SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Kamis, 20 April 2017 22:12
Potret Anak Pedalaman Menempuh Pendidikan
Bangku Usang Penjaga Harapan
BERBAGI KELAS: Kondisi SDN 2 Luwuk Kama, Kotim, satu ruangan digunakan untuk dua kelas. (FOTO: ARIFIN/RADAR SAMPIT)

Lebarnya kesenjangan masih menjadi hantu pendidikan. Di tengah keterbatasan, anak-anak pedalaman berjuang melawan kebodohan. Semangat mereka tak pernah padam meski bertahun-tahun duduk di atas bangku usang.

LAPORAN GUNAWAN

Kaki belum lagi menjejak bumi. Sayup-sayup suara keramaian bocah mencoba melawan lengkingan suara burung walet dari sebuah bangunan tinggi, sekitar delapan meter dari gedung sekolah dengan tiga ruangan kelas itu.

Adu nyaring suara itu kian berisik ketika mobil yang ditumpangi Radar Sampit mendekati bangunan sekolah dasar dari beton yang terlihat masih kokoh, Senin (3/4). Bangunan perkasa itu ternyata menipu mata. Plafon teras kelas banyak bolong. Sebagian triplek yang lepas, menjuntai ke bawah.

Di tengah kusen pintu yang termakan usia, informasi ruangan kelas ditulis sederhana menggunakan triplek dan spidol hitam, berurutan dari kiri ke kanan sesuai tingkatan kelas. Sebagian sepatu murid yang penuh debu, berjejer rapi di samping pintu.

Murid kelas V dan VI SD Negeri 2 Luwuk Kama yang digabung dalam satu ruangan siang itu menanti pulang. Mereka baru diam ketika rombongan guru dan kepala sekolah memasuki ruangan.

Di dalam kelas lebih menyedihkan. Ruangan berukuran 5x6 meter itu dibatasi sekat dari triplek berukuran 4x2 meter yang jebol sebagian. Pembatas itulah yang memisahkan kelas para bocah yang sebagian bertelanjang kaki itu. Triplek yang 70 persen jebol itu, membuat para murid beda kelas bisa saling pandang, bahkan berbincang.

Kondisi demikian segendang sepenarian dengan lantai yang sebagian besar berlubang. Harmonisasi menyedihkan itu kian jadi karena para murid duduk di atas bangku yang usang. Meja pun ada yang nyaris ambruk. Pondasi kayunya sudah reyot dan lapuk.

”Beginilah kondisi ruangan di sekolah kami. Satu ruangan dibagi dua kelas. Jumlah rombongan belajarnya masih sangat kurang,” kata Kaspul Anuwar, Kepala SD 2 Luwuk Kama. Suaranya agak tinggi agar tak tenggelam dengan lengkingan walet yang masih saja berisik.

Para murid harus terbiasa belajar dengan fasilitas yang sangat terbatas. Proses belajar mengajar sangat tidak efektif. Perlu kesabaran level dewa dari 6 orang guru sekolah itu saat mengajar.

”Kami harus giliran mengajar. Kalau guru di sebelah bicara, saya harus diam," kata Wiwik Herawati, guru kelas IV.

Suara guru saat mengajar juga harus nyaring agar anak didiknya bisa mendengar. Lengkingan suara burung walet nyaris tiada henti. ”Suara itu juga sangat mengganggu. Sudah ruangannya terbatas, ditambah lagi suara walet," ujarnya.

Selain soal ruangan dan proses belajar yang memprihatinkan, sekolah itu belum memiliki toilet. Sebanyak 70 murid buang air kecil di sekitar lingkungan sekolah. Akibatnya, semerbak bau tak sedap mengitari sekolah. ”Coba saja keliling, pasti ada bau-bau tak sedap. Kami memang belum punya toilet," tutur Anuwar.

