SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Kamis, 09 Juli 2020 15:11
Masih Tarif Lama, Dokter dan Nakes Sulit Terapkan Harga Tertinggi
ILUSTRASI.(NET)

SAMPIT – Kebijakan pemerintah terkait penetapan tarif pemeriksaan rapid test sebesar Rp 150 ribu dinilai memberatkan dokter atau tenaga kesehatan. Pasalnya, range harga tak sebanding dengan biaya alat rapid test yang dipasarkan di Indonesia.

Kepala Klinik Neo Sigma dan Seribu Dahan di Kota Sampit, Gary, tak ingin berkomentar terkait kebijakan pemerintah. Namun, kebijakan tersebut diakuinya cukup memberatkan. Hal itu dikarenakan besaran tarif tersebut jelas tidak cukup menutupi biaya operasional pelayanan.

”Saya no comment dulu, nunggu jenderal (Menteri Kesehatan Terawan) atau Pak Doni Monardo (Kepala BNPB) yang memberikan pernyataan. Yang jelas, kalau saya belum mampu memenuhi SE Dirjen tersebut," kata Gary, Rabu (8/7).

Gary menuturkan, selama masa pandemi Covid-19, berbagai upaya protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dijalankan dengan ketat selama tenaga kesehatan bertugas menangani pasien. Salah satunya dalam penggunaan alat pelindung diri (APD) yang memerlukan biaya cukup besar karena hanya dapat digunakan untuk sekali pakai.

Sementara itu, dari sisi tarif, rapid test per kotak yang berisi 20 pcs, dikenakan harga Rp 5 juta. Artinya, setiap alat rapid test dikenakan Rp 250 ribu per pcs. ”Itu belum termasuk biaya ongkos kirim dan biaya tarif operasional layanan, sehingga harga yang ditawarkan per satu kali pemeriksaan di kisaran Rp 350-Rp 922 ribu di berbagai klinik yang melayani pemeriksaan rapid test," ujar Gary.

”Teman sesama dokter yang berada di luar daerah Kotim menyebut, biaya ongkos kirim bisa mencapai Rp 2 juta," tambahnya.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan menetapkan batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan rapid test sebesar Rp 150.000. Penetapan tarif tersebut telah ditetapkan sejak tanggal 6 Juli 2020 dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/I/2875/2020.

Kebijakan tersebut didasari atas respons masyarakat yang mengeluhkan biaya rapid test dengan harga yang cukup fantastis. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah ingin memberikan kemudahan kepada masyarakat dari sisi pengenaan tarif pemeriksaan rapid test.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kotim Ikhwan Setiabudi mengatakan, pihaknya telah membahas terkait hal tersebut dengan Kepala Dinas Kesehatan Kotim Faisal Novendra Cahyanto. ”Tadi sudah saya bahas dengan Pak Kadis dan beliau sependapat sekali dengan penyampaian Wakil Ketua Umum (Waketum) PB IDI. Seharusnya yang diatur adalah harga eceran tertinggi Rapid Test. Bukan tarif layanannya," kata Ikhwan.

Di samping itu, lanjutnya, pemerintah harus mempertimbangkan biaya operasional lainnya, seperti bahan habis pakai (BHP). Misalkan, penggunaan APD, spuit, tabung darah, dan jasa pemeriksaan.

”Harga tarif rapid test yang direkomendasikan sebesar Rp 150 ribu, sedangkan rapid test yang menjadi acuan Kemenkes tidak semua daerah terfasilitasi, kecuali rapid test yang menjadi acuan biaya tersebut tersedia sekarang," ujarnya.

Ikhwan menambahkan, kendala lainnya, alat rapid test tak semua mudah dijual di pasaran, sehingga pengenaan tarif pemeriksaan rapid test berbeda-beda di setiap wilayah. Menurutnya, persoalan rapid test perlu peran serta pemerintah dalam mengambil kebijakan yang tepat. Dengan demikian, standar tarif yang ditetapkan pemerintah dapat dijalankan.

”Alat rapid test tidak semua daerah mudah mencarinya, sehingga wajar tarif layanan pemeriksaan yang dikenakan berbeda-beda. Karenanya, ini perlu peran pemerintah. Bila perlu ada subsidi dari pemerintah, sehingga masyarakat tidak merasa dirugikan," tandasnya.

Catatan Radar Sampit, kebijakan wajib tes cepat Covid-19 dikeluhkan dan memberatkan warga yang ekonominya pas-pasan dan berniat keluar daerah untuk keperluan mendesak. Mariyanto (55), misalnya. Buruh perusahaan sawit ini mengaku keberatan dengan tingginya biaya pulang kampung. Namun, dia terpaksa harus mengeluarkan uang untuk semua biaya yang diperlukan karena Lebaran lalu tak bisa mudik.

”Jelas keberatan. Tetapi, apa boleh buat. Lebaran kemarin tak bisa pulang karena semua warga dilarang mudik. Tetapi, sekarang mulai dibolehkan dan kapal mulai membuka jadwal keberangkatan akhirnya nekat berangkat,” ucap Mariyanto saat ditemui di salah satu klinik laboratorium yang menyediakan layanan rapid test, pertengahan Juni lalu.

Pimpinan Cabang PT Dharma Lautan Utama (DLU) Sampit Hendrik Sugiharto mengatakan, penumpang kapal banyak yang keberatan dengan tingginya biaya rapid test. ”Mohon maaf, penumpang kapal rata-rata merupakan masyarakat menengah ke bawah. Tentu calon penumpang banyak yang keberatan dengan tingginya biaya rapid test,” kata Hendrik.

Menurutnya, setiap penumpang kapal banyak yang pulang ke kampung halaman karena sudah tidak ada kerjaan di Sampit. Dengan kondisi perekonomian yang sulit, mereka juga harus dibebankan pada tingginya tarif rapid test.

Dia khawatir tingginya biaya rapid test akan membuat perekonomian masyarakat semakin terpuruk. Dia berharap pemerintah dapat mengoptimalkan atau bahkan memfasilitasi pemeriksaan rapid test dengan keringanan biaya.

”Saya khawatir dengan kondisi seperti ini malah semakin menyulitkan perekonomian masyarakat. Kami berharap pemerintah bisa mengoptimalkan biaya rapid test dengan harga yang lebih murah dan terjangkau atau bahkan gratis,” pungkasnya. (hgn/ign)


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers