SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Sabtu, 16 Mei 2020 10:41
Hampir Separuh Peserta Mandiri Nonaktif
GEDUNG BARU: Kantor BPJS Cabang Sampit di Jalan Sudirman Km 7 Sampit.(DIAN TARESA/RADAR SAMPIT)

SAMPIT – Beragam persoalan harus dihadapi BPJS Kesehatan dalam menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain persoalan defisit anggaran, lembaga yang dulu bernama PT Askes ini juga harus menangani tunggakan iuran dari segmen peserta mandiri. 

Kepala Bidang Penagihan dan Keuangan BPJS Kesehatan Cabang Sampit Sukarsi mengatakan, hanya sekitar 59 hingga 60 persen peserta mandiri di Kotim yang aktif membayar iuran. Sisanya, 40 persen peserta tidak aktif alias menunggak iuran.

"Saat ini yang paling lama tunggakan peserta ada yang sampai di atas satu tahun lebih. Jika tidak diaktifkan, maka peserta mandiri tidak bisa mendapatkan pelayanan JKN," kata Sukarsi.

Menurutnya, Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur telah mencapai universal health coverage (UHC) sejak tahun 2019 lalu karena 95 persen penduduknya sudah terdaftar sebagai peserta JKN. Namun pekerjaan terberat adalah menjaga kedisiplinan peserta mandiri untuk membayar iuran.

Di awal tahun, BPJS sudah menyosialisasikan Perpres 75 Tahun 2019 secara masif. Namun iuran dikembalikan lagi ke besaran awal per 1 April. Jika ada peserta yang sudah terlanjur membayar di bulan April sesuai perpres 75, maka saldonya akan dimasukkan ke bulan berikutnya sehingga tidak perlu bayar lagi atau hanya membayar kekurangannya saja.

Terkait pandemi Covid-19, BPJS Kesehatan juga  memberikan kemudahan bagi peserta yang mempunyai tunggakan lebih dari pada enam bulan.

"Dulu mereka diwajibkan membayar semua tunggakan itu, baru kartu JKN baru bisa aktif. Kalau sekarang, mereka hanya bayar 6 bulan, kartu sudah bisa aktif, namun bukan berarti sisa tunggakan dihapuskan. Masih tetap harus dibayar sejumlah tunggakannya dengan cara dicicil," jelas Sukarsi.

Kepala Bidang Komunikasi Publik BPJS Cabang Sampit Ujang Kartiman menambahkan,  saat ini sudah terbit regulasi baru terkait Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Aturan Baru Iuran JKN.  Perpres ini mengubah Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Kenaikan Iuran BPJS.

Perpres Nomor 75 Tahun 2019 saat itu digugat melalui Mahkamah Agung (MA) dan akhirnya digugurkan dengan berbagai pertimbangan.

"Perpres itu dilaksanakan mulai awal tahun yaitu bulan Januari hingga Maret. Dalam kurun waktu tiga bulan itu, akhirnya kembali lagi menggunakan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 sejak April lalu," terang Ujang.

Seiring diterapkan Perpres 64 Tahun 2020, iuran peserta mandiri kelas III Rp 42 ribu. Peserta hanya membayar sejumlah Rp 25.500, sedangkan Rp 16.500 disubsidi pemerintah pusat.

Menurut Ujang, pemerintah berperan besar karena sudah membayarkan peserta PBI yang mencapai 132 juta lebih. "Di sinilah peran BPJS bagaimana mengaktifkan peserta mandiri kelas III ini. Karena pemerintah hanya akan memberikan subsidi bagi peserta yang aktif saja, sehingga peserta harus rutin membayarkan iuran JKN," ujarnya lagi.  

TURUNKAN TINGKAT KEPESERTAAN 

Keputusan pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai KPK bukan solusi menyelesaikan masalah. Sebaliknya, kenaikan itu justru akan memupuskan tujuan perlindungan sosial yang diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, merujuk UU SJSN, jaminan sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Keikutsertaan dan perlindungan bagi seluruh rakyat itu adalah indikator utama suksesnya perlindungan sosial kesehatan.

"Dengan menaikkan iuran di kala kemampuan ekonomi rakyat menurun, dipastikan akan menurunkan tingkat kepersertaan seluruh rakyat dalam BPJS," paparnya melalui keterangan pers, kemarin (15/5).

Menurut Ghufron, persoalan BPJS sejatinya ada pada tata kelola yang cenderung inefisien dan tidak tepat. Bahkan, ada juga persoalan penyimpangan (fraud) di BPJS. Merujuk kajian KPK terkait tata kelola dana jaminan sosial (DJS) kesehatan yang dilakukan tahun lalu, pengelolaan yang semrawut itu lah yang menyebabkan BPJS Kesehatan mengalami defisit.

KPK pun menilai kenaikan iuran sebelum ada perbaikan tata kelola tidak menjawab persoalan mendasar di BPJS Kesehatan. "Jika rekomendasi KPK dilaksanakan, maka tidak diperlukan menaikkan iuran BPJS kesehatan yang akan dirasakan sangat membebani masyarakat mengingat situasi sulit yang sedang dihadapi saat ini," ungkapnya.

Terkait solusi defisit, KPK sejatinya telah merekomendasikan beberapa hal. Diantaranya menyelesaikan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK), melakukan penertiban kelas Rumah Sakit (RS), mengimplementasikan kebijakan urun biaya untuk peserta mandiri, dan menerapkan kebijakan pembatasan manfaat untuk klaim atas penyakit katastropik sebagai bagian upaya pencegahan.

KPK juga merekomendasikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengakselerasi implementasi kebijakan coordination of benefit (COB) dengan asuransi kesehatan swasta. Sementara terkait tunggakan iuran peserta mandiri, KPK merekomendasikan agar pemerintah mengaitkan kewajiban membayar iuran dengan pelayanan publik. (tyo/dia/yit)

 


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers