Usianya yang uzur tak menghalangi semangatnya yang kian membara. Pekerjaan yang seharusnya dilakukan para pemuda, justru jadi makanan hariannya. Pengabdian pada negara dipersembahkannya di penghujung usia yang kian senja.
ARHAM SAID, Kuala Kurun
=========================
Sang surya belum menampakkan wujudnya dengan sempurna pagi itu. Doris T Garang (82) sudah bersiap memulai aktivitas hariannya. Raut wajahnya terlihat ceria dibalut rokok tembakau menempel di mulutnya. Pria berperawakan tubuh sedang dengan tangan yang mengeriput ini terlihat masih kuat dan bertenaga melakukan rutinitas sehari-hari.
Sambil membawa secarik kertas, kakek yang namanya telah dikenal sebagian besar warga di Kota Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas ini, berjalan menuju Sungai (DAS) Kahayan untuk mengukur ketinggiannya. Lokasinya memang tidak terlalu jauh, hanya berada di depan rumahnya yang berjarak sekitar 50 meter.
Dia pun turun ke bawah hingga masuk ke dalam air dengan membawa selembar kertas catatan yang setiap bulannya dikirim ke atasannya di Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Pria akrab disapa Bue Kurun ini, sudah menjadi pengamat klimatologi dan pemeriksa Peilschall sejak 34 tahun silam.
”Sebagai pemeriksa Peilschall, aktivitas seperti ini harus dilakukan karena semuanya untuk kepentingan masyarakat banyak juga. Apabila ketinggian air sudah melampaui batas normal, masyarakat yang tinggal di pinggiran DAS Kahayan harus bersiap-siap karena air Sungai Kahayan akan meluap hingga masuk ke dalam rumah. Kejadian seperti ini sudah berkali-kali terjadi,” katanya saat berbincang-bincang dengan Radar Sampit, Selasa (5/1) lalu.
Setelah mendata ketinggian DAS Sungai Kahayan, kakek yang memiliki enam anak, 17 cucu, dan 7 buyut ini melanjutkan aktivitasnya mengamati cuaca Kota Kuala Kurun. Untuk menuju Stasiun Klimatologi Kuala Kurun, Doris harus berjalan lagi sekitar dua kilometer dari rumahnya.
Di Stasiun Klimatologi, seluruh peralatan untuk mengetahui kondisi cuaca sehari-hari di Kabupaten Gumas, dikelilingi pagar besi dan kawat berduri. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar peralatan itu tidak dicuri lagi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
”Alat-alat di sini banyak yang hilang diambil oknum yang tidak bertanggung jawab. Mereka mengambilnya terkadang untuk dijual,” kata kakek yang diangkat sebagai pengamat klimatologi oleh Kepala Dinas PU Seksi Gumas Alfrid pada tahun 1981 ini.
Saat ini, lanjutnya, peralatan yang tersisa di Stasion Klimatologi Kuala Kurun hanya kincir angin yang berfungsi mengukur kecepatan angin, pengukur curah hujan (ombrometer), pengukur panas matahari, tempat automatik pengukur curah hujan dengan menggunakan kertas, pengukur suhu udara (termometer), dan termometer apung yang berfungsi mengukur naik turun uap air.
”Meskipun alatnya masih tersisa, namun ada beberapa alat yang tidak berfungsi atau rusak, seperti tempat automatik pengukur curah hujan,” tuturnya dengan nada yang agak terbata-bata.
Dahulu, kata dia, saat alat di Stasiun Klimatologi lengkap, dia dapat mengukur curah hujan secara otomatis. Akan tetapi, sekarang hanya menggunakan manual saja. ”Sampai sekarang alat yang rusak dan hilang tersebut tidak pernah diganti oleh instansi terkait,” katanya.
Menurut Doris, selama bekerja sebagai pengamat klimatologi dan pemeriksa Peilschaal, banyak suka duka yang dialaminya. Apabila alatnya lengkap, akan berpengaruh pada hasil pengamatan dan mendapatkan honor. Dukanya, biaya perawatan tidak ada dan kalau rusak, melaporkan ke unit hidrologi. Namun, sampai saat ini belum ada tanggapan.
”Kalau honor di pemeriksa Peilschaal hanya Rp 200 ribu per bulan, begitu juga sebagai pengamat Stasion Klimatologi Kuala Kurun, juga Rp 200 ribu lebih per bulan,” akuinya.
Di areal Stasiun Klimatologi Kuala Kurun tersebut, sebenarnya ada sebuah rumah yang dibangun untuk tempat tinggal pengamat klimatologi, namun rumah tersebut sudah ditempati. Dia sudah bertanya kepada orang yang menempati. Akan tetapi, yang bersangkutan mengaku akan pindah apabila ada surat dari Dinas PU Provinsi Kalteng yang menyatakan rumah tersebut diperuntukkan untuk pengamat klimatologi.
”Saya berulang kali mempertanyakan hal tersebut ke Dinas PU Provinsi Kalteng, namun belum ada jawaban. Sejak rumah tersebut dibangun tahun 2005, saya sebagai pengamat klimatologi yang ditunjuk tidak pernah menempati rumah tersebut,” tuturnya.
Doris juga mengaku belum ada perhatian dan kepedulian dari dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gumas. Sebagai contoh, saat alat klimatologi rusak, pemkab tidak memberikan bantuan alat, padahal itu untuk kepentingan publik.
”Saya berharap adanya sedikit bentuk perhatian dari pemerintah, baik itu mengenai kelengkapan alat di tempatnya bekerja ataupun yang lainnya. Semoga,” pungkasnya. (***/ign)