SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN
Minggu, 05 Maret 2017 23:59
Aspirasi Kotak Kosong

Oleh; Duito Susanto

Ini bisa jadi virus. Virus kotak kosong. Virus hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sosok yang diajukan sebagai bakal pemimpin. Virus yang bisa menyebar dan memandulkan sistem demokrasi. Ini jelas menjadi alarm bagi partai politik untuk memproduksi kader berlabel calon pemimpin berkualitas wahid.

Dari sembilan daerah yang menyajikan pertarungan antara kandidat tunggal versus kotak kosong pada Pilkada Serentak 2017, Pati paling menyedot perhatian. Di daerah dengan penduduk jumbo, 1,5 juta orang, itu pasangan incumbent bertarung dengan kotak kosong. Haryanto-Saipul Arifin disokong koalisi mayoritas partai politik; PDI Perjuangan, PKB, Gerindra, Demokrat, Golkar, PKS, Hanura, dan PPP.

Mereka unggul. Tapi ‘pemilih’ kotak kosong juga signifikan; mencapai angka 25 persen. Mendagri Cahyo Kumolo bahkan sempat berujar bahwa pemenangnya adalah kotak kosong itu.

Di dua daerah lainnya; Kota Tebing Tinggi dan Kabupaten Buton, kotak kosong juga mendapat ‘dukungan’ tinggi. Di Tebing Tinggi, 28,61 persen masyarakat lebih percaya kepada kotak kosong. Di Buton lebih parah, kotak kosong mendapat apresiasi 44,92 persen pemilih.

Tahun depan, Pilkada Serentak bakal kembali digelar. Bukan tak mungkin akan kembali menyajikan adu kuat melawan kotak kosong. Apa yang terjadi di Pati, Tebing Tinggi, dan juga Buton, bisa saja kembali terjadi. Peminat kotak kosong, meski tak menang, mungkin saja masih tinggi.

Antusiasme terhadap kotak kosong ini bisa menjadi virus yang mengganggu partai politik sebagai motor demokrasi. Parpol yang tak bisa menjaga amanah titipan masyarakat akan menelan pil pahit. Koalisi yang hanya mementingkan kekuasaan, tanpa menimbang kemampuan calon pemimpin, bisa saja gigit jari.

Di Kotim, indikasi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mulai tercium. Bukan melalui kotak kosong. Tapi bermula dari lemahnya pengawasan wakil rakyat yang menjadi kepanjangan tangan parpol dalam mengawal proses bagi-bagi kue APBD.

Pembahasan APBD Kotim 2017, seperti yang kita tahu, sempat gaduh. Terutama pro-kontra sejumlah program tahun jamak alias multiyears contract yang diusulkan pemerintah. Akibatnya, rencana-rencana pembangunan yang diserap anggota DRPD dari masyarakat harus rela dikorbankan.

Publik tentu masih ingat saat Gerindra Kotim mengklaim mendapat kado pahit pada ulang tahunnya di 2017 ini. Kado berupa tak meratanya sebaran APBD untuk pembangunan kawasan pedalaman, terutama wilayah utara Kotim. Padahal, Gerindra adalah salah satu penyokong paling loyal pemerintahan Supian Hadi-Taufiq Mukri saat ini. Padahal juga, Gerindra termasuk yang paling dulu angkat jari menyetujui program yang diajukan pemerintah saat pembahasan APBD 2017.

Eksekutif dan legislatif boleh saja berkilah bahwa tak meratanya sebaran uang APBD, terutama ke wilayah pedalaman untuk infrastruktur jalan dan sebagainya, lantaran keterbatasan anggaran. Faktanya, nominal APBD 2017 tak lebih rendah dibanding APBD 2016. Masih terhitung naik.

”Saya, saat musrenbang tahun ini, kalau bisa pakai topeng, saya pakai topeng saja,” ujar salah seorang angota DPRD Kotim sembari menutup wajah dengan lima jarinya, baru-baru ini. Musrenbang sekarang tak lebih dari sekadar menunaikan kewajiban wakil rakyat yang diatur undang-undang. Segendang sepenarianlah dengan reses.

Dengan pola pengawalan usulan masyarakat atau konstituen seperti pada pembahasan APBD 2017, terasa sangat sulit mengakomodasi kepentingan akar rumput. DPRD mengaku celah memasukkan usulan masyarakat ke rencana pembangunan dipersempit eksekutif. Dengan berbagai cara. Waktu penyerahan dokumen yang mepet. Masa pembahasan yang sempit. Hingga ketidakkompakkan angota DPRD itu sendiri. 

Celah wakil rakyat menyelipkan aspirasi masyarakat ke dalam rencana pembangunan sempit sekali. ”Hanya yang punya ‘channel’ yang bisa,” kata anggota DPRD itu.

Akhirnya, saat proses yang sama dilakukan lagi, musrenbang atau reses di 2017, masyarakat sudah seperti kehilangan kepercayaan. ”Ada kepala desa yang pergi meninggalkan musrenbang,” timpal anggota DPRD lainnya sembari geleng-geleng kepala.

Bisa ditebak, itu adalah buah kekecewaan akibat lemahnya kekuatan wakil rakyat memperjuangkan aspirasi masyarakat. Musrenbang dan reses pun kehilangan ruh. Tak lebih dari sekadar formalitas. Masyarakat lebih percaya pada kotak kosong.

Memang terlalu dini menyimpulkan bahwa masyarakat sudah kehilangan kepercayaan. Setidaknya indikasi itu sudah mulai tampak. Masalahnya muncul dari kantor wakil rakyat itu sendiri. Wakil rakyat yang tak solid memperjuangkan rakyat yang diwakilkannya.

Di beberapa daerah, wakil rakyat lebih solid menperjuangkan harapan rakyat. Unsur pimpinan tak akan meneken dokumen APBD jika ada usul masyarakat yang dititipkan kepada wakilnya tak terakomodasi. Memang belum ada aturan yang mengatur itu. Hanya berdasarkan komitmen personal dan kelembagaan wakil rakyat itu sendiri. Konon, hal itu masih diperjuangkan untuk mendapatkan aturan tertulisnya.

Ini baru soal ‘loyalitas’ wakil rakyat terhadap konstituennya. Belum lagi soal seberapa banyak legislator yang mencoreng wajah parpol lantaran terlibat kasus-kasus pidana, baik itu korupsi atau semacamnya. Juga kepala daerah.

Pemilihan anggota legilsatif baru akan dilangsungkan 2019. Prosesnya mungkin dimulai sejak pertengahan atau akhir 2018. Partai politik, mestinya sudah bersiap mulai saat ini. Menyiapkan kader yang, tak hanya mumpuni, tapi bisa menjaga kepercayaan masyarakat. Memang virus kotak kosong tak bisa menginfeksi pemilihan legislatif. Tapi indikator turunnya kepercayaan masyarakat tetap bisa dilihat dari angka partisipasi pemilih. Semoga saja masyarakat masih percaya. (duito@radarsampit.com)


BACA JUGA

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers