Bahkan, kata Rait, kades juga sudah menyatakan tidak pernah menyetujui segala kegiatan yang dilakukan perusahaan di areal desa mereka. Perusahaan tidak pernah juga menandatangani surat menyurat serupa hingga kadastral.
“Di Desa Rantau Tampang bisa dipastikan tidak ada tanah lagi yang dapat digunakan untuk areal perkebunan swasta, karena tanah semuanya dikuasai dan dimiliki masyarakat secara turun temurun,” tegas dia.
Mereka juga mempertanyakan sikap BPN yang sudah melakukan pengukuran tanpa melihat areal itu masuk dalam permukiman warga sudah sejak berpuluh tahun silam.
“Kalaupun itu masuk HGU, kami juga tidak pernah menerima ganti rugi atau sejenisnya, yang jelas kami menolak dengan masuknya kebun dan rumah kami di areal HGU perusahaan,” tandasnya.
Mereka dalam waktu dekat juga akan melaporkan hal tersebut kepada Bupati Kotim, DPRD Kotim, hingga Pemerintah Provinsi Kalteng. (ang/yit)