Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya merekam sejumlah peristiwa penting berkaitan dengan penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) sepanjang tahun ini. Dari catatan itu, publik diperlihatkan belum adilnya penegakan hukum.
Dodi, Palangkaraya
LBH Palangka Raya merangkum perjalanan tahun ini dalam sebuah Catatan Akhir Tahun. Temuan LBH disampaikan pada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban. Direktur LBH Palangka Raya Aryo Nugroho Waluyo mengatakan, catatan mengenai kondisi HAM dan penegakan hukum di Kalteng sepanjang 2023 begitu beragam. Di antaranya terjadi dugaan disparitas penegakan hukum pada kasus kekerasan seksual. Hal itu terlihat dari putusan terhadap terpidana, Santai Nyawit Mantan, Kepala Bidang Sosial DPMDSos Kabupaten Barito Timur yang dihukum dua tahun penjara pada pengadilan tingkat pertama, dikurangi menjadi 1 tahun 6 bulan pada putusan Pengadilan Tinggi. Di sisi lain, ada seorang perwira polisi di Polda Kalteng berinisial M, dijatuhi vonis empat bulan di tingkat hakim Pengadilan Tinggi. Adapun di tingkat Pengadilan Negeri, hanya divonis dua bulan.
Hal itu berbeda dengan yang dialami terpidana lainnya, Galih, pemuda Palangka Raya yang dijatuhi vonis lima tahun penjara. ”Ketiga pelaku ini didakwa dan dituntut dengan pasal yang sama dalam kasus yang berbeda, yaitu Pasal 82 Jo 76E UU Perlindungan Anak, di mana ancamannya paling singkat lima tahun. Namun, adanya permintaan maaf bagi pelaku dan diterima oleh keluarga korban, dengan dasar inilah para hakim memvonis mengurangi masa tahanan pelaku,” katanya, Minggu (24/12/2023).
Ada pula ketimpangan penegakan hukum kasus karhutla. Disebutkan, Polda Kalteng merilis telah menetapkan 13 tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan. Semua tersangka masyarakat biasa, bukan pihak perusahaan perkebunan sawit dan lainnya. Padahal, ada laporan dari Koalisi Menolak Asap (KoMa) terkait dugaan tindak pidana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) oleh perusahaan besar swasta (PBS) ke Polda Kalteng. Lalu, kata Nugroho, ada ketimpangan penegakan hukum kasus perkebunan. Hal itu menimpa Aleng dan keluarga, warga Desa Kinjil yang divonis 1 tahun 5 bulan oleh Pengadilan Tinggi Palangka Raya. Dia dinyatakan terbukti mencuri buah sawit perusahaan perkebunan di wilayah itu.
Kasus lainnya, penanganan berlarut-larut tanpa kepastian hukum tewasnya Gijik, warga Desa Bangkal, yang tertembus peluru aparat pada 7 Oktober 2023. Polda Kalteng baru meliris tersangka, yakni Iptu ATW, sebulan kemudian peristiwa itu, tepatnya pada 24 November 2023. ”Rilis tersebut juga menyatakan bahwa alat bukti yang telah disita berupa 19 peluru tajam. Sampai hari ini tidak ada proses lanjutan terhadap kasus ini. Termasuk adanya penambahan tersangka baru,” ujarnya.
”Kami pertanyakan siapa yang melakukan perintah penembakan, menggunakan peluru tajam dan yang menembak, sehingga Gijik hilang nyawa. Hingga kini belum jelas rimbanya,” tambahnya. Pihaknya mencatat, sepanjang 2023 terjadi 13 kasus konflik agraria di Kalteng dengan luasan 6.501,42 hektare. Terjadi di delapan kabupaten. Berdasarkan catatan tahun ini, pihaknya merekomendasikan pemenuhan HAM di Kalteng pada 2024 dengan memperkuat gerakan masyarakat yang demokratis dan berperspektif HAM. (***/ign)