SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN
Rabu, 14 Oktober 2015 00:18
Under-Promise dan Over-Deliver

Oleh: AZRUL ANANDA

Masyarakat Indonesia memang gampang heboh. Saya tidak tahu itu baik atau buruk. Lebih banyak positifnya atau negatifnya.

Ada selentingan sedikit, gaduhnya bisa luar biasa.

Kadang gaduh yang baik, karena langsung memberikan pressure dan mengoreksi pembuat gaduh yang mungkin memang berlebihan.

Kadang gaduh yang bikin geleng-geleng kepala, karena sampai bikin heran kenapa hal sepele bisa segaduh itu.

Apalagi dengan era media sosial, di mana orang bisa heboh, gaduh, berlebihan, berteriak tidak penting, buang-buang waktu orang lain, tanpa harus memperlihatkan wajah.

Saking mudah gaduhnya, untuk menyampaikan sesuatu saja harus punya strategi khusus.

Salah istilah satu kata. Salah menyampaikan satu kalimat. Salah satu gerakan tubuh. Salah intonasi sedikit. Konsekuensinya gawat. Pesan yang paling ingin disampaikan jadi tidak tersampaikan, yang terjadi hanya gaduh dan gaduh.

Seperti yang sering disampaikan komentator sepak bola ketika ada pemain salah memberi umpan: Maksudnya baiiikkk.

Mungkin, bagi pejabat Indonesia, untuk menyampaikan kebijakan baru yang maksudnya baik, butuh gelar S-3 komunikasi, S-2 psikologi, dan S-2 bahasa Indonesia plus satu lagi bahasa lain supaya bisa menyampaikan dengan benar-benar pas sasaran.

Itu di atas gelar S-2, S-3, S-4, S-5, atau bahkan S-7 di bidang yang dia pegang (kalau di kementerian khusus misalnya), karena menyiasati masalah-masalah yang begitu bikin geleng-geleng kepala lantaran tidak pernah ada di buku teks.

Sebenarnya, ada cara supaya omongan dan niatan kebijakan seorang pejabat di Indonesia ini bisa berjalan tanpa kegaduhan yang tidak dibutuhkan.

Yaitu, dengan tidak banyak bicara, langsung bekerja, terus bekerja sampai matang, terus bekerja sampai jadi. Tidak perlu banyak omong, tidak perlu banyak teriak, karena ada risiko gaduh tidak penting.

Under-promise, over-deliver lebih baik daripada over-promise and under-deliver, bukan?

Tidak banyak berjanji. Tidak banyak bicara. Tapi hasilnya memuaskan, bahkan melebihi ekspektasi.

Tapi kemudian ada lingkaran setannya.

Kalau tidak banyak omong, tidak banyak teriak, nanti malah ?tidak kelihatan. Dan itu rupanya sangat menakutkan bagi pejabat era sekarang.

Kak Adhyaksa Dault, mantan menteri pemuda dan olahraga serta ketua Kwarnas Pramuka saat ini, menyampaikan kenyataan itu dengan sangat akurat: ?Sekarang ini harus banyak bekerja dan banyak teriak.

Apakah itu baik? Apakah itu buruk? Entahlah. Tapi, itu kenyataannya.

***

Ada yang meminta saya menulis dan mengomentari soal Bela Negara. Karena itulah yang sekarang sedang gaduh.

Terus terang, saya tidak mau bicara soal itu terlalu heboh.

Kakek saya (dari sisi ibu) dulu tentara. Pernah ikut perang memperjuangkan Indonesia. Ibu saya juga menurut saya pejuang. Dulu pernah jadi guru SD di pedalaman Kalimantan.

Ayah saya juga pejuang, dengan arti yang lebih luas lagi. Saya tidak perlu menjelaskan, ada banyak orang di luar sana yang lebih mampu menjelaskan betapa besarnya pengorbanan ayah saya untuk negara kita ini.

Ketika jadi siswa pertukaran pelajar SMA di Amerika, ayah angkat saya dulu juga pernah tugas militer di Jerman.

Saya? Entahlah. Dulu ada peluang tidak pulang ke negara ini, mendapatkan kehidupan yang mungkin jauh lebih nyaman di negara yang jauh lebih maju. Tapi, pada akhirnya saya pulang atas keinginan sendiri.

Saya tidak bisa mengukur sendiri seberapa cinta saya atas negara saya sendiri. Harus ada orang lain yang memberikan penilaian atas segala karya dan kontribusi saya. Dan saya tidak akan berteriak-teriak soal itu, dan saya ini offline, tidak aktif di media sosial. Jadi, ya terserah orang menilai.

Tapi, saya kagum kepada teman-teman saya yang dari Korea. Karena mereka semua pernah menjalani pelatihan militer.

Mungkin karena itu badan mereka lebih tegap daripada orang-orang kita? Mungkin karena itu mereka lebih disiplin terhadap waktu dan lain-lain daripada orang-orang kita?

Saya juga kagum dengan kebanggaan orang Amerika terhadap negara sendiri. Kalau kita rajin keliling di Negeri Paman Sam, kalau ada keluarga yang anggotanya (anaknya) tugas militer, maka di depan rumahnya akan dipasang bendera Amerika.

Kalau ada orang berbaju militer sedang traveling di bandara atau tempat lain, dia sepertinya mendapat penghormatan lebih dari orang-orang yang lewat dan bertemu sua.

Dan hebatnya, itu tidak diajarkan atau dipaksakan di sekolah.

SD, SMP, dan SMA publik di Amerika tidak mewajibkan pakai seragam, apalagi yang bernuansa atau terinspirasi militer. Baju Pramuka-nya pun jauh lebih kasual.

Tidak ada pelajaran khusus di sekolah.

Tidak ada upacara bendera di sekolah.

Tidak ada pelajaran baris-berbaris.

Tapi bangga luar biasa pada negara sendiri dan rela berkorban untuk negara sendiri ketika dibutuhkan.

Ada ungkapan yang mengatakan: Respect is earned. Orang akan dihormati dan dihargai bila dia benar-benar layak mendapatkannya. Tidak bisa dibeli, tidak bisa dipaksakan.

Sedih juga melihat kenyataan di negara kita ini. Mungkin karena masyarakatnya kurang respect terhadap pemerintah sendiri, sehingga mudah sekali muncul kegaduhan atas setiap usulan dan ide yang muncul.

Dan kalau sudah benar-benar tidak respect, kelanjutannya bisa lebih menyedihkan lagi: Tidak mau membela. (*)

loading...

BACA JUGA

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers