SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN
Kamis, 22 Oktober 2015 23:19
Pelajaran Berharga untuk Semua

Oleh: Gunawan

Pedih. Perasaan itu menyergap ketika membaca status teman, keluarga, dan kolega di linimasa. Mereka menjerit, marah, tersiksa, dan pasrah dengan semakin buruknya kualitas udara di Palangka Raya. Status mereka mewakili apa yang mereka rasa setelah sebulan lebih sengsara karena bencana.

Asap yang menyiksa, dipadu suasana kota yang suram, menjadi santapan harian warga kota yang tak lagi Cantik itu. Bukan hanya di Palangka Raya sebenarnya, daerah lain yang terpapar asap pun mengalami hal yang sama. Hanya saja, Palangka Raya tingkat pencemarannya beberapa kali lipat lebih berbahaya.

Orang-orang yang tadinya saya kenal diam dan tak banyak bicara di media sosial, juga akhirnya ikut bersuara, menjerit, dan mengeluh karena saking parahnya. Mereka juga sama tersiksanya dan menumpahkan kekesalan di jejaring sosial.

Saya tak heran, apalagi mencela ketika sebagian dari mereka memasang status "menunggu mati", "tempat pembantaian massal", ”bakal jadi kuburan massal”, atau "genosida". Agak ekstrem dan berlebihan memang. Tapi, saya bisa merasakan bagaimana pergolakan hati dan pikiran mereka, meski diiringi rasa syukur, karena mereka masih bisa bertahan dan menulis di linimasa.

Siapa yang tak frustasi jika setiap hari harus menghirup udara berbahaya? Siapa yang tak marah jika penanganan dari pemerintah biasa-biasa saja? Sebagai manusia, itu reaksi yang wajar ketika perlakuan yang mereka terima tak semestinya. Merasa ditinggalkan dan dilupakan negara.

Parahnya asap di Palangka Raya juga ternyata sampai di Sampit. Kemarin, kondisinya nyaris tak jauh berbeda. Saat membuka jendela, suasana sudah menguning. Asap pekat membuat rumah tetangga saya terlihat samar. Bencana ini semakin parah. Untungnya sore hari asap mengerikan itu menipis.

Masih segar dalam ingatan saya ketika seorang bayi di Palangka Raya meninggal karena pengaruh asap. Atau seorang anak di Sampit yang juga harus menghadap Yang Kuasa lebih awal karena asma yang diderita kian parah setelah menghirup asap. 

Tak bisa dibayangkan bagaimana pedihnya perasaan keluarga yang ditinggalkan. Anak yang menjadi harapan masa depan, menjadi korban bencana yang setiap tahun terulang. Bahkan, seorang wanita dewasa pun menjadi korban keganasan asap tahun ini. Mau disangkal seperti apa pun, asap berperan besar merenggut nyawa mereka.

Asap tahun ini terasa lebih ganas, mengerikan, dan berbahaya. Pengaruh dan dampaknya luar biasa. Nyaris tak ada lagi ruang tersisa yang bebas dari sergapan asap. Gedung-gedung mewah ber-AC pun tak luput dari serangannya. Saking parahnya kondisi sekarang. Seorang teman berkata, untuk udara bersih pun, kita harus membeli.

***

Sudah jelas, asap yang mengiringi napas kita setiap hari adalah hasil dari kebakaran hutan dan lahan. Dilihat dari kepekatannya, kebakaran sudah tak terkendali dan terus terjadi. Lahan-lahan gambut menjadi produsen asap terbesar. Bisa dilihat, rata-rata daerah yang memiliki lahan gambut, asapnya lebih pekat.

Seingat saya, terakhir kali bencana asap paling parah terjadi tahun 1996-1997. Hampir dua dekade setelah itu, saya berjumpa lagi dengan asap pekat yang membuat jarak pandang sangat pendek. Masih lekat dalam ingatan saya yang masih bocah saat itu, pekatnya asap membuat rumah tetangga saya yang hanya berjarak lima meter tak terlihat. Semuanya putih.

Parahnya bencana tahun ini ternyata tak disadari para pemangku kebijakan. Orang-orang di pemerintahan yang memiliki sumber daya melebihi rakyat biasa, tak bisa berbuat banyak ketika asap setiap hari bertambah pekat. Bosan juga membaca komentar mereka yang hanya bisa berharap dan berharap.

Bencana asap bukan tahun ini saja terjadi. Hampir setiap tahun kita merasakan hal yang sama, dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Saat masih aktif jadi wartawan di lapangan, dua atau tiga tahun lalu, atau jauh sebelumnya, saya dan kawan-kawan berusaha mendorong agar pemerintah mempunyai terobosan dalam menangangi asap.

Entah seperti apa terobosannya, yang jelas, pemerintah harus serius dan siap mencegah parahnya bencana asap sejak awal. Apakah pemerintah bisa? Ya, pasti bisa. Sumber daya mereka luar biasa. Mereka orang-orang pilihan yang bisa duduk di pemerintahan. Apalagi bencana ini terus terjadi, setidaknya pemerintah sudah bisa memetakan masalahnya di mana dan mencari solusinya.

Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Harapan itu musnah. Pupus. Kesiapan itu hanya meluncur dari bibir. Mungkin hanya sekadar retorika agar terlihat bekerja. Antisipasi yang dilakukan tak jauh beda dari tahun-tahun sebelumnya. Kondisi yang kita rasakan sekarang jadi buktinya.

Saat saya masih di Palangka Raya, sekitar lima atau enam tahun lalu, saya ingat pemerintah saat itu berencana membangun embung atau sumber air di lahan-lahan yang rawan terbakar. Tapi, sampai sekarang rencana itu tak pernah terjadi dan hanya terucap di ujung bibir tanpa aksi.

Saya juga masih ingat, ada pejabat yang berkomentar, bencana tahun ini tak akan separah tahun sebelumnya, karena lahan yang sudah terbakar, tak mungkin kembali dimakan api. Prediksi itu salah besar dan terbukti mengada-ada. Bencana tahun ini lebih parah dan menyiksa dibanding tahun-tahun yang kita lewati.

Pemerintah gelagapan dan tak bisa berbuat banyak. Ketidakseriusan itu juga terlihat dari minimnya anggaran untuk penanganan bencana. Di tengah kondisi sekarang, pemerintah masih bicara keterbatasan anggaran, sementara banyak warga yang tersiksa dan perlu pertolongan.

Menyakitkan memang, tapi itulah wajah pemerintahan kita. Jangan heran dan jangan marah apabila rakyat melontarkan kata-kata kasar dan pedas di jejaring sosial. Itu sebagai bentuk protes dan luapan emosi karena asap yang sudah menyiksa. Banyak yang sudah frustasi.

Tak elok juga memang menimpakan seluruh kesalahan pada pemerintah. Tapi, kalau ada keseriusan, setidaknya bencana ini bisa dicegah agar tak lebih parah. Pemerintah boleh menyangkal dan berkata sudah serius dan sekuat tenaga mencegah bencana. Tapi, aksi yang diperlihatkan setiap tahun tak ada perubahan.

Di tengah kelemahan pemerintah, kita juga patut mengapresiasi para "pahlawan" di garis depan yang setiap hari bertempur melawan api tanpa lelah. Mereka patut diberi penghargaan karena rela berkorban meninggalkan keluarga, bahkan mempertaruhkan nyawa. Sampai Anda membaca tulisan ini, mungkin mereka masih menggempur api.

***

Beberapa bulan lalu, kita sempat bangga dengan wilayah kita. Bencana mengerikan seperti gempa atau letusan gunung merapi, tak akan pernah terjadi di tanah ini karena letak geografis yang menguntungkan. Itu pula yang jadi nilai tawar kita pada pemerintah pusat agar ibu kota pindah ke Kalimantan, Palangka Raya atau Sampit salah satunya.

Sekarang, kebanggaan itu berubah jadi petaka, lenyap disapu asap. Asap seolah menertawakan kita dengan kepekatannya yang tak kunjung sirna. Bencana yang kita alami, meski ini ulah tangan manusia, juga menyiksa. Tak salah kita mengiba pertolongan pada penguasa negeri yang memegang kendali.

Sulit memang mencari siapa yang salah dan paling bertanggung jawab terhadap bencana buatan ini. Apakah salah perusahaan yang membuka lahan dengan cara membakar untuk memperluas kebunnya? Atau rakyat biasa yang membuka lahan untuk berladang? Entahlah.

Aparat kita juga sudah menangkap puluhan orang yang membakar lahan, termasuk perusahaan. Tapi, apa yang terjadi? Bencana ternyata masih berlanjut dan semakin tak terkendali. Ironisnya, saya melihat sebuah postingan di media sosial, lahan yang baru terbakar, sudah ditanami sawit. Entah di mana nurani dan empati orang yang melakukan itu.

Bertahun-tahun kita sudah berperang dengan asap. Bertahun-tahun sudah kita melalui kondisi seperti ini. Bertahun-tahun itu pula kita, pemerintah terutama, tak pernah belajar dari kesalahan masa lalu. Sekarang, bukan cuma kita yang menanggung akibatnya, tapi generasi penerus kita selanjutnya.

Saya ingin berbagi sedikit puisi yang saya buat sebagai ekspresi atas kondisi kita saat ini. Maafkan kami karena terlalu jumawa.

Maafkan kami karena tak ramah pada semesta

Kami tau bencana ini bentuk angkara

Murka semesta atas keserakahan manusia

Mengadu pun percuma

Asap ini tetap menyiksa

Kami percaya, bencana ini tak selamanya

Selalu ada masanya

Beri kami kekuatan untuk melewatinya

Beri kami pelajaran agar tak mengulanginya

Kembalikan matahari kami yang perkasa

Kami rindu sinarnya, kami rindu hangat dan panasnya

Teruntuk teman, keluarga, dan siapa pun yang sengsara

Kita lewati bencana ini bersama

Dengan cara kita

 Semoga bencana ini segera berlalu dan tak ada lagi korban. Kita sudah lelah terus berteriak. Bencana ini juga jadi pelajaran agar kita lebih berdamai dan menghargai alam. Kita jaga bumi kita. Kita jaga hutan kita agar tak hilang dan terus memberi napas kehidupan. (gunawan@radarsampit.com)

loading...

BACA JUGA


Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers