SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN
Jumat, 18 September 2015 23:04
Menutup Perusahaan Biang Kabut Asap

Ada dua macam kabar. Ada kabar baik dan kabar kurang baik, berkaitan dengan implikasi kabut asap yang mengharu biru kawasan Sumatera dan Kalimantan. Kabut asap yang datang seolah rutin setiap tahun ini, benar-benar menyengsarakan penduduk setempat. Tak terkecuali wilayah Kotawaringin Timur khususnya, dan Kalteng pada umumnya.

Kabar buruknya, asap masih merajalela dan belum dapat diprediksi kapan berakhir. Kita seolah kehabisan akal untuk mengatasinya. Seluruh kekuatan dikerahkan, ibarat pertandingan toh masih dimenangkan asap. Asap semakin tebal dan memedihkan mata serta kehidupan. Kita seolah bingung harus kemana dan bagaimana. Kehidupan terasa begitu menyesakkan dada.

Kabar baiknya, penegakan hukum kehutanan dan hukum lingkungan di Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kalimantan, mengultimatum bahwa para perusahaan pembakar lahan yang menyebabkan Karhutla (kebakaran hutan dan lahan), akan dicabut izin operasionalnya, alias ditutup. Sekitar 170 pengusaha ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda seluruh Sumatera. Dalam bahasa hukum, ia diduga dalam kapasitasnya sebagai penanggungjawab badan hukum, diduga kuat melakukan pembakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Dasar Hukum Pidana
Tuduhan yang dialamatkan ke perusahaan itu boleh disebut sangat serius. Pertama, para tersangka dikenai ketentuan yang termaktub dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar. Dalam hal ini, kualifikasinya boleh disebut sebagai penjahat lingkungan hidup. 

Dalam bahasa awam, tindakannya menimbulkan kesengsaraan pada warga masyarakat luas. Tidak saja akibat pada fisik tetapi juga psikis dan bahkan dalam jangka waktu tidak sebentar. Oleh karena itu hukumannya juga sangat berat, dengan catatan tentunya jika hal itu terbukti nantinya.

Kedua, tersangka juga dikenai ketentuan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ancaman hukumannya maksimal 10 tahun dan denda Rp 1,5 miliar. Demikian pula diancam ketentuan UU No. 18 Tahun 2013 dengan ancaman hukuman penjara 8 sampai 20 tahun dan denda sampai Rp 50 miliar. Ini juga tuduhan yang sangat serius, yang merupakan tindakan kejahatan terhadap hutan di Indonesia yang semakin merana, dan bahkan sudah sangat merana.

Berdasarkan klausul penyidikan, ulah para pengusaha itu menimbulkan pencemaran lingkjungan berupa asap pekat. Nyaris seluruh wilayah Sumatera, berdasarkan publikasi sampai 80 persen wilayah Sumatera diselimuti asap. Bahkan mengganggu negara tetangga, hingga harus ditangani oleh Pemerintah Pusat dengan tindakan diplomasi internasional dan diplomasi bilateral.

Di dalam pespektif hukum lingkungan dikaitkan dengan hukum kehutanan boleh disebut langkah sangat maju. Hal ini disebabkan selama ini penanganan terhadap permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan hanya diselesaikan dengan dua kemungkinan. Pertama, pelaku hanya dijatuhi hukuman ringan dan cenderung berupa sanksi administratif. Kedua, pelaku justru dibebaskan.

Hal di atas dari perspektif pidana, yang ternyata secara praktis tidak membawa implikasi signifikan terhadap munculnya Karhutla yang berimplikasi pada kabut asap yang justru kian pekat.

Penutupan Perusahaan

Berikutnya, sebagaimana kita ceremati dari pernyataan pejabat berwenang bahwa perusahaan yang melakukan karhutla itu akan dicabut izinnya. Arti awamnya, perusahaan itu akan ditutup. Ini refleksi dari jengkelnya kita terhadap pembakaran hutan dan lahan.

Kabar itu menggembirakan kita. Tetapi tunggu dulu. Tanpa bemaksud membela perusahaan atau motivasi lain, ada baiknya beberapa catatan berikut ini kita perhatikan. Sehingga tidak dengan serta merta dan bahkan cenderung emosional, kita mengamini dan ikut senang dengan “ancaman” penutupan perusahaan.

