Sejumlah warga Desa Luwuk Bunter masih berjuang melawan kerakusan investasi perkebunan yang mengancam lahan mereka sebagai sumber penghidupan. Gerilya dilakukan dengan melaporkan perampasan lahan tersebut pada sejumlah instansi dan lembaga berwenang. Adapun instansi yang didatangi, di antaranya Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Polda Kalteng, dan Kejaksaan Tinggi Kalteng. Warga berharap pemerintah dan aparat turun tangan menyikapi aksi penggarapan yang terus berlangsung di lapangan.
”Kami sudah melayangkan pengaduan kami perihal perampasan lahan dan dugaan mafia tanah di wilayah irigasi milik Pemerintah Provinsi Kalteng, dalam hal ini Dinas PUPR yang sejak 2012 lalu memelihara dan mengelola irigasi pertanian tersebut,” kata koordinator warga bidang advokasi Aster Yansen, (21/9). Aster menuturkan, laporan tersebut disampaikan agar diproses Pemprov Kalteng. Irigasi di wilayah Luwuk Bunter itu dibangun guna menunjang daerah tersebut agar menjadi kawasan pertanian. Bukan untuk menjadi areal perkebunan kelapa sawit milik PT Borneo Sawit Perdana (BSP).
”Artinya mereka datang setelah areal itu sudah enak, irigasi sudah bagus. Pada intinya kami menolak kehadiran perusahaan di areal irigasi Danau Lentang itu. Apakah itu mau dalam bentuk koperasi atau lainnya. Kami ingin mengusahakan dan mengelola sendiri lahan kami untuk keperluan seperti berladang, bercocok tanam, dan lainnya,” ujar Aster Yansen. Aster melanjutkan, pihaknya bersama sekitar 300 warga Desa Luwuk Bunter, korban ekspansi perusahaan dan koperasi, akan segera merapatkan barisan. Mereka berencana melakukan aksi unjuk rasa di kantor perusahaan tersebut dalam waktu dekat, untuk menegaskan penolakan terhadap perusahaan dan kelompoknya yang terus menggarap lahan warga. ”Kami menolak lahan itu digarap dan kami minta jalur irigasi itu bebas dari ekspansi perusahaan,” tegasnya.
Warga lainnya, Ungus, sepakat menolak kehadiran koperasi atau PT BSP di wilayah itu. Mereka ingin areal irigasi tersebut sesuai peruntukannya, yakni kebun masyarakat dan lahan pertanian.
”Kami hanya ingin lahan kami dikelola sendiri bukan oleh perusahaan, karena sejak awal pengusulan irigasi itu untuk wilayah pertanian, bukan perkebunan,” tegas Ungus. Sebelumnya, pada 2 September lalu, warga melakukan aksi protes di atas lahan yang dipersoalkan dengan membentangkan spanduk protes. Hal tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap penggusuran kebun mereka yang sudah dikuasai puluhan tahun. Tanaman warga habis dalam sehari dilibas alat berat.
Spanduk yang dipasang sengaja diikat di antara pohon kelapa sawit yang bertumbangan. Beragam sebagai ekspresi amarah warga disampaikan melalui tulisan, misalnya ”Jangan Rampas Tanah Ini” dan ”Tanah Ini Harga Mati”. Warga juga menyebut adanya peran mafia tanah. Di atas lahan tersebut dibuat saluran baru yang membelah saluran irigasi sekunder yang sebelumnya dibangun Pemprov Kalteng. Lahan tersebut awalnya ditanami kelapa sawit tahun 2015 silam. Setelah terbakar, diganti tanaman karet. Lalu terbakar lagi pada karhutla tahun 2019. Jaraknya hanya sekitar 100 meter dari saluran utama irigasi tersebut.
Persoalan perampasan lahan warga di dalam jalur irigasi di Desa Luwuk Bunter tersebut mencuat dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini seiring dengan ekspansi perusahaan perkebunan di wilayah itu. Padahal, sebelumnya masyarakat bisa mengelola dan memelihara kebun mereka dengan aman dan tenang.
Areal irigasi itu sebagian menjadi tempat sandaran hidup warga untuk bertahan. Mayoritas dijadikan kebun karet yang usia tanamnya rata-rata sudah di atas 10 tahun. Bahkan, sebagian kelapa sawit sudah menjulang tinggi hingga tiga meter di atas tanah. Manajemen PT BSP Eni Ekowati telah membantah pihaknya merusak saluran irigasi. Eni mengatakan, penggarapan itu bukan dilakukan mereka, tetapi oleh koperasi yang menjadi mitra PT BSP. ”Itu lokasi lahan koperasi plasma PT BSP dan tidak ada penggarapan atau penggusuran saluran irigasi di areal tersebut,” tegas Eni, 19 Juni lalu. Eni menuturkan, pihaknya tidak menggarap sampai lahan di dalam irigasi masyarakat Desa Luwuk Bunter yang sudah menjadi areal kebun karet dan kelapa sawit tersebut. ”Penjelasan dari pihak koperasi plasma, alat berat betul menggarap lahan untuk plasma, namun tidak sampai merusak saluran irigasi,” katanya. (ang/ign)