Di tengah gempuran modernisasi zaman, usaha atap dari daun nipah di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) masih tetap eksis. Usaha turun temurun itu ditekuni oleh warga setempat dan masih lestari untuk penopang hidup keluarga mereka.
SULISTYO, Pangkalan Bun
Matahari belum juga menampakan sinarnya di Timur langit, serkelompok orang yang keseluruhannya perempuan berusia lanjut bergegas mendorong perahu using tanpa mesin.
Rombongan yang terdiri dari 3-4 orang yang berbekal makan siang dan parang itu bertolak menyeberangi perairan Sungai Kumai untuk mencari daun pohon nipah yang masih tumbuh subuh di perairan tersebut.
Perahu bertenaga manusia itu meluncur perlahan, memecah gelombang kecil dan meninggalkan riak - riak di belakang menuju Sungai Sekonyer. Mereka menyusuri tepian sungai dan singgah ketika menjumpai hutan nipah dan mengambil daun - daunnya.
Hutan nipah yang menjadi kearifan lokal masyarakat setempat itu memang tumbuh alami dan menjadi sumber penghidupan bagi kelompok kecil masyarakat Kumai Hulu. Mereka bisa menghabiskan setengah hari untuk memenuhi perahu dengan daun nipah.
Daun - daun itulah yang nantinya dibentuk menjadi atap daun nipah untuk kemudian dijual. Atap daun nipah pernah mengalami masa keemasan, tapi seiring perkembangan zaman, lambat tapi pasti atap daun nipah mulai ditinggalkan.
Makin jarangnya pembeli, membuat hasil kerajinan daun nipah mereka mengering, hingga akhirnya terpaksa mereka buang begitu saja karena sudah tiada lagi nilai ekonomisnya.
Salah satu pengrajin yang masih bertahan adalah nenek Sakiah (68), warga Jalan Panglima Utar, Kelurahan Kumai Hulu, Kecamatan Kumai ini sudah menekuni profesinya sebagai pengrajin atap nipah dari tahun 1975 atau 45 tahun lamanya.
Nenek Sakiah yang menjadi tulang punggung keluarganya ini, terkadang tidak membawa pulang uang untuk anak – anaknya. Apalagi saat di musim seperti saat ini atap nipah jarang sekali dicari, kecuali saat dibutuhkan untuk proyek bangunan sebagai tempat tinggal sementara para buruh bangunan. Saat musim hujan dan angin ribut juga menjadi penghlang bagi mereka untuk mengais rupiah dari pohon liar tersebut karena mereka tidak berani menyeberang Sungai Kumai.
“Sekarang masyarakat lebih memilih untuk membeli atap pabrikan, kita hanya mengandalkan pembeli yang butuh untuk pondok sementara para tukang, atau untuk Huma di kebun-kebun,” ujarnya saat ditemui di Kumai, Jumat (24/1).
Ia mengaku, per 10 lembar atap daun nipah dijual seharga Rp 5 ribu, ia menyadari nilai penjualan itu tidak sebanding dengan biaya produksi, tapi mereka tidak ada pilihan karena tidak ada lagi pekerjaan yang bisa mereka peroleh.
Untuk itu ia berharap kepada pemerintah agar memperhatikan nasib mereka, pengrajin usaha kecil pembuatan atap daun nipah, yang jumlahnya mencapai puluhan orang. Para pengrajin ini menjual sekaligus membuat atap daun nipah di tepi Jalan Panglima Utar Kumai.
“Kalau pemerintah daerah memperhatikan nasib kami, tentu sangat membahagiakan sekali, karena kami sebagian besar memang masyarakat yang tidak mampu,” tutupnya. (sla)