Ada tiga dimensi yang secara praktis dan secara awam saja dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Pertimbangan ini akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa adalah tidak mungkin atau hal yang mustahil untuk dengan serta merta menutup perusahaan penyebab Karhutla.

Ketiga dimensi dimaksud, pertama dari segi pembiayaan, atau sebutlah dari segi ekonomi. Bahwa  operasionalisasi perusahaan itu didukung oleh kredit yang dibiayai oleh bank. Bahkan bank dari luar negeri dalam bentuk kredit yang diperhitungkan secara ekonomis. Artinya, ada pokok dan bunga yang harus dicicil beserta denda (penalti)  kalau cicilan dan bunganya tidak dibayar.

Nah, kalau perusahaan ditutup otomatis kreditnya macet. Lalu bagaimana dengan pengembalian dana besereta bunganya? Tentu kemacetan ini akan menimbulkan pula dampak berikutnya berupa macetnya sektor perkebunan dan kehutanan. Dampaknya akan serius bagi kemajuan industri perkebunan dan kehutanan. Dari sisi ini agaknya mustahil dilakukan penutupan perusahaan yang menyebabkan Karhutla.

Kedua, dari sisi dampak bagi masyarakat. Bahwa pengelolaan hutan yang didasarkan pada hutan kemasyarakatan, di dalamnya juga ada petani plasma. Mereka berinduk kepda perusahaan yang merupakan bentuk kemitraan dengan masyarakat, yang dilakukan oleh industri perkebunan. Praktik ini diproteksi oleh hukum. Jadi dasar hukumnya sangat kuat. Jumlah mereka puluhan ribu.

Para petani plasma itu tentu merupakan bagian penting dari operasionalisasi perusahaan. Kalau perusahaan ditutup, bagaimanakah nasib mereka. Dari sisi ini juga merupakan hal yang tidak sederhana. Para petani itu sudah terbiasa, dan terpola hidupnya dengan dengan kondisi tandem dengan perusahaan. Konsekuensi dari kerjasama ini telah melahirkan harapan baru untuk hidup lebih baik. 

Dari sisi ini, nampaknya juga mustahil untuk menutup begitu saja perusahaan yang menyebabkan karhutla. Nasib para petani plasma itu dipertaruhkan. Jadi pertimbangan kedua yang harus dijadikan dasar adalah nasih para petani plasma dengan segala permasalahan yang mengikutinya.

Ketiga, dari sisi teknis operasional. Bahwa beroperasinya perusahaan itu tentu ditunjang oleh tenaga kerja yang tidak sedikit. Ditunjang oleh perangkat mesin yang tidak murah. Bukan hanya itu. Implikasi dari tenaga kerja ini juga menghadirkan berbagai dampak ikutan yang menggerakkan sektor kehutanan secara keseluruhan. Ibarat aliran air, perusahaan itu di hulunya. Tenaga kerja yang merupakan tenaga inti dengan segala macam ketrampilan yang menyertainya, akan  menjadi penganggur.

Kondisi tenaga kerja itu jumlahnya ribuan. Tentunya tidak sederhana untuk dengan serta merta mencabut izin perusahaan, sementara nasib para pekerja itu tidak jelas. Salah urus malah menjadi bumerang, ketika mereka dengan perut lapar melakukan perbuata kriminal. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial yang sangat kompleks.

Mesin yang dipergunakan untuk mengolah produk perkebunan pun demikian. Dengan penutupan perusahaan, operasionalisasi teknis akan terhenti. Mesin akan menjadi besi tua dengan segala macam akibatnya. Pada hal untuk memulihkan pada kondisi semula tentu tidak mudah.

Atas dasar pertimbangan di atas, maka nampaknya “ancaman” untuk menutup perusahaan, dapat dipandang sebagai semacam ungkapan emosional yang mewakili keputusasaan atas situasi yang terjadi. Oleh karena itu kita harus mencermatinya dengan arif, terhadap kebijakan yang sangat mungkin masuk akal tersebut tetapi sangat tidak masuk akal untuk dilaksanakan. *(Penulis adalah pengamat hukum dan sosial. Kandidat Doktor Kehutanan Universitas Mulawarman. Tinggal di Sampit.

loading...

BACA JUGA

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers