SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN
Sabtu, 19 September 2015 23:49
Mengobati Fobia Ideologi
Oktav Pahlevi

Sejarah ideologi selalu meninggalkan bebas yang amat sangat dalam bagi pelaku maupun generasi selanjutnya. Dalam sejarah ideologi dunia mulai dari ideologi kiri paling luar yakni komunisme, agak kedalam sosialisme, ditengah konsevatisme, disebelah kanan dalam liberalisme dan kanan luar fasisme. Semua ideologi tersebut memiliki catatan kelam dalam perjalannya. Bahkan benturan antaran ideologi hanya melahirkan perang antara negara sebagai bentuk pengkultusan terhadap ideologinya.

Secara terminologi, istilah ideologi pertama kali dicetuskan oleh Destutt de Tracypada akhir abad ke 18. Pada saat itu ideologi dimaknai sebagai kumpulan ide atau gagasan dalam konteks sains tentang ide. Dalam perjalanannya hampir semua ilmuwan sosial seperti Destett De Tracy, Descartes, Francis Bacon, Napoleon dll sepakat bahwa dasar ideologi adalah ide, gagasan maupun pemikiran untuk mencapai kepentingan. Sedangkan menurut Karl Marx, Machiavelli dan Thomas Hobbesideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.

Sedangkan fobia ideologi adalah rasa ketakutan yang berlebihan terhadap gagasan atau ide tertentu seperti ideologi komunis, sosialis maupun fasis. Rasa takut itu kemudian menjelma menjadi rasa benci terhadap ideologi tersebut. Khususnya ideologi yang memiliki sejarah kelam yang menyakitkan bagi suatu bangsa/negara. Pertanyaannya kemudian adalah apakah ideologi pantas untuk ditakuti?

Tulisan ini sebenarnya ingin menanggapi kolom rublik catatan yang berjudul mewaspadai kebangkitan ideologi gaya barupada harian ini (Radar Sampit, Senin 14 September 2015). Dimana dalam tulisan tersebut mengkhawatirkan bangkitnya ideologi komunisme dalam pergulatan politik ideologi di tanah air.

Menurut hemat penulis, kemunculan ideologi apapun, baik dari yang paling kiri sampai dengan yang paling kanan tidak mempunyai pengaruh apapun dalam kajian ilmu politik kontemporer. Seperti yang dikemukan oleh Francis Fukuyama seorang ilmuwan politik asal negeri Paman Sam, bahwa sebenarnya pertarungan antara ideologi tersebut telah berakhir (dalam buku The End Of History) dan pemenangnya adalah ideologi liberal barat.

Pendapat Francis Fukuyama tersebut sebagai refleksi dari tulisan ilmuwan politik Amerika lainnya yakni Samuel P. Huntington yang menyatakan terjadi benturan antara peradaban (The clash civilizations) yang juga memprediksikan pemenangnya adalah ideologi barat. Jika memang ideologi komunis memiliki momentum, ruang serta kemampuan untuk bermetamorfosa dalam pergulatan politik kontemporer, sekali lagi saya katakan tidak perlu untuk ditakuti secara berlebihan (fobia).

Sebab dalam perjalanan sejarahnya hingga hari ini hanya ada lima negara di dunia yang masih menganut paham komunisme yakni Republik Rakyat China, Kuba, Laos, Vietnam dan Korea Utara. Sedangkan salah satu negara adikuasa yang menganut paham komunisme yakni Uni Soviet yang juga merupakan kiblat komunisme dunia pada saat itu mengalami demokratisasi dan sebagian besar negara pecahan Uni Soviet berpindah haluan ke demokrasi.

Mengutip pendapatnya Gus Dur jika memang komunisme merupakan hantu yang menakutkan, maka hantu tersebut tidak perlu untuk ditakutkan sebab China yang merupakan satu-satunya negara komunis terkuat di dunia saat ini secara ekonomi tidak jauh beda dengan negara-negara barat, bahkan sudah sama liberalnya dengan negara kiblat demokrasi dunia yakni Amerika Serikat.

