SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN
Sabtu, 28 Oktober 2017 22:34
Pejuangan Demokrasi yang Anti Demokrasi
Ilustrasi. (net)

Oleh: Ricky Rinaldi )*

Penolakan Perppu Ormas oleh Ormas radikal mulai disuarakan kembali setelah sekitar enam Ormas Radikal dibubarkan oleh pemerintah, tak hanya itu isu tersebut juga dibarengi oleh isu klasik yang dianggap masih menjadi hantu dimasyarakat yakni isu tentang kebangkitan kembali ideologi Komunis,Isu ini akan disuarakan kembali  dan dikemas dengan sedemikian rupa oleh massa yang banyak dalam sebuah aksi bernama 299.

Dua isu tersebut seolah sengaja dibesar-besarkan kembali untuk mencapai sebuah tujuan tertentu dari segelintir kelompok yang memiliki kepentingan menjelang berlangsungnya pilkada serentak 2018 dan pillpres 2019 hingga merubah arah kebijkan Negara.

Penerbitan Perppu ormas tersebut dinilai sangat baik dan sudah memasuki ranah mekanisme pembentukan suatu Ormas yang benar, namun dalam proses ditegakannya Perppu ini ada sebagian kelompok radikal yang merasa terusik. Sehingga dibesar-besarkanlah Isu bahwa pemerintah tidak lagi pro terhadap sistem demokrasi, padahal sebelumnya ormas tersebutpun tidak pula menyetujui sistem demokrasi yang dianut pemerintahan, bahkan cederung untuk mengambil ahli pemerintahan dan merubah sistem yang ada.

Dari berbagai sudut pandang manapun tudingan ormas radikal tersebut sangat tidak berdasar dan diluar logika, bagaimana bisa sebuah ormas radikal menyebutkan dirinya berjuang diranah demokrasi yang sebelumnya hal tersebut diharamkan oleh mereka sendiri. Hal ini seolah sengaja dibuat oleh mereka agar mendapatkan dukungan secara besar untuk menuntut pemerintah supaya merevisi ulang Perppu yang dianggap tidak demokratis ini.

Jika dilihat dari konten Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang ormas ini, isinya tidak pula seperti yang di isukan ormas radikal tersebut. Perppu ini hanya menegaskan dan menitikberatkan kepada asas pembentukan Ormas harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 serta larangan kepada ormas untuk tidak melakukan tindakan provokatif  berbau permusuhan dan kebencian antar suku, agama, ras atau golongan.

Selain ormas radikal, adapula beberapa ormas yang berafiliasi dengan parpol ikut merasa terusik dengan Perppu tersebut karena didalam Perppu ormas tersebut juga ditegaskan pelarangan kepada ormas untuk tidak ikut serta dalam kegiatan perpolitikan sebuah partai.

Upaya untuk menyerang pemerintah oleh sekolompok ormas penggerak aksi 299 ini juga diperkuat dengan isu tambahan mengenai hantu komunis dengan tujuan untuk melemahkan kebijakan pemerintahan era Presiden Joko Widodho. Bentuk pelemahan ini seolah dirancang agar membentuk sebuah paradigma dimasyarakat bahwa ada keterkaitan Kepala Negara dalam manuver kelompok komunis kedalam sistem pemerintahan Negara.

Nyatanya tuduhan isu tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada, padahal pemerintah sudah sangat jelas dan tegas menyatakan bahwa pemerintah sangat menolak dan akan menindak segala bentuk kebangkitan serta perkembangan Komunis di Indonesia dengan mengacu kepada TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia, hal ini dinyatakan secara gamblang pada saat Pidato Presiden Joko Widodho.

Bila melihat dari sejarah kekalahan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2016 lalu, kegiatan aksi 299 ini memiliki pola yang sama dengan aksi 212 pada tahun 2016 silam, tujuan dari aksi ini selain untuk mengupayakan kebangkitkan kembali ormas “yang mendengungkan Khilafah itu”, juga dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok politik untuk menjatuhkan atau merusak citra Presiden Joko Widodho dalam Pilpres 2019 nanti.

Menurut data lapangan, aksi 299 ini diprakarsai oleh presidium 212 dan mantan petinggi HTI dengan sebagian besar anggota aksi 299berasal dari ormas berbau politik keislaman. Kembali lagi pada pertanyaan awal bagaimana bisa sebuah ormas yang tidak pernah mendukung adanya demokrasi menyuarakan serta seolah-olah mendukung demokrasi harus berjalan di Negara ini. Isu tolak kebangkitan komunis juga dianggap hanya sebagai hiasan untuk menyuarakan sebuah dukungan yang sama dari seorang tokoh pejabat negara yang diperkirakan akan mengikuti Pilpres 2019 nanti.

Jika saja masyarakat ataupun kelompok yang akan mengikuti aksi ini mau sedikit berpikir kritis mungkin akan ditemukan sebuah konspirasi politik dalam sebuah desain besar yang diupayakan oleh kelompok-kelompok kepentingan bertujuan untuk merubah eskalasi politik serta arah kebijakan pemerintahan yang dapat membahayakan keutuhan bangsa maupun keselamatan dari tiap-tiap penduduk Negara ini.

Jika arah kebijakan Negara selalu dipertanyakan dan dirubah demi kepentingan sebuah kelompok, maka sebuah Negara Indonesia yang makmur, adil dan sejahtera yang dituangkan dalam amanat UUD 1945 hanyalah sebuah narasi dalam buku tua yang kreadibilitasnya sudah tidak dapat lagi di pertahankan.

Sebuah upaya khusus yang terjadi pada aksi 212 sudah terlaksana dengan berhasil maka tidak menutup kemungkinan apabila aksi dengan pola serupapun yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan terntentu dapat menggerogoti dan merubah arah serta sistem Negara. Maka dari itu cobalah untuk mendukung arah kebijakan pemerintahan yang ada agar cita-cita dalam amanat UUD 1945 bukan hanya sekedar narasi didalam sebuah buku tua. )* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis (LSISI)


BACA JUGA

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers