PANGKALAN BUN - Penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar di SPDN Desa Kubu, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) diduga bermasalah, akibatnya ratusan nelayan tradisional di desa tersebut melakukan aksi mogok mengambil jatah minyak bersubsidi sejak setahun belakangan ini.
Menurut perwakilan nelayan tradisional Desa Kubu, Samsu, sejak pengelolaan SPDN diambil alih oleh salah satu warga desa setempat dengan mendirikan sebuah PT, mereka merasa dipersulit dalam mengambil BBM bersubsidi dari SPDN tersebut.
Salah satunya adalah nelayan yang mengambil BBM untuk keperluan melaut ke SPDN Kubu, maka mereka harus mengikuti aturan tambahan yakni selain membeli BBM bersubsidi mereka juga diwajibkan membeli BBM industri jenis Dexlite dengan perbandingan 50 persen subsidi dan 50 persen industri.
“Bila membeli 1 drum atau setara 200 liter (khusus kapal nelayan besar), 100 liter minyak subsidi dan 100 liternya lagi harus Dexlite (industri),” ungkapnya.
Hal itu awalnya dapat diterima oleh nelayan baik nelayan kecil maupun nelayan berkapal besar (5 grosston), namun semakin lama porsi untuk BBM bersubsidi terus dikurangi.
Selain itu nelayan juga mengeluhkan seringnya mereka tidak mendapat jatah dengan alasan habis padahal jika dihitung dari waktu kedatangan mobil tangki Pertamina hanya berselisih hitungan jam saat mereka akan mengambil jatah BBM tersebut.
“Kita kan tidak selalu ada di darat, jadi saat BBM dari Pertamian datang posisi kita sedang melaut, sehingga ketika kita datang minyak sudah tidak bisa diambil dengan alasan habis, apalagi pengambilan tidak bisa diwakilkan, tentu aturan ini sangat merugikan kita,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan akibat persoalan tersebut, ratusan nelayan lebih memilih membeli BBM ke pengecer dengan harga industri dan mogok mengambil minyak ke SPDN.
Samsu juga menyebut bahwa persoalan ini tidak hanya terkait pelayanan, tetapi juga adanya dugaan manipulasi daftar nelayan yang menerima BBM bersubsidi dari SPDN.
Berdasarkan data penerima BBM bersubsidi dari pengelola SPDN, ada sebanyak 143 nelayan yang mendapat jatah BBM bersubsidi. Sayangnya dari 143 tersebut yang benar - benar berprofesi sebagai nelayan hanya sekitar 50 orang dan 20 orang sudah tidak mengambil jatahnya.
“Dari data penerima minyak bersubsidi anehnya ada yang bukan nelayan dan tidak berprofesi sebagai nelayan, tetapi ada wiraswasta, pegawai bahkan petani, dan kami ada surat pernyataan mereka, fatalnya ada juga yang bukan warga Kubu,” ungkapnya.
Sementara itu, berdasarkan data hasil verifikasi dari Dinas Perikanan Kabupaten Kotawaringin Barat, jumlah kapal nelayan di Desa Kubu yang saat ini mogok mengambil minyak sejak setahun belakangan berjumlah 235 nelayan tradisional dan seluruhnya sejak setahun belakangan tidak lagi mengambil minyak di SPDN Kubu.
Masuknya nelayan fiktif dalam daftar penerima jatah minyak subsidi itu juga diduga untuk mencukupi kuota 70 kiloliter atau 14 kali pengiriman dari Pertamina. Juga muncul dugaan pihak SPDN memnipulasi ukuran kapal. Beberapa kapal yang ukuranya hanya 2 grosston diubah dalam data menjadi 4 grosston.
“Semakin besar ukuran grosston kapal, maka BBM yang diterima semakin besar, karena banyak yang fiktif untuk mencukupi kuota ukuran kapal di rubah dalam data,” ungkapnya.
Untuk itu karena mereka sudah tidak percaya terhadap pengelolaan SPDN Kubu, pihaknya akan mengadukan persoalan tersebut ke Gubernur dan Pertamina Sampit hingga pusat. (tyo/sla)