SAMPIT - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah menyiapkan skema sanitary landfill untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas (overload) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
”TPA kita sekarang memang sudah bisa dikatakan overload, bukan dari keseluruhan luasan tapi pada area yang kita gunakan. Untuk itu, langkah kedepannya kami mulai menerapkan sanitary landfill, jadi sampah itu tidak terus ditumpuk begitu saja,” kata Kepala DLH Kotim Marjuki di Sampit, baru-baru ini.
Dia menjelaskan, saat ini terdapat delapan depo sampah yang ada di Sampit. Sampah dari seluruh depo tersebut kemudian diangkut ke TPA di Jalan Jenderal Sudirman km 14 sebagai lokasi terakhir pembuangan sampah.
Setiap harinya sampah rumah tangga yang dihasilkan warga Kota Sampit lebih dari 100 ton. Padahal, kemampuan pengangkutan sampah saat ini hanya berkisar 80 hingga 83 ton per hari.
Saat ini penanganan sampah di Kotim belum bisa optimal. Disamping kurangnya personel dan armada, kendala lainnya adalah pemrosesan akhir di lokasi TPA yang belum berjalan dengan baik sehingga sampah yang masuk hanya terus ditumpuk.
Area TPA sebenarnya cukup luas, yakni sekitar 68 hektare yang terdiri dari beberapa blok. Namun, saat musim hujan banyak lokasi yang tidak bisa dimasuki truk pengangkut sampah karena akses jalan yang rusak.
Oleh karena itu, DLH Kotim mencoba melakukan inovasi dengan menerapkan sistem sanitary landfill yang diharapkan mampu mengatasi masalah kelebihan kapasitas di TPA.
”Insyaallah minggu ini sudah mulai kita terapkan, bupati sudah menginstruksikan saya supaya penanganan sampah itu betul-betul serius,” ujarnya.
Marjuki pun menerangkan secara singkat terkait sistem sanitary landfill, yakni sistem pengelolaan sampah dengan cara membuat suatu cekungan atau lubang pada tanah, lalu memasukkan tumpukan sampah ke dalamnya kemudian ditutup kembali dengan tanah.
Sampah yang dibuang ke dalam lubang tersebut adalah sampah yang cepat terurai, sedangkan sampah plastik dan semacamnya yang sulit terurai akan dipilah dan didaur ulang menjadi produk yang bisa dimanfaatkan, seperti paving block, briket dan sebagainya.
”Memang untuk memulai ini tidak mudah, tetapi kita punya tekad dan kemauan untuk itu,” imbuhnya.
Untuk mendukung penerapan sistem sanitary landfill ini pihaknya juga melakukan revisi pada peraturan daerah (perda) tentang pengelolaan sampah yang di dalamnya termasuk aturan pembuangan sampah.
Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaraan masyarakat maupun dunia usaha akan tanggung jawab terhadap penanganan sampah masing-masing, karena penanganan sampah ini tidak semata-mata tugas pemerintah daerah.
Terutama sampah yang bersumber dari masyarakat atau sampah rumah tangga agar ada pemilahan, antara sampah organik dan anorganik dipisah dalam kantong sampah yang berbeda sebelum dibuang ke depo untuk mempercepat pemrosesan di TPA.
Ia menambahkan, revisi perda itu juga mengatur terkait sanksi bagi yang melanggar ketentuan pembuangan sampah, baik itu terkait pemilahan maupun waktu pembuangan sampah yang sekarang sudah diatur jadwalnya.
Pihaknya juga memasang kamera pengawas di setiap depo sampah untuk menelusuri jika ditemukan adanya pelanggaran.
”Setiap orang harus bertanggung jawab terhadap sampahnya. Pemerintah selaku koordinator tetap melaksanakan tugas dan fungsinya, tetapi masyarakat dan dunia usaha juga harus bertanggung jawab terhadap sampah masing-masing,” demikian Marjuki.(ant)