SAMPIT – Operasionalnya tambang ilegal yang menyeret Bupati Kotim Supian Hadi dinikmati banyak pihak. Selain kalangan ”berdasi”, uang dari tambang itu juga mengalir ke warga biasa. Kehidupan ekonomi sebagian warga membaik dari praktik yang merugikan negara triliunan rupiah itu.
”Kami sangat terkejut dengan berita itu. Ternyata tambang yang dulu lewat Sungai Cempaga ini ilegal,” kata Adi, salah seorang warga yang bermukim di sekitar wilayah pertambangan PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), Selasa (5/1).
PT FMA merupakan salah satu perusahaan tambang yang menyeret Supian Hadi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah itu menduga Supian menguntungkan diri sendiri atau orang lain/korporasi dalam pemberian IUP terhadap tiga perusahaan, yakni PT FMA, PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining.
Menurut Adi, selama tambang PT FMA beroperasi, warga merasakan dampak yang sangat baik. Bahkan, mereka yang tidak terlibat penuh sebagai karyawan perusahaan juga merasakan manfaatnya.
”Dulu, setiap desa ada yang dapat jatah juga dari tambang. Ini bukan rahasia lagi. Warga Cempaga tahu PT FMA ini termasuk perusahaan royal,” kata dia.
Untuk melancarkan operasionalnya saat itu, lanjut Adi, PT FMA merekrut tokoh hingga preman di setiap desa. Hal itu agar setiap ada kejadian atau insiden tongkang di sungai, tidak menimbulkan keributan.
”Perusahaan itu punya humas di setiap desa. Mereka digaji juga dari tambang. Kerjaannya hanya mantau tongkang lewat saja, memastikan tidak ada kendala sampai muara Cempaga,” ungkapnya.
Warga lainnya, Adit, mengatakan, saat PT FMA beroperasi, dalam sehari bisa mencapai 20 tongkang yang keluar dari Sungai Cempaga. Karena itu, tidak heran jika setiap hari selalu ada kejadian tabrakan tongkang dengan lanting warga. Badan sungai yang kecil dipaksa dilalui dua tongkang sekaligus. Tongkang itu bermuatan sekitar 5.000 metrik ton.
”Dulu, kejadian tongkang menabrak lanting warga terjadi hampir setiap hari, karena mereka sepertinya kejar setoran,” ungkapnya.
Anehnya, kata dia, lanjut dia, perusahaan sanggup membayar ganti rugi jamban warga di sungai yang disenggol tongkang dengan jumlah besar. Untuk satu lanting, perusahaan membayar hingga Rp 40 juta.
”Paling minim mereka ganti rugi Rp 10 juta. Kejadiannya hampir setiap hari, karena banyaknya tongkang masuk di sungai yang sempit ,” katanya.
Berdasarkan hasil penyelidikan KPK, operasional PT FMA dan dua perusahaan tambang lainnya, PT Aries Iron Mining dan PT Billy Indonesia, telah merugikan negara sekitar Rp 5,8 triliun dan 711 ribu US$. Aktivitas itu juga melibatkan Bupati Lingga Alias Wello (komisaris PT FMA) yang juga ditetapkan tersangka.
Mulai Diklaim
Mencuatnya kasus pertambangan di Kotim yang tengah diusut KPK membuka babak baru. Warga yang bermukim di sekitar operasional tambang itu ada yang berniat mengklaim areal tambang tersebut.
Samsul Kamar, ahli waris lahan bauksit di Desa Sudan, Kecamatan Cempaga Hulu, dalam waktu dekat akan mematok lahan mereka yang sudah digarap PT FMA. Menurutnya, lahan yang sudah digarap perusahaan sekitar 1 hektare pada 2012 silam. Kegiatan terhenti saat mereka sendiri turun ke lapangan menghentikannya.
”Kalau kami tidak turun, mungkin habis lahan kami digarap. Kami minta perusahaan bisa bertanggung jawab dengan masalah ini, karena kami yang dirugikan," kata dia, Selasa (5/2).
Kerugian yang dialami, lanjutnya, selain bauksit yang diambil, kebun karet di lokasi itu juga dirusak. Saat itu perusahaan hanya mau mengganti Rp 50 juta per hektare. Mereka menolak karena lahan itu tidak kosong, ada perkebunan karet tempat mata pencaharian warga.
”Kami akan pertahankan lahan kami itu karena itu lahan yang dikuasai keluarga kami sudah sejak lama. Lahan itu tempat kami cari makan, tapi dibabat mereka,” ujarnya.
Dia berharap siapa pun manajemen baru nantinya, apabila kegiatan tambang beroperasi dengan perizinan yang lengkap, dia minta agar tidak main garap apabila permasalahan ganti rugi belum selesai.
”Padahal legalitas lahan milik saya itu jelas, ada surat tanah yang diterbitkan tahun 1981,” tuturnya.
Lahan yang berisi bauksit itu, lanjut dia, dulunya pernah diusulkan untuk diganti rugi melalui pihak manajemen perusahaan PT FMA, yakni AND dan SN yang saat ini menjabat di DPRD Kotim. Akan tetapi, saat itu belum ada kesepakatan harga. Namun, dalam perjalanannya, lahan yang ditumbuhi perkebunan karet itu, diharap sepihak oleh perusahaan. Pohon karetnya dirusak dan bauksitnya diambil.
”Sampai sekarang tidak ada ganti rugi. Makanya dulu saya bingung, kok bisa mereka menggarap lahan itu, sementara ganti rugi belum selesai,” katanya.
Samsul mengaku gembira mendengar kabar perusahaan itu tengah berurusan dengan KPK. Bahkan, menurutnya, ia dan keluarga besarnya akan mempertahankan lahan itu sepanjang ganti rugi tidak dilakukan oleh perusahaan. (ang/ign)