SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Senin, 08 Mei 2017 16:18
Menguak Sejarah Kayu Hasang Lobahta

Menjaga Legenda Turun Temurun, Disakralkan untuk Acara Adat

RITUAL ADAT: Masyarakat Tumbang Habangoi selalu meyambut kedatangan tamu kehormatan dengan ritual Dollong Hopong atau potong pantan berupa guci khas tradisi suku Dayak Ot Danum. Kayu yang digunakan dalam ritual itu adalah hasang lobahta.(ANGGRA DWINIVO/RADAR SAMPIT)

Bagi masyarakat Desa Tumbang Habangoi, Kecamatan Petak Malai, Kabupaten Katingan, kayu hasang lobahta merupakan kayu spesial. Bahkan, hanya dimanfaatkan di saat-saat tertentu saja, seperti menggelar upacara adat. 

ANGGRA DWINIVO, Kasongan

Sekilas, kayu yang bersifat elastis dan tumbuh subur di Hutan Tumbang Habangoi itu nampak biasa-biasa saja. Bagi orang luar, kayu hasang lobahta tak lebih berharga dibandingkan jenis kayu bakar sekalipun. Kayunya juga tak cukup kuat untuk dijadikan material bangunan.

Siklus hidup tanaman itu tak sepanjang tumbuhan lainnya. Pohonnya juga mampu tumbuh lebih besar dari paha orang dewasa. Hanya hidup di sekitar bantaran sungai dan ladang masyarakat. Namun, ada cerita yang cukup melegenda mengenai kayu hasang lobahta. Hampir seluruh masyarakat Desa Tumbang Habangoi mengetahui kisahnya.

Dalam bahasa Dohoi Dayak Ot Danum, hasang merupakan sesuatu jenis tumbuhan yang kurang dimanfaatkan karena sifatnya yang mudah patah, sedangkan lobahta dapat diartikan sebagai sesosok naga. Mahluk mitologi yang dipercaya hidup di zaman dahulu.

Kepala Desa Tumbang Habangoi Yusup Roni Hunjun Huke menuturkan, berdasarkan kisah turun temurun dari leluhurnya sejak berabad-abad lalu, kayu hasang lobahta merupakan kayu yang sangat kuat. Bahkan, mengalahkan kayu besi atau ulin.

Cerita yang melegenda di hati masyarakat Tumbang Habangoi itu bermula ketika seorang pemuda pada zaman dahulu menemukan sebutir telur yang berukuran cukup besar di suatu sungai. Karena merasa tidak pernah menjumpai telur yang tak lazim tersebut, pemuda ini lantas membawanya pulang ke perkampungan.

”Saat itu pemuda tersebut masih menyimpan segudang pertanyaan mengenai asal muasal telur sebesar buah semangka itu. Namun, dia memutuskan untuk memakannya,” ujar Yusup.

Pemuda itu terkejut bukan kepalang ketika bermimpi, telur yang ditemukan dan dimakannya tersebut merupakan telur milik seekor naga penghuni Sungai Habangoi. Amarah mahluk mitologi yang dipercaya banyak bangsa di dunia, termasuk suku Dayak inipun akhirnya pecah.

Naga yang meyerupai ular berkaki empat itu marah besar kepada pencuri yang tega memakan telurnya. Tiba-tiba cuaca di kampung berubah menyeramkan. Angin kencang dan suara guntur tak henti-hentinya menggelegar.

Naga yang hidup di alam gaib itu pun menghukum pemuda itu menjadi menjadi seekor siluman naga, dengan konsekuensi tidak akan bisa lagi hidup berdampingan dengan umat manusia. Sadar akan kesalahannya, pemuda itu pasrah menerima hukuman tersebut.

---------- SPLIT TEXT ----------

Tak berapa lama, fisik manusianya mulai menunjukkan keanehan. Kulitnya mulai merasakan gatal yang cukup dahsyat. Tidak berapa lama, sejumlah sisik naga mulai menyelimuti sekujur tubuh. Sadar akan menjadi seekor naga, pria itu meminta pertolongan kepada warga kampung untuk menerjunkannya ke sungai.

Setelah bersepakat, lanjut Yusup, seluruh warga akhirnya bergotong royong mempersiapkan galangan kayu untuk menggulingkan siluman naga itu ke sungai. Namun, kayu ulin yang dikenal kuat tak mampu menahan bobot naga yang sangat berat itu. Hari demi hari masyarakat silih berganti mendatangkan jenis kayu lain untuk menurunkan sang naga.

Namun, upaya itu tak kunjung membuahkan hasil. Di tengah keputusasaan, datang sebuah wangsit yang menyarankan warga untuk menggunakan kayu hasang. Sontak saja, seluruh warga bingung, lantaran kayu itu merupakan tumbuhan yang tidak bernilai dan cenderung rapuh dibanding jenis kayu lainnya.

Masyarakat yang mulai putus asa, akhirnya mencoba peruntungan menggunakan kayu hasang. Anehnya, kayu hasang ternyata mampu menahan bobot naga yang sangat berat tersebut. Kayu itu hanya melengkung sedikit, sebelum akhirnya naga jelmaan manusia itu tercebur ke sungai, tepatnya di Toluk Lokanda atau telok lokanda. Sebelah timur Desa Habangoi atau dibagian hulu Sungai Baraoi.

Atas jasa serta kekuatannya menahan bobot sang naga, sejak peristiwa itu, kayu jenis hasang mendapat keistimewaan bagi masyarakat Dayak Ot Danum. Kayu hasang tak lagi dipandang sebelah nama. Bahkan sengaja ditambahkan kata ”lobahta” yang berarti naga untuk menandai kayu spesial tersebut.

Sesuai petuahnya, hingga kini masyarakat masih menyakini siluman naga tersebut masih hidup dan menjaga masyarakat dari berbagai macam gangguan. Selain itu, sang naga dipercaya dapat membantu masyarakat ketika sedang mengalami kesulitan.

Menggunakan perantara Bojah Bohenda atau beras kuning dengan berbagai syarat lainnya, sembari memanggil namanya, naga itu diyakini akan datang membantu. Namun, hanya utus atau keluarga keturunan siluman naga yang diberi kekhususan untuk bisa memanggil naga tersebut.

Oleh sebab itu, kata Yusup Roni, dalam kebudayaan Dayak Ot Danum (Dohoi), terutama di Desa Tumbang Habangoi, keberadaan kayu hasang lobahta sangat disakralkan. Pemanfaatannya tidak boleh digunakan sembarangan. Biasanya hanya digunakan ketika menyambut tamu kehormatan dengan ritual adat Dollong Hopong atau lebih dikenal sebagai Potong Pantan.

Kayu itu dipilih lantaran tingginya filosofi ketimbang kayu jenis lainnya. Dewasa ini, kayu yang kerap dianggap biasa saja itu sangat dibanggakan masyarakat. Menurut kepercayaan mereka, ritual Dollong Hopong dibagi menjadi dua jenis, yakni menggunakan guci atau balanga dan kain panjang atau bahalai.

Hal itu dibedakan berdasarkan jenis kelamin tokoh atau pejabat yang datang bertamu. Bagi pemimpin laki-laki, akan menggunakan Dollong Hopong Balanga, sedangkan Dollong Hopong Bahalai, dikhususkan pemimpin perempuan. 

Hingga saat ini, keberadaan kayu hasang lobahta masih dijaga kelestariannya. Kendati tumbuh subur di ladang maupun hutan sekitar bantaran sungai, masyarakat tidak diperbolehkan memanfaatkan kayu tersebut selain keperluan upacara adat.

Menurut Yusup, di balik sejarah sakralnya kayu hasang lobahta bagi masyarakat adat Tumbang Habangoi, terdapat makna yang dapat dipetik, yaitu jangan menilai sesuatu dari bentuk dan kelemahannya saja.  ”Nilailah jasa dan kekuatannya yang sanggup menopang naga turun ke sungai,” katanya.

Melalui kisah yang melegenda itu, masyarakat diminta selalu menjaga kelestarian alam dan seisinya. Jangan melakukan aktivitas yang dapat merugikan dan merusak lingkungan alam. (***/ign)

 


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers