SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN
Selasa, 07 Juni 2016 20:13
Tarawih Perdana di Nabawi, Lepas Rindu di Raudah

Catatan Perjalanan Umrah ’Backpacker’ KPG (2)

Duito Susanto

Sehari sebelum puasa, Masjid Nabawi di Madinah menjadi lautan manusia. Lautan yang tak pernah surut sepanjang lima waktu salat wajib.

DUITO SUSANTO, Madinah

Suhu Minggu (5/6) pagi sudah mulai menyengat. Puncaknya 43 derajat Celcius saat salat Ashar. Itu naik dua derajat ketimbang pada waktu zuhur. Hawa panas masih menggerayangi beberapa titik di sekitar Masjid Nabawi hingga saat maghrib dan subuh pada Senin (6/6) esoknya.

Minggu itu kami baru bisa salat di Nabawi pada waktu zuhur. Meski tiba sejak pagi, rombongan Kaltim Post Group (KPG) diminta beristirahat setelah perjalanan panjang belasan jam dari tanah air, setelah transit Abu Dhabi.

Tunai zuhur, kami harus mengisi perut. Kebetulan New Shourfah Hotel tempat kami menginap bersebelahan dengan restoran khas Indonesia. Jadilah makan siang terakhir sebelum puasa itu tetap dengan menu Indonesia. Meski bumbu-bumbu masaknya tak lepas dari khas Timur Tengah.

Meski menu tanah air, sajiannya tetap dengan porsi ras Arab. Bahasanya zaman mahasiswa dulu, porsi kuli. Nasi putih menggunung. Cukup untuk dua orang. Begitu juga kebuli, gulai daging, dan lain-lain. Saya hanya memesan menu ikan yang mirip patin dimasak kuah. Dasar lidah kampung. Minumnya pun tetap pesan es teh manis.

Harga makanan tak terlampau mahal. Air minum rata-rata SAR 1 (satu real). Minggu kemarin, satu Real ditukar dengan Rp 3.600. Nasi kebuli atau gulai daging sekitar SAR 16. Tak jauh beda dengan lauk lainnya.

Hari pertama di Madinah, free agenda. Anggota rombongan diminta lebih fokus beribadah. Jadilah waktu-waktu salat wajib menjadi yang dinanti-nanti. Ditambah lagi suhu di dalam masjid yang sangat adem. Meski suhu di luar tinggi, berkisar 38-43 derajat Celcius.

Di pelataran Masjid Nabawi yang dilindungi kanopi-kanopi lebar yang berubah serupa menara kala ditutup saat malam, suhunya cukup menyengat. Panas menggigit. Yang ajaib, hawa sejuk seketika mengerubungi tubuh selepas berwudhu. Dingin, semriwing. Bakal tambah segar dengan tegukan air zamzam yang tersedia di banyak tempat di sekitar Nabawi.

Saya merasa begitu beruntung, pada kunjungan pertama ke Madinah langsung bisa menunaikan tarawih perdana di Nabawi. Juga merasakan nuansa Ramadan di Negeri Para Nabi itu.

Tarawih perdana Ramadan kali ini, Nabawi dibanjir umat muslim dari banyak negara. Banyak juga wajah-wajah khas Melayu yang tampak di sana. Seantusias penunaian salat-salat wajib sepanjang hari, lautan manusia itu terus bergelombang menuju Nabawi. Menyesaki setiap sudut masjid mahabesar itu. Meluber hingga ke pelataran. Berbaur bersama kaum hawa yang memang hanya mendapat tempat di luar masjid.

Salat tarawih perdana di Nabawi berjalan lancar. Meski imam yang memimpin sempat juga membuat kesalahan. Pertanda bahwa imam di Nabawi pun masih manusia. Usai tarawih, ribuan manusia itu berarak meninggalkan masjid, berpindah ke toko-toko souvenir dan jajanan di sekitar tempat itu. Tak sedikit juga yang memilih tinggal untuk sekadar berdoa atau membaca Alquran.

Kami, saya dan Supriyono, bagian keuangan Kaltim Post, salah satu yang tak langsung pergi usai tarawih. Kami ingin menuntaskan rindu di Raudah, satu tempat kecil yang berkarpet hijau, tempat antara mimbar Nabi Muhammad dengan kuburannya. Surga untuk berdoa.

Beberapa anggota rombongan sudah datang dan berdoa di sana. Cerita mereka membuat telinga kami panas. Sebelumnya kami sudah mencoba ke sana. Namun terpukul mundur. Padat sekali. Berdalih belum begitu fit karena baru tiba, kami memilih tak berdesak-desakan dengan jamaah dari negara lain yang berbadan besar dan tak basa-basi.

---------- SPLIT TEXT ----------

Raudah hanya dibuka pada waktu-waktu tertentu setelah salat wajib. Antreannya panjang. Tempatnya sempit. Semua jamaah yang datang seperti berhasrat menuntaskan rindu di sana. Penjaga memberlakukan sistem buka tutup. Serombongan jamaah dimasukkan, salat sunah (biasanya berdesakan), dan berdoa. Penjaga membatasi waktunya, sekitar sepuluh menit, untuk segera member waktu bagi jamaah lain.

Malam itu, usai tarawih, kami beristirahat sebentar di dalam masjid. Setelah agak lowong, kami sempat berbaring. Dan mendapat bonus menyaksikan proses penggeseran kubah Masjid Nabawi. Kami pun bisa langsung melihat langit dari dalam masjid itu.

Setelah itu, kami memutuskan memantau Raudah. Berempat; saya, Supriyono, Sudiyono (manajer iklan Kalteng Pos), dan Rizal Juraid (pemred Kaltim Post). Rizal sudah pernah ke sana sebelumnya. Saat kami menyerah sebelumnya, dialah satu-satunya yang tembus. Dia ikut mengantar kami ke sana.

Melihat antrean tak panjang, saya dan Supriyono merapat. Antrean hanya sekitar empat meter. Tak padat. Setelah sekitar 15 menit menunggu, kami akhirnya bisa masuk ke sana. Salat dan berdoa. Seperti kebanyakan manusia, kami juga banyak mintanya. Menyebut nama mereka yang kami ’rindukan’.

Usai salat, kami keluar melalui makam Nabi Muhammad dan sahabat. Beberapa jamaah memanjang di jalur itu. Ada yang berfoto. Ada yang sekadar tengak tengok. Penjaga tak membiarkan mereka berdoa dengan begitu khusyuk di makam itu. Dikhawatirkan jatuhnya menjadi syirik. Memintalah hanya kepada Allah.

Tunai sudah hasrat berdoa di Raudah. Kami kembali ke hotel. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat sedikit. Kami harus istirahat untuk persiapan sahur.

Pukul dua pada Senin dini hari, kami bangun untuk sahur. Empat anggota kamar bersiap turun ke ruang makan di lantai berkode ’M’. Tempat makan itu sudah padat. Rata-rata orang Indonesia, atau mungkin melayu. Bahasa-bahasa daerah di tanah air terdengar di mana-mana.

Makan sahur itu memang disediakan jasa catering. Ada sekitar lima kelompok tempat sajian makanan. Itu menandakan milik kelompok tertentu. Saya mengambil sedikit nasi kebuli, potongan ikan mirip patin yang digoreng dengan bumbu merah, dua potong goreng nugget, sedikit sayur kuah, dua iris mentimun, dan sebiji apel yang bentuknya menyerupai pir.

Sahur tuntas pukul tiga lewat. Kami tak kembali ke kamar. Karena khawatir hanya menghabiskan waktu antre di lift, seperti yang terjadi sepanjang hari kami di hotel itu. Banyaknya orang tak sebanding dengan jumlah lift.

Kami langsung ke Masjid Nabawi untuk menunaikan salat subuh berjamaah. Berwudhu dan menenggak sedikit air zamzam. Nabawi masih sangat lowong pagi itu. Kami merangsek hingga dekat posisi imam. Tempat yang selalu penuh sesak kala salat. Kami kira salat subuh kali ini bakal sepi. Ternyat salah. Jamaah masih membanjiri masjid itu. Bahkan tampak lebih sesak dari sebelumnya. (duito@radarsampit.com/bersambung)

 

 

 

loading...

BACA JUGA

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers