PANGKALAN BUN - Puluhan massa dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat lakukan unjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Senin (9/12). Mereka menuntut pembebasan dua orang peladang tradisional yakni Gusti Maulidin (63) dan Sarwani (50) yang menjadi terdakwa kasus pembakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Pantauan Radar Pangkalan Bun, sekitar pukul 09.00 WIB massa mulai berdatangan dan memenuhi jalan di depan Kantor PN Pangkalan Bun. Mereka melengkapi diri dengan spanduk dan kertas lebar berisi tuntutan mereka. Massa tidak bisa masuk ke halaman kantor pengadilan karena blokades aparat Kepolisian. Sehingga massa hanya bisa berorasi di Jalan Sutan Syahrir.
Dalam orasinya Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mardani menegaskan bahwa peladang bukan penjahat. Menurutnya Gusti Maulidin (63) dan Sarwani (50) yang merupakan warga Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama ini kondisinya sudah renta dan karena faktor kesehatan pihaknya meminta agar dilakukan penangguhan penahanan, tapi hal itu tidak dikabulkan pihak Pengadilan Negeri Pangkalan Bun.
Selain itu Mardani juga menyampaikan enam tuntutan. Pertama menegaskan kepada setiap orang bahwa praktek berladang adalah upaya mempertahankan hidup, tradisi, dan budaya turun temurun masyarakat adat.
Kedua, menegaskan bahwa praktek perladangan tradisional oleh masyarakat adat merupakan bentuk kedaulatan mereka terhadap pangan, konsumsi, ekonomi, sosial, budaya serta kedaulatan atas tanah, dan ruang hidup.
Ketiga, Hakim harus memperhatikan secara sungguh-sungguh kearifan lokal yang ada di masyarakat sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang PPLH Pasal 69 Ayat 2 dan Hakim harus melihat bahwa kearifan lokal tidak butuh penetapan masyarakat adat. Menolak pandangan Hakim PN Pangkalan Bun yang menyebut bahwa kearifan lokal harus didahului adanya penetapan masyarakat adat oleh pemerintah.
Menegaskan bahwa pembukaan lahan oleh Gusti Maulidin dan kawan-kawan telah memenuhi kriteria kearifan lokal (maksimal 2 hektare, sekat bakar, varietas lokal, dan lain-lain ) sebagaimana pengertian dalam Undang-Undang PPLH Pasal 69 Ayat 2 .
Dan terakhir menuntut penghentian kriminalisasi terhadap seluruh peladang tradisional dalam kasus karhutla serta menuntut PN Pangkalan Bun membebaskan Gusti Maulidin dan Sarwani dari segala tuntutan hukum.
“Kami sangat berharap para Hakim bisa mendengarkan tuntutan yang kami sampaikan. Bebaskan dua kakek kami dari segala tuntutan dan ke depannya tidak ada lagi bentuk kriminalisasi terhadap seluruh peladang tradisional. Karena itu cara mereka bertahan hidup,” tegasnya.
Guna menanggapi hal itu PN Pangkalan Bun akhirnya bersedia menerima perwakilan pengunjuk rasa untuk mendengarkan penjelasan dari pihak pengadilan.
Sementara itu Humas PN Pangkalan Bun Iman Santoso mengatakan bahwa pihaknya mempersilakan aksi unjuk rasa itu asalkan tertib dan tidak anarkis. Namun yang perlu diketahui masyarakat bahwa dua kakek warga Desa Rungun ini masih dalam proses persidangan.
Kasus tersebut, lanjutnya merupakan pelimpahan dari Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat. Sehingga pengadilan hanya melakukan proses persidangannya.
“Selanjutnya mengenai aspirasi masyarakat kita tampung semua. Kita juga sudah melakukan audiensi dengan masyarakat, kita dengarkan semua,” kata Iman Santoso.
Selanjutnya ia juga mengungkapkan bahwa proses persidangan terhadap dua kakek ini baru sampai tahap tuntutan. Masih ada proses yang perlu dilalui. Namun secara jelas pihaknya akan mempertimbangkan aspirasi dari masyarakat dalam memutuskan perkara kasus karhutla tersebut. (rin/sla)