Sebagian murid, terutama perempuan, termasuk para guru, terpaksa harus ke lanting di pinggir sungai, yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari sekolah. Aliran Sungai Cempaga yang tenang bisa saja jadi petaka jika tak hati-hati. Ceroboh sedikit saja, bisa tenggelam. Bahkan, nyawa pun bisa melayang.

”Pernah ada murid yang kecebur, tapi untung tak sampai tenggelam," celetuk Herawati menimpali.

Kantor guru yang letaknya terpisah sekitar lima meter dari ruang kelas juga memprihatinkan. Bahkan, sebenarnya tak layak disebut kantor. Bangunan dari kayu yang sebenarnya rumah dinas guru itu sudah reyot. Ruangannya sempit. Kepala sekolah dan guru harus berbagi tempat di ruangan sesak itu.

Anuwar mengaku tak berdaya. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pusat sekitar Rp 62,4 juta per tahun tak bisa berbuat banyak untuk mengakhiri "derita" mereka. Biaya perbaikan hanya bisa diambil lima persen setiap cair per triwulan. Untuk membangun kelas baru dan merenovasi total semua fasilitas sekolah, setara dengan sekolah di kota, kira-kira bisa menelan dana ratusan juta rupiah.

Anuwar yang baru sekitar dua tahun menjabat kepala sekolah sudah berjuang sebisanya agar pemerintah memalingkan muka. Usulan perbaikan yang disampaikan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) desa tak pernah lelah disampaikan. Dia semakin geregetan karena sekolah itu nyaris tak pernah dikunjungi pejabat.

”Cobalah sekali-kali tinjau sekolah kami, biar tahu kondisinya seperti apa. Bantuan juga jangan hanya ditinjau dari segi murid saja," katanya dengan suara agak meninggi.

Di tengah kepungan keterbatasan, Anuwar menyelipkan syukur. Semangat anak didiknya masih sangat tinggi. Sarana dan prasarana sekolah yang memprihatinkan tak mampu membunuh tekad anak didiknya menimba ilmu. Buktinya, prestasi bisa diraih dalam gelaran O2SN (olimpiade olahraga siswa nasional) tingkat kecamatan beberapa waktu lalu.

SENASIB

Kondisi "sedikit" lebih baik dirasakan dua sekolah lain di kecamatan yang dilalui jalan Trans-Kalimantan Poros Selatan itu, yakni SD Negeri 1 Jemaras dan SD Negeri 2 Patai. Meski kondisi ruangan nyaris tak jauh beda, dua sekolah itu memiliki ruang belajar lengkap, dari kelas satu sampai enam.

Para murid beda kelas tak harus berbagi dalam satu ruangan. Namun, untuk urusan sarana dan prasarana maupun kondisi gedung sekolah, mereka senasib sepenanggungan.

Kepala SD 2 Patai Reffi Rianti mengungkapkan, tiga ruangan di sekolah itu rusak berat, terutama kelas 4. Bangunan dengan konstruksi semi permanen dari kayu di ruangan itu, dindingnya hancur.

”Sudah beberapa kali diusulkan untuk perbaikan, bahkan sudah tiga kali kepala sekolah, tapi tak masuk-masuk (dalam daftar sekolah yang diperbaiki) juga," katanya.

Perbaikan hanya bisa dilakukan sedikit demi sedikit dari dana BOS yang hanya sebesar Rp 31,8 juta setiap triwulan. Namun, anggaran yang bisa diambil untuk perbaikan sangat kecil, hanya sekitar Rp 1,5 juta. Itu pun perbaikan untuk kerusakan yang tak terlalu parah.

”Pembangunan pagar juga perlu di sekolah ini agar anak-anak tak keluar ke jalan. Sekolah kami di lintasan jalur provinsi, sehingga berbahaya kalau anak-anak bermain di pinggir jalan tanpa pengawasan," katanya.

