PANGKALAN BUN - Berdasarkan data yang dimiliki Resor Taman Wisata Alam (TWA) Tanjung Keluang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) Penyu Sisik dan Penyu Hijau (Chelonia Mydas) yang rutin naik dan bertelur di tempat persinggahan penyu dunia tersebut hanya sekitar delapan ekor.
Dari delapan ekor indukan penyu-penyu tersebut yang kembali pulang untuk bertelur setiap tahun hanya dua sampai empat ekor saja. Bahkan pada tahun 2019 ini terpantau hanya dua ekor saja yang naik ke TWA Tanjung Keluang untuk bertelur.
Banyak faktor yang menyebabkan terus menurunnya populasi penyu yang terancam punah dan sangat dilindungi ini untuk naik (ke darat) dan bertelur, diantaranya adalah ramainya lalulintas pelayaran di Sungai Kumai, keberadaan kapal - kapal membuat penyu menjadi gelisah saat hendak bertelur.
Kepala Resor TWA Tanjung Keluang, Sunaryo mengungkapkan, berdasarkan pengamatannya kegelisahan penyu tersebut diketahui dari skala intensitas observasi penyu sebelum bertelur. Lazimnya, sebelum bertelur penyu ini hanya melakukan satu kali observasi untuk mengamati situasi pantai yang rencananya akan digunakan untuk menaruh telur - telurnya.
“Namun lalulintas pelayaran yang semakin ramai membuat penyu - penyu ini hingga lima kali observasi sebelum memastikan untuk mendarat di pantai dan bertelur,” terangnya.
Ia mengakui, meski dulunya perburuan penyu dan telur sempat mengalami peningkatan sekitar tahun 2011 lalu, namun saat ini masyarakat sudah mulai menyadari bahwa Penyu Sisik dan Hijau merupakan satwa yang dilindungi. Hal ini berkat penyuluhan dan sosialisasi yang terus menerus dilakukan TWA Tanjung Keluang, sehingga setiap tahun angka perburuan mengalami penurunan.
Sunaryo juga menyebut bahwa penyu yang mendarat dan bertelur di TWA Tanjung Keluang akan datang sekitar pukul 19.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB. Masa bertelur satwa bercangkang ini terjadi antara Mei hingga September.
Dibulan - bulan tersebut pihaknya mengintensifkan patroli untuk mengawasi dan menjaga telur - telur penyu dari aksi penjarahan pemburu. Selain manusia yang menjadi ancaman telur ini, ada binatang predator lainnya, semisal anjing, babi, dan burung.
“Konservasi penyu ini tidak mudah, dari ratusan ekor yang berhasil ditetaskan dan dilepaskan ke laut pada usia dua bulan, hanya satu persennya yang mampu bertahan hidup, hingga menjadi penyu dewasa,” imbuhnya.
Menurutnya sepanjang tahun 2011 hingga 2019, TWA Tanjung Keluang berhasil melepas sebanyak 1.732 ekor tukik (anak penyu) ke laut, namun diperkirakan dari ribuan tukik tersebut hanya 100 ekor yang mampu bertahan, karena predator di laut seperti hiu, kepiting, baracuda menjadi pemangsa utama mereka.
Jadi baik di darat maupun di laut, dari telur sampai menjadi tukik, satwa ini memang sangat sulit bertahan lantaran banyak predator yang mengincarnya.
“Tukik ini hingga menjadi penyu dewasa dan mulai reproduksi hingga usia 30 tahun, dan mampu bertahan hidup hingga ratusan tahun lamanya,” pungkas Sunaryo.(tyo/sla)