SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Selasa, 16 Mei 2017 14:50
Tolak Hidup Berdampingan, Dipercaya Memiliki Kesaktian

Menilik Cerita Dayak Ot Siau dan Ot Bukot, Suku Primitif Berbetis Merah

TRADISI: Gerak tari-tarian suku Dayak yang kerap ditampilkan dalam berbagai acara. Gerakan tarian itu untuk melestarikan tradisi nenek moyang, yang sebagian besar penuh misteri bernuansa mistis.(ANGGRA/RADAR SAMPIT)

Tanah Kalimantan menyimpan beragam misteri bernuansa mistis yang sebagian besar masih dipercaya penduduk lokal. Masyarakat adat Desa Tumbang Habangoi, Kecamatan Petak Malai, misalnya, percaya dengan keberadaan suku Dayak terasing yang memiliki kesaktian. 

ANGGRA DWINIVO, Kasongan

Masyarakat lokal kerap menyebut kelompok masyarakat terasing itu dengan suku Dayak Ot Siau dan Ot Bukot. Keduanya masih rumpun atau golongan sub suku Dayak Ot Danum. Suku yang masih mendiami jantung Kalimantan di sekitar kawasan pegunungan Muller-Schwaner.

Selama berabad-abad, masyarakat suku itu memilih hidup menyendiri dan menolak kemajuan zaman. Bahkan, tidak mengakui adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di Kalimantan Timur, masyarakat adatnya menamai suku tersebut sebagai Dayak Punan Merah (Ot Siau) atau Punan Kaki Merah. Hal itu merujuk pada ciri fisik anggota sukunya, yakni memiliki kedua betis kaki berwarna merah. Suku pedalaman itu masih mempertahankan cara hidup yang sangat sederhana, bahkan primitif.

Cerita-cerita tersebut berkembang dari mulut ke mulut, yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bahkan, di hampir semua sub suku Dayak Ot Danum memiliki kisah dan mitos yang hampir mirip.

Hingga kini, keberadaan suku Ot Siau dan Ot Bukot masih diselimuti misteri. Informasi kebenarannya masih berdasar pada cerita melalui penuturan langsung. Meski belakangan, muncul beberapa pengakuan masyarakat lokal yang merasa pernah bertemu secara langsung.

Tokoh pemuda sekaligus Kepala Desa Tumbang Habangoi, Yusup Roni Hunjun Huke mengatakan, ciri fisik suku Dayak Ot Siau dan Ot Bukot layaknya manusia pada umumnya. Hanya saja, karakteristik suku Ot Siau bakal lebih mudah dikenali. Sebab, mereka memiliki ciri fisik yang cukup unik, yaitu kedua belah betisnya berwarna merah menyala.

Warna kulit tak lazim itu, menurutnya, sengaja diwarnai menggunakan zat pewarna alami daun saronang atau jarenang. Bahkan, seluruh bagian anggota tubuh lainnya nampak menyala di kegelapan. Hal itu diduga akibat reaksi kimia lapisan fosfor yang mereka peroleh dari sejenis jamur.

”Berdasar sejarahnya, suku ini disebut Ot Siau lantaran memiliki kemiripan dengan seekor burung Siau, baik secara fisik maupun kelebihan kemampuan lainnya,” katanya.

Yusup Roni menuturkan, meski hanya sebatas mendengar cerita dari mulut ke mulut, masyarakat yang pernah menjumpai suku ini masih meyakini, kelangsungan hidup kelompok Dayak Ot Siau dan Ot Bukot masih terjaga hingga sekarang. Penyebarannya melingkupi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Atau berada di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) Kabupaten Katingan. Tepatnya beraktivitas di sekitar kaki Bukit Raya.

”Kedua suku ini hidup mengembara jauh di pedalaman hutan dan mereka membentuk komunitasnya sendiri. Mereka tinggal di dalam gua, di sekitar kaki bukit,” ujar Yusup Roni.

Layaknya suku primitif lainnya, Yusip melanjutkan, kelangsungan hidup suku ini sangat bergantung dengan melimpahnya kekayaan hutan, seperti berburu atau mengumpulkan tumbuh-tumbuhan hasil alam lainnya. Hal itu lantaran mereka tidak menerapkan pola bercocok tanam maupun berladang. 

”Kalau sering ke hutan, biasanya warga yang bawa garam, tembakau atau makanan yang unik-unik lain. Anggota suku ini sering meminta (mengambil) tanpa sepengetahuan kita alias kasat mata. Jadi, kalau ada yang hilang, harap diam dan anggap wajar saja. Jangan sampai mengeluh, karena mereka akan marah dan biasanya melempar kita dengan batu," katanya.

Menurut pengakuan warga desa yang sering mengumpulkan hasil hutan, baik berburu binatang, sarang burung walet, damar maupun getah pohon gaharu, mereka mengetahui ciri-ciri keberadaan aktivitas kedua kelompok suku tersebut di hutan. Seperti meninggalkan patahan ranting, jejak kaki, dan lain sebagainya.

”Ranting sengaja dipatahkan seukuran kelingking, sebagai pertanda bahwa di sekitar kawasan itu ada mereka. Memang sangat sulit melihatnya secara langsung, karena mereka memang tidak suka bergaul dengan kita secara nyata. Itu karena mereka mempunyai ilmu untuk menghilangkan diri," ungkapnya.

Kelebihan suku Ot Siau dan Ot Bukot ini, kata Yusup, menguasai kata lamunan atau disebut mantra sehir untuk menghilangkan raga di balik hutan. Bekas jejak aktivitas suku ini sering ditemukan warga di sekitar Puruk Sarwawu, di kaki Bukit Raya.

”Meskipun sesama suku Ot Danum, tapi mereka tidak pernah mau bertemu atau bersosialisasi dengan manusia selain komunitasnya sendiri, karena mereka sudah disumpah," ujar Yusup.

Bagi anggota yang melanggar sumpah, katanya, akan dikeluarkan selamanya dari komunitas suku. Selain itu, wajib menanggalkan berbagai ilmu kesaktian yang sudah diwariskan kepadanya. Kemudian, dilarang berhubungan dan membocorkan lokasi komunitas kepada siapa pun. Sumpah sakral diyakini bakal dijaga sampai mati.

”Itu merupakan kisah dari salah satu anggota suku Ot Siau yang memilih hidup bersama warga lainnya. Walaupun tak lagi berhubungan, bagi mereka sumpah adalah sumpah dan larangannya harus dipatuhi," katanya.

Sehari-harinya, ujar Yusup, anggota suku Ot Siau dan Ot Bukot digambarkan selalu mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit kayu sederhana. Mereka juga dibekali keahlian berjalan cepat di antara tebing dan rimbunnya pepohonan di dalam hutan. Selebihnya, disebut-sebut mempunyai kesaktian meringankan tubuh yang mampu hinggap di pucuk daun.

”Kalau ada sungai yang lebarnya 20 sampai 30 meter, mereka sanggup menyeberangi dengan sekali lompat saja. Selain itu, pergerakan mereka sangat gesit di hutan. Lalu memiliki stamina dan kekuatan fisik di atas rata-rata manusia normal," ungkapnya.

Kelebihan lain yang dimiliki anggota suku terasing ini, yaitu mempunyai indra penciuman yang sangat tajam. Berkat daya pengindraan itu, mereka mudah mendeteksi adanya binatang buruan maupun keberadaan orang asing dari kejauhan. ”Sama seperti binatang, mereka juga mengandalkan indra penciuman untuk berburu di hutan. Jadi, wajar keberadaannya tidak pernah ditemukan, karena dari jarak ratusan meter ada aktivitas manusia, mereka langsung menjauh atau menghilangkan perkampungannya secara gaib," jelasnya.

Sampai saat ini, lanjutnya, belum diketahui secara pasti bahasa yang digunakan suku Dayak Ot Siau dan Ot Bukot sehari-hari. Namun, kecenderungan menggunakan bahasa Ot Danum, walaupun dimungkinkan adanya perbedaan dialek. Ini mengingat kedua kelompok itu merupakan bagian dari keluarga besar sub suku Dayak Ot Danum. 

Cerita lain menyebutkan, sejak berabad lalu, suku Ot Siau dan Ot Bukot terpaksa mulai menjauhi peradaban manusia dan memilih mendiami gua di hutan. Hal itu disebabkan desakan pasukan infanteri militer kolonial Belanda pada zamannya. Khusus kelompok suku Dayak Ot Siau maupun Ot Bukot yang bermukim di salah satu hulu sungai di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, sebagian anggotanya memutuskan hidup berdampingan dengan warga desa setempat.

”Hingga kini mereka seakan bersembunyi di dalam hutan itu dan tidak mau ditemui orang luar. Hanya orang tertentu yang bisa memanggil mereka. Contohnya, saat kondisi sedang perang, lalu meminta bantuan mereka. Kalaupun mereka turun gunung, itu berarti kondisinya sudah darurat, misalnya tragedi di Sampit beberapa tahun lalu," katanya.

Hingga kini, warga desa yang sering bolak-balik pengumpul hasil hutan, belum pernah sekalipun merasa terancam dengan keberadaan suku primitif itu. Terutama dari kelompok suku yang mendiami sekitar kaki Bukit Raya maupun suku yang berada di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Diperkirakan populasi suku Dayak Ot Siau dan Ot Danum yang tersebar di jantung Kalimantan mencapai ratusan kepala keluarga.

”Selama ini kami hidup secara damai berdampingan. Saling menghormati, menjaga sopan santun, dan tidak pernah sekalipun mencoba mengganggu keberadaan mereka," katanya.

Kendati demikian, katanya, pada masa-masa kelam sebelum lahirnya kesepakatan Rapat Damai Suku Dayak pada 22 Mei hingga 24 Juli tahun 1894 di Tumbang Anoi, Kabupaten Gunung Mas, Dayak Ot Siau maupun Ot Bukot bukanlah suku yang ramah.

”Kalau bertemu manusia seperti kita sekarang, pasti akan terjadi peristiwa saling bunuh. Biasanya yang menang adalah mereka, karena mereka larinya cepat, ringan, dan sakti," ungkapnya.

Pada zaman itu, jelasnya, pertikaian antar dan sesama suku Dayak memang kerap terjadi. Terutama yang berhubungan dengan tradisi ”mengayau” atau berburu/memenggal kepala manusia. Rapat akbar dan paling bersejarah itu dihadiri ribuan orang dari 152 suku Dayak di Pulau Kalimantan, termasuk utusan dari kedua suku tersebut. Hingga kini, suku Dayak Ot Siau dan Ot Bukot, maupun Ot Danum/Dohoi masih memegang teguh sumpah perdamaian tersebut.

”Selepas perjanjian damai itu, terjalinlah persatuan dan persaudaraan antarsuku-suku Dayak. Sampai saat ini pun, tidak ada lagi pertikaian atau konflik. Kalau pun ada, itu bukan perang antarsuku. Orang Dayak akan memegang teguh janji itu sampai kapan pun oleh anak cucu kelak,” pungkasnya. (***/ign)

 


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers