SAMPIT – Maraknya penambangan galian C ilegal di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) hanya menguntungkan para pengusahanya. Daerah hanya kebagian rusaknya infrastruktur dan lingkungan akibat sektor itu tak dimaksimalkan. Nilai potensi pendapatan daerah yang melayang dinilai mencapai miliaran rupiah.
Mantan pengusaha galian C Dani Rakhman mengungkapkan, ketika masih aktif beberapa tahun silam, usahanya yang berizin mampu menyetor ke kas daerah minimal sekitar Rp 600 juta per tahun. ”Saya juga pernah berusaha galian C. Kalau dihitung keseluruhan, setorannya ke daerah tidak kurang dari Rp 600 juta dalam setahun,” katanya, kemarin (7/4).
Dia mendorong pemerintah untuk segera melegalisasikan usaha galian C, agar pengusaha tidak lagi kucing-kucingan dengan aparat penegak hukum. Selain itu, daerah juga kecipratan hasil dari usaha tersebut.
Menurutnya, saat ini justru lebih mudah mengurus dan mendapatkan perizinan penambangan galian C. Dia mengaku baru saja mengurus izin miliknya dengan waktu sekitar tiga bulan dan siap operasional.
”Saya merasakan sendiri mengurus izin galian C sejak ditarik ke pemerintah pusat ini tidak begitu sulit. Selain itu, birokrasinya tidak bikin pusing. Daftar online saja dan ikuti tahapan dan biaya yang ditentukan. Saya yakin beres semua,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Deden ini menambahkan, sebagian pengusaha disinyalir enggan mengurus karena masih kuatnya stigma kepengurusan izin. Padahal, faktanya tidak demikian.
”Biaya yang dibayarkan pun biaya resmi. Disetorkan ke rekening kas negara jadi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dalam hal ini ke Kemenkeu. Jadi, sejak kewenangan pertambangan ditarik pemerintah pusat, justru saya kira mempermudah. Apalagi dengan sistem digitalisasi sekarang,” jelasnya.
Legalitas tambang galian C di Kotim kerap jadi polemik dan menuai pro-kontra. Beberapa kali penertiban dari aparat penegak hukum terhadap kegiatan tak berizin itu, berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan pasir dan tanah untuk pembangunan proyek fisik pemerintah dan masyarakat.
Tambang galian C ilegal, tak berani beroperasi ketika ada razia. Situasi yang berulang ini dinilai cukup mengganggu kegiatan pembangunan fisik.
Sebagai informasi, perizinan pertambangan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Dukungan pemerintah daerah diperlukan untuk membantu pengusaha mengurus izin tersebut, sehingga mereka bisa beroperasi secara legal dan pemerintah bisa menarik retribusi secara resmi.
Komisi I DPRD Kotim sebelumnya mendesak agar pemerintah menertibkan usaha galian C ilegal. Selain merusak lingkungan, aktivitas tersebut dinilai telah menghancurkan jalan umum.
Anggota Komisi I Hendra Sia mengungkapkan, aktivitas galian C yang diduga kuat ilegal marak di wilayah Parenggean. Tak ada penindakan sama sekali dari pihak terkait, sehingga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan serta menghancurkan infrastruktur.
”Kalau saya lihat di Parenggean sekarang, jalan rusak parah. Mulai dari Bajarau sampai Padas. Itu efek galian C di sana yang semakin marak, selain juga disebabkan angkutan hasil kebun. Sekarang tambah parah,” katanya.
Dia melanjutkan, apabila pemerintah peka dan jeli, harusnya kegiatan ilegal tersebut tak dibiarkan. Apalagi pemerintah tidak bisa menarik retribusi. Padahal, jika legal dan sah, akan memberikan sumbangsih untuk pendapatan daerah.
”Itu banyak hasil dari jual tanah latrit. Saya lihat mereka yang usaha galian C ini, setahun bisa beli kendaraan mewah. Seharusnya PAD bisa dikejar di situ,” ujar legislator asal Parenggean ini. (ang/ign)