Munculnya fobia ideologi sebenarnya disebabkan oleh beberapa hal pertama, tranformasi ideologi hanya dipahami sepenggal-penggal, kurang tepat dan ada kecenderungan belokkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Dengan kata lain bahwa transnasional ideologi yang dicangkokkan di negara tertentu tidak mengalami proses akulturasi yang baik dengan karakteristik bangsa/negara tersebut. Kedua, rasa takut terhadap ideologi tertentu memang sengaja diciptakan oleh kelompok tertentu. Dimulai dengan pemutar balikan sejarah yang tidak mendidik dan mencerahkan.

Tujuannya jelas untuk mencapai kepentingan kelompok tertentu dalam rangka memenuhi “syahwat” politik dan kekuasaan mereka. Ketiga,pendidikan politik tidak berjalan linier dengan sistem demokrasi dewasa ini. Partai politik yang salah satu fungsi memberikan pendidikan politik kepada konstituennya tidak menjalankan fungsi dengan baik. Terakhir, masyarakat kita tidak diajarkan untuk melakukan pengkajian, mendalami dan memahami apa dan bagaimana sebenarnya ideologi tersebut. Artinya pendalaman terhadap ideologi sangat penting, guna melakukan perbandingan dengan ideologi lain untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan masing-masing ideologi tersebut.

Sesuai dengan judul tulisan ini, menurut hemat penulis ada beberapa langkah untuk mengobati fobia ideologi tersebutoleh kita sebagai bangsa yang berdaulat. Pertama, memperkuat civil society organizations/CSO (organisasi masyarakat sipil). Dalam kajian politik kontemporer relasi yang bersifat tripartit antara negara, dunia usaha/pasar dan masyarakat (state, markets and society) harus saling berimbang dan tidak ada yang lebih dominan.

Tujuannya adalah untuk menciptakan kesetaraan antara tiga elemen tersebut. Sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan ideologi-ideologi yang berkembang luas ditengah-tengah mereka. Organisasi masyarakat sipil juga dapat digunakan sebagai media publik untuk melakukanpengawasanterhadap penyelenggara negara (pemerintah).

Kedua, optimalisasi fungsi pendidikan politik oleh partai dan elit politik, bukan hanya sekedar menciptakan jargon-jargon politik saja. Apalagi sekarang kita akan menghadapi pesta demokrasi yakni PEMILUKADA serentak.Jika ada partai politik maupun figur calon kepala daerah yang mengidentikkan partai atau figur lawannya dengan ideologi tertentu sudah sangat tidak relevan. Karena isu-isu yang berkaitan dengan ideologi hanya dijadikan sebagai wahana untuk melakukan black campaign terhadap lawan politiknya.

Ketiga, memperkuat solidaritas nasional dengan modal sosial (social capital)seperti saling menghormati, mempercayai, menghargai., dsb., sebagai bingkai untuk mempererat rasa nasionalisme dalam kebhinekaan. Artinya negara harus menjalankan peran dalam memperkokoh solidaritas kebangsaan tersebut. Dalam konteks ideologi negara harus mampu menjadikan ideologi negara sebagai ideologi tunggal dan berlaku bagi seluruh warga negara.

Keempat, negara harus mampu memberikan pelayanan yang baik bagi publik (public good services). Fungsi ini perlu didorong guna menyakinkan warga negara bahwa bangsa/negara hanya mementingkan kepentingan mereka (rakyat) dan berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yakni pendidikan, kesehatan dan penghidupan yang layak, murah dan mudah dijangkau.Terakhir, Pancasila sebagai ideologi tunggal negara harus benar-benar dijaga kemurniannya. Empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika harus mampu menjadi sendi-sendi pemerkokoh kesatuan bangsa/negara Indonesia agar pengalaman Uni Soviet tidak terjadi pada negara kita.

Jadi apapun ideologi yang ada dimuka bumi ini tidak perlu untuk ditakuti bahkan menjadi “hantu” yang menakutkan bagi kita, sebab pada dasarnya tujuan dari semua ideologi tersebut tulus, jujur dan untuk kemaslahatan umat manusia. Justru yang perlu kita waspadai adalah para elit politik yang picik dan haus kekuasaan mengatasnamakan ideologi untuk mencapai tujuan politik, baik ideologi yang berbasiskan agama maupun ideologi-ideologi politik lainnya. *(Pemerhati Masalah Sosial dan Wakil Ketua DPD KNPI Kotim

loading...

BACA JUGA

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers