Komisi Pemilihan Umum (KPU ) Kalimantan Tengah, telah mendata ada 10.254 orang jumlah pemilih disabilitas untuk daftar pemilih tetap (DPT). Jumlah tersebut terdiri dari disabilitas fisik, intelektual, mental, sensorik wicara, sensorik rungu hingga sensorik netra. Dari jumlah itu, disabilitas fisik berjumlah 4.689 orang, 432 disabilitas intelektual, 2.400 disabilitas mental, 1.330 disabilitas sensorik wicara, 396 sensorik runggu, 1.007 sensorik netra. Sedangkan KPU tidak mengenal orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), melainkan menyebut disabilitas mental.
Paling banyak disabilitas fisik berada di Kotim, Kapuas dan Pulang Pisau,. Unyuk intelektual di kotim, pulang pisau, barito selatan. Untuk disabilitas mental tertinggi di Kapuas, Kotim dan Barito utara. Sensorik wicara Kotim, Kapuas, Barito Utara. Runggu di kabupaten, Kotim, pulang pisau dan Barito Utara. Netra di kabupaten Kotim, Katingan dan Kapuas. “Benar, kita tidak mengenal ODGJ yang berhak mendapatkan hak pilih. Kami mengkategorikannya disabilitas mental. Secara global disabilitas yang ada di DPT mencapai 10.254 orang dan tersebar di seluruh wilayah Kalimantan tengah. Kalau disabilitas mental paling banyak di Kapuas, Kotim dan Barito utara,” jelas Komisioner KPU Kalteng Wawan Wiraatmaja kepada Radar Sampit.
Dijelaskannya pula, KPU menggunakan disabilitas mental sebagai bagian disabilitas, seperti tuna netra. Bicara disabilitas mental biasanya sering disebut ODGJ, orang dengan gangguan jiwa, tetapi disabilitas mental dalam pandangan KPU tidak dinyatakan ODGJ. Wawan mencontohkan, ada memiliki penampangan seperti orang biasa, namun pada waktu waktu tertentu bermasalah dan ada gangguan. Maka hal itu dimasukan dalam disabilitas mental. Menurutnya dalam kontek ini beragam, tidak kenal orang hingga tidak bisa mengurus diri sendiri, tetapi ada juga disabilitas mental tak parah.“Kami tidak mengenal ODGJ tetapi menyebutkan disabilitas mental,” tegasnya lagi.
Wawan melanjutkan, terkait disabilitas mental bahwa selama mereka dibuktikan masih hidup, merupakan penduduk setempat dan tidak pindah ke daerah lain, maka tetap masuk dalam daftar pemilih. Syarat DPT WNi, sudah berumur 17 tahun atau lebih, bukan TNI maupun Polri. Mereka memang bagian dari data kependudukan, maka masuk DPT, asal tidak meninggal dunia.
Ditegaskannya, jika nanti saat hak mencoblos, dalam prosesnya saat pencoblosan nanti mereka yang disabilitas akan menggunakan haknya dengan kondisi tertentu dan KPU memfasilitasi mereka. “Contoh tunanetra disiapkan surat suara yang bisa diraba. Jika mereka kesulitan ke TPS bisa saja petugas mendatangi mereka,” paparnya. Lalu lanjut Wawan, Jika disabilitas mental maka bisa menggunakan hak pilihnya selama pada kondisi memungkinan untuk ikut memilih dalam kondisi stabil, sehingga mereka ke TPS. Atau mereka bisa dibantu orang terdekat untuk datang ke TPS, jika ada kesulitan dibantu petugas.
“Kondisinya bisa datang ke TPS dan melakukan pemilihan. Jika dalam kondisi tertentu bisa juga disertai dengan surat keterangan dari dokter menyatakan bisa memilih dan kondisi stabil. Namun kalau lagi dirawat di RSJ dan tidak ada keterangan dokter maka tidak bisa menggunakan hak pilihnya,” tegasnya. Wawan menambahkan, mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan perkara Pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
“Dengan adanya putusan a quo, penderita gangguan jiwa dapat memperoleh hak memilih, sepanjang tidak mengidap gangguan jiwa permanen. Maka itu terus dukung pemilu untuk berjalan lancar,” pungkasnya. (daq/gus)