SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Sabtu, 15 Agustus 2020 11:20
Anak Tak Fokus, Terkendala Jaringan Internet, Berharap segera Berlalu

Ketika Orang Tua Mendampingi Anak Belajar secara Daring

BELAJAR: Salah seorang murid yang bersekolah di SDN 4 MB Hilir ketika mengerjakan tugas sekolah di ruang kantor orang tuanya, Kamis (13/8).(HENY/RADAR SAMPIT)

Pandemi memaksa proses belajar mengajar dilakukan secara daring. Alhasil, hal itu menambah tugas orang tua pelajar. Mereka harus mendampingi anaknya menjalani sistem baru dunia pendidikan itu dengan berbagai masalah yang dihadapi.

HENY, Sampit

Sistem pembelajaran online sudah dimulai sejak pandemi Covid-19 pada Maret lalu. Namun, ketika itu, kegiatan belajar secara daring tidak serutin sekarang. Pasalnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan meliburkan sekolah untuk menekan penyebaran Covid-19. Libur yang tadinya hanya dua minggu, terus diperpanjang hingga akhir Juni 2020. 

Pada 13 Juli 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan tahun ajaran baru 2020/2021. Namun, kegiatan belajar mengajar tidak dilakukan secara tatap muka sebagaimana kondisi normal dan tetap dilanjutkan secara daring (online).

Kebijakan ini membuat sebagian besar orang tua di Indonesia, termasuk Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menghela napas panjang dan bersiap membagi waktu untuk mendampingi serta mengawasi sang anak selama proses belajar berlangsung.

”Saya mengira memasuki tahun ajaran baru sistem pembelajaran anak bisa kembali normal. Ternyata tetap belajar melalui sistem online,” keluh Tari, orang tua siswa.

Tari menuturkan, sistem belajar online membuat anaknya yang kini masih di bangku kelas 5 Sekolah Dasar Negeri (SDN) 7 Baamang Hilir menjadi tidak disiplin belajar serta bermalas-malasan.

”Saya juga bingung menghadapi anak. Sudah sering saya ingatkan berkali-kali. Sudah saya bangunkan untuk bersiap masuk kelas online, tetapi tetap bermalas-malasan dan seperti meremehkan belajar,” ungkapnya.

Namun, di sisi lain, menurut Tari hal itu tak sepenuhnya disebabkan karena anaknya. Melainkan akibat dia dan suaminya tak bisa sepenuhnya mengawasi anak sepenuhnya.

”Jujur saja, saya tidak bisa sepenuhnya mengawasi anak, apalagi mendampingi di sampingnya ketika belajar online, karena saya dan bapaknya (suami Tari, Red) sibuk bekerja,” ujar ibu yang memiliki dua anak ini.

Dia merasakan perubahan pada anaknya selama satu bulan terakhir. Anaknya seolah larut dalam libur panjang dan menganggap belajar daring bukan kewajiban.

”Namanya anak-anak masih SD perlu pendampingan, tak bisa ditinggal sendiri. Tetapi, saya juga berat meninggalkan pekerjaan, apalagi dalam kondisi perekonomian yang sulit diterpa pandemi seperti ini,” ujarnya.

Tari mengatakan, setiap jadwal absen mulai pukul 07.00-07.30 WIB, anaknya kerap terlewat dan tak mengikuti absen. Tak jarang pula anaknya tak ikut dalam kegiatan pertemuan secara daring melalui aplikasi.

”Mau bagaimana lagi? Anak saya merasa kalau tidak ke sekolah tandanya belum aktif sekolah, makanya sulit dibangunkan dan sering tidak absen. Pertemuan belajar online itu juga sering tidak diikuti,” katanya.

Beban tanggung jawab orang tua dan melihat respons anak, membuat Tari kerap hilang kesabaran dan memarahi anak. ”Saya sebenarnya tidak mau sampai marah-marah. Tapi, kalau melihat kerjaan kami keteteran dan sampai rumah anak tak ada semangat sekolah, akhirnya melampiaskan emosi ke anak,” ungkapnya.

Meski demikian, berbagai tugas dari gurunya selalu dikerjakan dan dikumpulkan ke sekolah. ”Anak saya kasih handphone, jadi dia yang pantau sendiri lewat grup WhatsApp, Kalau ada tugas dari gurunya, ya dikerjakan dan tugasnya saya antar ke sekolah. Cuma, belajarnya tetap tak efektif,” ujarnya.

Di samping, dia mengaku pihak sekolah tak pernah memanggil orang tua untuk kegiatan rapat terkait sistem belajar daring. ”Sampai sekarang saya tak pernah dipanggil rapat terkait sistem belajar online ini. Rencananya pagi tadi saya mau berkonsultasi dengan guru anak saya, tetapi belum sempat karena kerjaan masih keteteran,” katanya.

Tari mengaku khawatir apabila sikap anaknya yang tidak disiplin saat absen dan tidak fokus belajar, akan memengaruhi penilaian terhadap guru. ”Saya sampai teleponan dengan keluarga di Jawa menghadapi sistem belajar online. Saya benar-benar kerepotan dan khawatir kalau anak turun nilainya hanya karena dampak dari sistem belajar online ini,” ujarnya.

Tari berharap agar pihak sekolah dapat menjadwalkan pertemuan terbatas dengan peserta didik secara terjadwal untuk membangkitkan semangat anak dalam belajar. Pertemuan tatap muka minimal satu minggu. ”Kasihan juga anak jenuh di rumah, lama tak kumpul dengan teman-temannya,” ujarnya.

Kewalahan juga dialami Lisna, pegawai sebuah instansi di Kotim. Dia memiliki anak lima yang semuanya masih mengenyam pendidikan di sekolah. ”Anak saya ada yang kelas 2 SMA, ada yang SMP, ada dua anak yang masih SD, dan satunya TK. Kalau kakaknya yang SMP dan SMA dua-duanya sudah bisa dilepas dan tahu tanggung jawabnya. Yang kerepotan mengurusi dua adiknya yang masih SD,” ucap Lisna.

Setiap pukul 07.00 pagi, dia sudah bersiap berangkat ke kantor. Sebelum berangkat, dia memastikan anaknya satu per satu terkait kegiatan belajar sistem online. Kedua anaknya yang masih SD sempat diberikan gawai. Namun, setelah dia berangkat bekerja, tidak ada yang mengawasi. Gawai dibuat untuk bermain, bukan untuk membaca pesan dari gurunya.

”Baru sekitar satu minggu ini handphone tidak saya berikan. Saya tinggal bekerja, anak saya bukannya membaca pesan dari guru kalau ada tugas, malah dipakai untuk bermain. Kakaknya juga sudah mengingatkan, tetapi tetap tak bisa. Makanya tak saya beri lagi,” ujarnya.

Selama pembelajaran sistem online, dia memiliki banyak grup yang anggotanya guru dan orang tua peserta didik. Terkadang begitu banyaknya grup sering membuatnya salah mengirim tugas. Hal itu juga dialami gurunya.

”Setiap ada tugas dari gurunya, saya baca dan saya kirimkan lagi ke kakaknya yang SMP. Kakaknya ingatkan adiknya supaya mengerjakan tugas, tetapi malah menunda-nunda sampai akhirnya saya datang saat jam istirahat kantor,” ujarnya.

Dalam sehari, anaknya yang masih SD mengikuti 2-3 mata pelajaran dan rutin pertemuan daring. ”Setelah dapat materi, anak-anak diberi tugas. Bersyukurnya guru memberikan toleransi. Bagi orang tua yang keduanya bekerja, diberikan maksimal penyetoran tugas sampai jam delapan malam melalui WhatsApp yang dikirim ke gurunya,” ujarnya.

Lisna menuturkan, setiap pulang bekerja, dia langsung memastikan anak-anaknya sudah mengerjakan tugasnya. ”Setiap pulang kerja sore, baru saya bisa maksimal dampingi anak. Semua saya tanyakan tugasnya sudah dikerjakan atau belum. Kalau belum, saya dampingi sampai selesai,” ujarnya.

Menurut Lisna, sistem online tak sampai mengganggu kerjanya. Namun, dia merasa terbebani dengan sistem pembelajaran yang membuat anaknya kurang disiplin dan menunda mengerjakan tugas. ”Anak saya sepertinya lebih disiplin ketika diajarkan guru ketimbang orang tuanya sendiri,” katanya.

Tekanan hidup dan tanggungjawab membuatnya terkadang cenderung menegur anak dengan nada tinggi. ”Setelah pulang kerja, badan capek, lihat tugas anak belum dikerjakan itu yang buat orang tua jadi sebal dan sulit mengendalikan emosi, akhirnya amarah dilampiaskan ke anak,” ujarnya.

Lisna menuturkan, pembelajaran secara konvensional dengan tatap muka secara langsung tetap lebih efektif. Dia berharap agar pembelajaran secara daring cepat berlalu. ”Supaya tidak pusing orang tuanya,” tegasnya.

Keluhan lain juga dialami orang tua lainnya, Eka. Kendala yang dia hadapi terkait jaringan internet dan biaya paket data yang membengkak selama pembelajaran. Hal itu membuatnya terpaksa harus membawa anaknya ikut ke kantor dengan harapan agar mudah dipantau dan bisa menumpang layanan wifi gratis di kantornya.

”Saya sudah mengusulkan pasang wifi, tetapi di tempat saya belum dibuka jaringannya. Terpaksa membeli kuota. Itu pun jaringan internet tak lancar,” ujarnya, seraya menambahkan, dia membawa anaknya ke kantor juga karena gawai yang terbatas, hanya ada satu.

Menurut Lisna, alat komunikasi menjadi salah satu kendala dalam sistem tersebut. Dia mencontohkan tetangganya tak memiliki gawai, sehingga terpaksa meminjam ke kerabat. ”Ada tetangga sampai meminjam handphone dan sampai kumpul di tempat tetangga yang punya wifi,” ujarnya.

Pantauan Radar Sampit, ketika itu anaknya sedang belajar menyelesaikan tugas agama Islam. Anaknya terlihat tekun mengerjakan tugas di ruangan yang juga dijadikan tempat penyimpanan berkas dokumen kantor itu.

Dengan hanya beralas karpet, Fahry Akbar yang duduk di kelas 5 SDN 4 Mentawa Baru Hilir mengaku enjoy dalam pembelajaran. Ketika ditanya lebih nyaman belajar daring atau belajar tatap muka, dia menjawab, ”Dua-duanya suka. Belajar online suka, belajar di sekolah juga senang.”

Eka mengatakan, anaknya terbiasa dididik secara disiplin dalam menyelesaikan tugas sekolah. ”Anak saya sudah saya ajarin dari kecil. Waktunya belajar ya belajar. Waktunya main ya main. Kalau ada tugas segera diselesaikan, jangan ditunda-tunda, karena kalau sudah sampai rumah kerjaan jadi tak fokus dikerjakan,” ujarnya. (***/ign)


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers