PANGKALAN BUN - Forum Solidaritas Bela Peladang Kobar bakal kembali menggelar aksi damai, Jumat (20/12). Hal itu dilakukan menyusul putusan lima bulan penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, kepada terdakwa Gusti Maulidin dan Sarwani yang merupakan warga Desa Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama (Kolam), Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) dalam kasus Karhutla.
Rencananya aksi akan diikuti sekitar 200 orang yang berasal dari elemen mahasiswa dan masyarakat adat di sejumlah wilayah tersebut. Mereka merencanakan untuk menggelar aksi di DPRD Kobar dan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun.
Menurut Koordinator Aksi Bela Peladang, Ramlan, aksi damai yang dilaksanakan itu selain diisi orasi, juga akan diwarnai aksi teatrikal yang menggambarkan peladang yang pada masanya merupakan bagian dari kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang secara turun temurun hingga saat ini.
“Ada dua titik konsentrasi aksi, yaitu di halaman Kantor DPRD Kobar dan di Kantor Pengadilan Negeri Pangkalan Bun,” ujarnya, Kamis (19/12).
Menurutnya dalam aksi tersebut Forum Solidaritas Bela Peladang Kobar akan mengajukan tiga tuntutan, di antaranya meminta DPRD Kobar segera membuat produk hukum terkait perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, termasuk tradisi berladang di Kobar sesuai dengan amanat Undang - Undang dan harus dimasukan dalam program legislasi daerah dan disahkan tahun 2020, agar tidak terjadi kembali kriminalisasi terhadap peladang di Kobar.
Selain itu juga menuntut Jaksa Agung Republik Indonesia agar mengevaluasi kinerja Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pangkalan Bun dalam kasus Karhutla di Kobar.
“Kami juga mendesak Komisi Yudisial Republik Indonesia dan Bawas Mahkamah Agung untuk mengevaluasi seluruh putusan dan kinerja hakkm terhadap padang tradisional dan kasus - kasus Karhutla di Kalteng, khususnya di Kobar,” ungkapnya.
Ia menegaskan sejak tahun 2015 pihaknya melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah mengajukan perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat termasuk berladang sebagai perda inisiatif DPRD.
“Selain itu meminta produk hukum terhadap perlindungan masyarakat adat agar tidak ada lagi kearifan lokal dianggap melanggar hukum,” pungkasnya. (tyo/sla)