Sementara itu, Kepala SD 1 Jemaras Andi Irwan menuturkan, kondisi fisik sekolah mereka juga perlu perbaikan. Semua plafon di ruangan kelas tak ada yang utuh. Bahkan, beberapa kali bocor saat hujan. Lantai di kelas 1 sampai 3 yang terpisah bangunan dengan kelas 4 dan 6, sebagian besar hancur. Lubang besar menganga di setiap sudut kelas.

”Kami pernah mengajukan proposal (dalam musrenbang), tapi belum ada tanggapan. Hal paling mendesak adalah sarana dan prasarana. Separuh kursi dan meja di sekolah ini sudah tak layak pakai," kata pimpinan dari delapan orang guru dan 105 siswa itu.

Perbaikan terakhir dilakukan lebih dari satu dekade silam, sekitar tahun 2004 menggunakan anggaran pemerintah. Bangunan sekolah yang berdiri sejak tahun 1978 dan melahirkan putra-putri daerah yang mengabdi kembali di kecamatan tersebut, direhab berat.

Gedung sekolah itu diganti beton, lebih kokoh dari sebelumnya yang hanya berkonstruksi kayu. Namun, sejak saat itu, sekolah tersebut nyaris tak mendapat perhatian. ”Setiap musrenbang selalu kami usulkan, tapi belum juga terealisasi,” tuturnya.

Meski demikian, Andi bersyukur karena semangat anak didiknya masih tinggi. Bahkan, jumlah muridnya selalu bertambah setiap tahun. Gelontoran dana BOS pusat sebesar Rp 84 juta per tahun dan BOS daerah Rp 14, 7 juta per tahun, menghidupkan harapan anak-anak dari kalangan tak mampu menimba ilmu.

Meski anak didiknya harus duduk di atas bangku usang, pihaknya tetap berusaha agar mereka tetap bisa sekolah. Ada sekitar 30 anak tak mampu yang mendapat bantuan dari program Kartu Indonesia Pintar (KIP). Selain itu, para murid juga tak perlu lagi keluar uang untuk membeli buku penunjang. Pola serupa juga dilakukan di SD Luwuk Kama dan SD 2 Patai.

Devita (9), murid kelas 4 SD 1 Jemaras mengaku nyaris tak pernah absen pergi ke sekolah. Meski sekolahnya memprihatinkan, semangat Devita dan teman-temannya tetap tinggi. Setinggi cita-citanya yang ingin menjadi guru.

Setiap hari dia pergi ke sekolah menggunakan sepeda melintasi jalan Trans-Kalimantan yang kerap dilalui truk raksasa angkutan kelapa sawit. ”Saya mau jadi guru, makanya harus rajin belajar," kata gadis mungil berjilbab putih ini dengan polosnya.

Namun, dia juga mengeluhkan kondisi kursi dan meja yang sebagian besar tak layak. Teman-temannya yang mendapat meja bolong, kesulitan menulis. ”Kami sebenarnya juga mau belajar di ruangan dengan kursi dan meja yang bagus," kata Devita malu-malu.

DIRESPONS

Kondisi SD 2 Luwuk Kama yang memprihatinkan menyita perhatian Kepala Dinas Pendidikan Kotim Suparmadi. Dia mengaku sudah meninjau sekolah itu setelah dimuat di Radar Sampit edisi 5 April 2017. Saking mirisnya, Suparmadi bahkan menyebut sekolah tersebut seperti "kandang kambing".

”Saya sampai marahi kepala sekolahnya, kenapa kondisi itu dibiarkan. Saya minta buat proposal diajukan ke dinas. Saya juga tak menyangka sekolah itu kondisinya begitu. Dari luar bagus, tapi ternyata di dalamnya menipu," katanya, Selasa (11/4).

Pernyataan Suparmadi memantik kesadaran, pemerintah sebenarnya tak membiarkan anak yang menempuh pendidikan jauh di pinggiran, belajar di tempat tak layak. Hanya, informasi kondisi sekolah rusak kerap tak tersampaikan dengan baik, ditambah keterbatasan anggaran untuk pemerataan. (***/dwi)


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers