SAMPIT – Agenda mandi safar yang digelar Pemkab Kotim tahun ini bakal mempertaruhkan banyak nyawa. Kabar kemunculan buaya yang kerap jadi isu saat kegiatan itu digelar, tahun ini disertai banyak fakta. Pemkab diminta mengevaluasi lagi kegiatan itu demi keselamatan warga.
Demikian hasil wawancara Radar Sampit dengan sejumlah kalangan terkait kabar kemunculan buaya di Sungai Mentaya, lokasi yang bakal jadi tempat mandi safar, Senin (30/9). Mandi safar rencananya akan dilaksanakan 23 Oktober mendatang.
Ketua Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) Sampit H Jainudin mengatakan, Pemkab Kotim, khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), diharapkan lebih memprioritaskan keselamatan warga yang jadi peserta mandi safar. Dia khawatir buaya memangsa warga yang mengikuti tradisi tahunan tersebut.
”Ada masalah di dalam sungai itu. Kalau misalkan terjadi apa-apa, siapa yang bertanggung jawab? Diharapkan pemerintah memikirkan jika terjadi sesuatu, terutama menghadapi buaya tersebut,” ujarnya.
H Misrani Isaleh, pengurus Masjid Jami Assalam Jalan H Juanda mengatakan, dalam waktu dekat dia akan melakukan sosialisasi tentang bahayanya ikut mandi safar. Meski tak mengharapkan acara yang digelar Pemkab Kotim itu dihentikan, dia khawatir terjadi sesuatu kepada masyarakat yang mengikuti acara budaya tersebut.
”Bukan hanya khawatir saja, tapi ini juga sudah bisa mengancam keselamatan warga. Iya kalau buayanya menjauh, kalau mendekat, bagaimana nantinya?” ujar Jainudin.
Kekhawatiran munculnya buaya juga disampaikan Parmanda, warga Baamang yang pernah mengikuti acara itu. Dia takut buaya Sungai Mentaya yang dikabarkan sering muncul, menerkam warga saat mandi safar dilaksanakan.
”Tahun sebelumnya juga saya gak ikut, karena dalam pikiran saya, takut ada buaya. Dan ternyata, apa yang saya pikirkan memang benar setelah membaca Radar Sampit tentang kemunculan hewan ganas itu,” ujarnya.
Tradisi mandi safar selama ini diikuti ribuan warga. Sebelum menceburkan diri ke sungai, masyarakat membekali diri dengan daun sawang yang diikat di pinggang. Sesuai kepercayaan warga, menggunakan daun sawang itu akan terjaga keselamatannya. Tradisi adat itu disertai ritual yang dipimpin tokoh adat.
Isu kemunculan buaya memang selalu menyertai setiap agenda safar digelar. Namun, selama ini, kabar itu baru sebatas isu. Tahun ini, berita tersebut diperkuat dengan pengakuan sejumlah orang berbeda yang melihat langsung penampakan predator tersebut.
Kabar kemunculan buaya di sungai dekat kawasan Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) Sampit sebelumnya diungkap Ijan, motoris kelotok Sungau Mentaya, 16 September lalu. Dia mengaku melihat penampakan buaya di tengah sungai saat mengemudikan kelotoknya.
”Selama ini saya hanya mendengar dari motoris kelotok lainnya tentang kemunculan buaya, terutama pada malam hari. Sekarang, saya justru mengalaminya sendiri dan percaya kalau Sungai Mentaya ini ada buayanya,” ujar Ijan.
Kemunculan predator ganas itu juga disampaikan Arif, warga Jalan Iskandar 29 Sampit. Menurutnya, satwa tersebut muncul di areal permukiman sekitar kawasan pabrik karet PT Sampit, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, 23 September lalu. Bahkan, buaya itu menyerang perahu karet yang dinaikinya bersama aparat.
”Saat itu saya melihat jelas buaya tersebut memiliki panjang lebih dari empat meter. Ketika saya dan anggota Ditpolairud Polda Kalteng pergi mendatangi, rupanya buaya itu memberontak dan menyerang mesin perahu karet,” tutur Arif.
Joko, warga lainnya, juga melihat buaya itu saat pergi memancing bersama teman-temannya di areal pelabuhan milik PT Sampit. Saat itulah mereka melihat buaya yang melintas dari arah utara menuju selatan Sungai Mentaya.
Munculnya buaya di Sungai Mentaya wilayah Kota Sampit baru tahun ini kencang terdengar. Hal itu dinilai sebagai imbas dari maraknya kebakaran hutan dan lahan di wilayah selatan Kotim, tempat buaya selama ini kerap menyerang warga.
Karhutla memutuskan rantai makanan hewan predator itu karena banyaknya satwa yang tewas atau menyelamatkan diri. Buaya disinyalir mencari wilayah baru agar tetap bertahan hidup, terutama di permukiman warga.
Perilaku buaya demikian juga terjadi di Kota Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat. Sungai Arut yang melintasi kota itu selama ini nyaris tak pernah terdengar ada buaya. Namun, setelah karhutla marak, buaya menampakkan diri pada warga dan sempat terekam kamera gawai warga yang mengabadikan momen langka itu.
Harie, dari Lembaga Swadaya Masyarakat Pencinta Hewan Reptil memercayakan sepenuhnya agenda mandi safar pada Pemkab Kotim yang dibayangi kemunculan buaya. Pemkab harus bisa memastikan keamanan masyarakat yang mengikuti kegiatan tersebut, baik dengan menghadirkan pawang maupun ritual agar peserta terjamin keselamatannya.
Akan tetapi, menurutnya, hal itu juga bukan jaminan buaya tak menerkam. ”Yang namanya binatang buas, insting buasnya tidak bisa ditebak. Saat dia lapar, ya harus mencari makan. Bagaimana pun caranya, pasti akan dia lakukan,” ujar Harie.
Dia juga mengharapkan pemkab memberikan solusi dan kenyamanan pada masyarakat yang mengikuti mandi safar. ”Kegiatan ini (mandi safar, Red) merupakan kepercayaan bagi masyarakat, terutama Sampit. Artinya, acara ini tetap berjalan walau ada area tertentu dan diawasi banyak pihak. Kami pribadi pasti akan ikut mengawasi,” ujarnya.
Pemkab Kotim sebelumnya menegaskan acara itu akan tetap dilaksanakan di bawah pengawalan ketat. Kepala Bidang Destinasi Wisata Disbudpar Kotim Indra Saputra mengatakan, isu munculnya buaya di Sungai Mentaya hampir setiap tahun terjadi. Tahun ini, untuk mengantisipasi hal buruk, Disbudpar akan melibatkan berbagai pihak untuk pengamanan ekstra ketat. (sir/ign)