PANGKALAN BUN - Sidang kasus kebakaran hutan dan lahan diiringi isak tangis keluarga terdakwa yang hadir di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Senin (25/11) lalu.
Dalam kasus itu mendudukkan terdakwa Gusti Maulidin (63) dan Sarwani (50) warga Desa Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Gusti Maulidin yang mata kirinya sudah tidak bisa melihat lagi itu harus duduk sebagai pesakitan karena membuka ladang untuk menanam padi dengan luasan kurang dari satu hektare.
Sebagai masyarakat adat, kakek Maulidin sudah secara turun temurun mewarisi budaya bercocok tanam (menugal) dengan membuka lahan terbatas untuk berladang dengan cara membakar.
Putra dari Gusti Maulidin, Gusti Ismail mengungkapkan bahwa peristiwa tersebut bermula saat orang tuanya membuka lahan untuk bercocok tanam, dalam membuka lahan orangtuanya sudah memperhitungkan berbagai hal termasuk arah mata angin dan lain - lain.
Menurutnya saat itu tidak ada bagian hutan atau apapun yang berdampingan dengan lahan orang tuanya yang turut terbakar. Karena orangtuanya tetap menjaga di lokasi untuk memastikan api benar - benar padam.
“Bahkan di dekat lahan orangtua saya, ada Sungai Rungun yang airnya saat itu masih banyak, jadi saya pastikan api tidak ada merembet membakar kawasan hutan di sekitar, saya bisa tunjukan ke TKP,” ungkapnya.
Sebagai anak ia merasa terpukul dengan penangkapan orangtuanya, bahkan saat sidang mereka tidak bisa menahan air mata melihat kakek renta turun dari mobil tahanan dengan kondisi di borgol. Ia berharap ada keadilan bagi orangtuanya, karena ayahnya bukan penjahat, ayahnya adalah peladang yang berjuang untuk pangan keluarganya.
“Apakah masih ada keadilan untuk orangtua saya, mereka hanya menjalankan kewajiban sebagai kepala keluarga, apalagi ayah sudah tua,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat, Mardani mengatakan bahwa masyarakat adat membakar hanya sebatas untuk kepentingan dalam rangka ketahanan pangan lokal dan tidak merusak lingkungan hidup.
Bahkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 pasal 69 ayat 2 menjamin kegiatan itu. “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh - sungguh kearifan lokal di daerah masing - masing dan pasal ini belum dicabut,” tegasnya.
Ia menyebut lahan yang dibuka oleh Gusti Maulidin, secara riil bukan lagi tutupan hutan dan kawasan tersebut sudah berulang kali dijadikan tempat berladang.
“Dulunya selain padi, di lahan itu pernah ditanami karet (para), kopi, dan rotan, secara tradisi berladang sebenarnya justru berkontribusi bagi lingkungan hidup,” katanya.
Ia melihat dakwaan terhadap peladang masyarakat adat ini tidak tepat, karena mereka bukanlah penyebab bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan selama ini.“Ini berbeda dengan istilah ladang berpindah, yang dituduh merusak alam, karena selalu berpindah ke lokasi yang baru,” ungkapnya. (tyo/sla)