Pengadilan Negeri Sampit menyidangkan kasus berdarah buntut konflik perkebunan di Pelantaran antara Hok Kim dan Alpin Laurence beberapa waktu lalu. Dalam sidang terungkap, kedua kelompok saling serang dengan niat menghabisi lawan menggunakan senjata tajam. Pada sidang dengan terdakwa Hurpani alias Pani, rekan Saudi yang tewas di lokasi kejadian, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kotim Restyana Widiyaningsih menyebutkan, perkelahian berawal dari diusirnya kelompok pemanen buah kelapa sawit dari pihak Pani (kelompok Alpin Laurence).
Pani dan Saudi mengumpulkan pemanen di pondok hujan kebun sawit Singa Rangkang tersebut. Seorang pemanen, Tauhid alias Tohid menyampaikan, pihaknya diminta keluar dari areal kebun sawit tersebut oleh kelompok Deny cs (kubu Hok Kim). Mendengar hal tersebut, Pani dan Saudi langsung pergi mendatangi kelompok Deny dengan membawa senjata tajam jenis parang. Setibanya di lokasi kebun, Pani dan Saudi bertemu Deny, Hartoyo, dan Herson Perlingko alias Cuncun.
”Saat itu Saudi langsung turun dari sepeda motor dan saksi, Cuncun berkata, ’sabar, kalau kita mau baik-baik, simpan saja dulu itu senjata. Kita berbicara baik-baik’,” kata Restyana. Tanpa diduga, hal tersebut dijawab Saudi dengan menghunuskan senjata tajam. Parang itu langsung diarahkan ke arah Cuncun dan melukai tangannya. Deny dan Hartoyo langsung membantu dan terjadilah pertikaian menggunakan senjata tajam. Deny membalas menggunakan senjata tajam ke arah Saudi, namun tidak melukai. Serangan balasan dari Saudi justru melukai punggung Deny. Saudi dan Pani kemudian menyerang Hartoyo hingga melukai lehernya. Hartoyo langsunjg tersungkur. Pani kemudian mengayunkan golok ke arah kepala Hartoyo lalu. Meski terluka, Hartoyo masih bisa menangkis serangan terdakwa tersebut menggunakan tangan kiri yang mengakibatkan lengannya terluka.
Melihat rekannya terkapar, Cuncun langsung membalas menyerang Pani dan melukai punggungnya. Tak berselang lama, datang anggota kelompok Pani ke lokasi. Melihat situasi itu, Deny, Hartoyo, dan Cuncun langsung melarikan diri secara terpisah. Dalam pertikaian berdarah itu, Deny, Hartoyo, maupun Cuncun mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya.
”Akibat perbuatan terdakwa tersebut, Deny, Hartoyo, dan Cuncun mengalami luka berat dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Perbuatan terdakwa Pani tersebut diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (2) KUHPidana,” kata jaksa. Catatan Radar Sampit, bentrok berdarah perkebunan kelapa sawit di Desa Pelantaran, Kecamatan Cempaga Hulu, itu bukanlah aksi spontanitas. Radar Sampit “merekam” dari awal penyelesaian konflik pertanahan itu.
Beberapa kali mediasi yang dilakukan dengan difasilitasi lembaga adat, gagal menyelesaikan konflik. Dua pihak masih sama-sama ngotot terkait kepemilihan lahan. Bentrok fisik juga beberapa kali nyaris terjadi. Pada 28 Juli 2022, misalnya, massa Hok Kim dan Alpin hampir adu kuat di lapangan. Hok Kim keberatan atas tindakan Alpin yang mengerahkan sejumlah orang menghentikan aktivitas di areal kebun. Aparat kepolisian bersama sejumlah prajurit TNI, serta Batamad Kotim, terjun ke lapangan meredam situasi. Bentrok berhasil diredam, meski terjadi perdebatan dengan sekelompok orang.
Upaya perdamaian yang dilakukan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kotim melalui mediasi kedua belah pihak, menemui jalan buntu dan gagal menyelesaikan persoalan tersebut. Upaya penyelesaian konflik juga dilakukan melalui jalur hukum. Pengadilan Tinggi Palangka Raya mengeluarkan putusan yang membatalkan putusan PN Sampit yang sebelumnya mengabulkan gugatan Hok Kim terhadap Alpin cs. Mengacu putusan PT Palangka Raya, kelompok Alpin Laurence meminta pihak Hok Kim mengosongkan kebun tersebut. Namun, pihak Hok Kim menolak dan menilai putusan itu tak terkait lahan perkebunan yang dipersoalkan. Di sisi lain, pihak Hok Kim juga melakukan kasasi terhadap putusan PT Palangka Raya. Pertumpahan darah akhirnya tak terhindarkan pada 11 September lalu. Satu orang dari kelompok Alpin, yakni Saudi, hilang nyawa dan tiga orang dari pihak Hok Kim luka-luka. (ang/ign)