Perseteruan antara nelayan rajungan yang menggunakan alat tangkap jaring dan alat tangkap jenis bubu di Desa Sungai Bakau, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat kembali pecah beberapa waktu lalu. Benih-benih konflik tersebut sudah terjadi sejak tahun 2005 silam dan terus berulang.
Konflik yang terjadi sehingga berujung pembakaran alat tangkap milik nelayan rajungan tersebut diakibatkan oleh perebutan wilayah tangkap. Karena antara bubu dan jaring tidak bisa dipasang di satu tempat. Kepala Bidang Pemberdayaan Nelayan Kecil dan Usaha Kecil Pembudidayaan Ikan, Dinas Perikanan Kobar, Manis Suharjo menjelaskan bahwa konflik tersebut terjadi karena nelayan rajungan yang menggunakan alat tangkap Bubu dan Jaring tidak mau saling mengalah.
“Kedua alat tangkap ini tidak bisa beroperasi di satu tempat, karena bila di titik tersebut terdapat jaring rajungan dan dipasang bubu, maka jika nelayan bubu ini menarik alat tangkapnya dan mengenai jaring akan sobek,” terangnya, Sabtu (22/1). Mengingat bahwa konflik ini sudah terjadi berkali-kali dan terus berulang, maka berdasarkan kesepakatan di antara nelayan bubu dan jaring rajungan dibuat penetapan zona tangkap rajungan dan kedua belah pihak diminta untuk menaati kesepakatan tersebut.
Menurutnya yang membuat konflik tersebut berkepanjangan karena nelayan rajungan dengan alat tangkap bubu beranggapan bahwa alat tangkap mereka ramah lingkungan dan efisien. Begitu pula anggapan dari nelayan jaring yang menegaskan bahwa alat tangkap mereka hanya bisa menjaring rajungan-rajungan besar, sehingga ekosistem tetap terjaga. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan kedua alat tangkap tersebut sama-sama sah dan tidak dilarang.Namun diakuinya bahwa alat tangkap bubu terkadang rajungan-rajungan yang berukuran kecil tetap masuk dalam perangkap dan itu juga menjadi bagian dari pemicu konflik yang terjadi. “Rajungan yang boleh ditangkap itu yang berukuran 200 gram, yang jadi masalah mau rajungan besar atau kecil ditangkap semua, kadang satu kilo itu sampai 7 atau bisa 9 ekor,” ungkapnya. Ia berharap dengan perdamaian yang dilakukan dengan dimediasi oleh Dinas Perikanan Kobar, maka peristiwa serupa diharapkan tidak terjadi kembali, dan kedua belah pihak saling mematuhi batas wilayah tangkapan yang sudah disepakati. (tyo/sla)