Kapolri Listyo Sigit Prabowo benar-benar geram dengan kekerasan dan pelanggaran yang terjadi di tubuh kepolisian. Setelah mengeluarkan telegram untuk mencegah terjadinya kekerasan di tubuh kepolisian, mantan kepala Divisi Propam Polri itu langsung memberikan instruksi kepada setiap kapolda, kapolres, dan kapolsek untuk segera mencopot, memecat, dan mempidanakan oknum pelanggar.
Dalam surat telegram nomor ST/2162/X/HUK.2.8/2021 tertanggal 18 Oktober, terdapat sebelas poin instruksi. Pertama, mengambil alih kasus kekerasan berlebihan serta memastikan penanganannya prosedural, transparan dan berkeadilan. Kedua, melakukan penegakan hukum secara tegas dan keras terhadap anggota yang melanggar dalam kasus kekerasan berlebihan kepada masyarakat.
Ketiga, memerintahkan kabid humas untuk memberikan informasi kasus kekerasan berlebihan secara terbuka dan jelas kepada masyarakat. Keempat, memberikan petunjuk kepada anggota yang tugasnya berhadapan dengan masyarakat untuk bertindak sesuai kode etik profesi Polri dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kelima, memberikan penekanan dalam tindakan upaya paksa harus memedomani SOP sesuai peratudan kapolri nomor 1/2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Keenam, memberikan penekanan dalam setiap kegiatan pengamanan dan tindakan kepolisian kerawanan tinggi wajib didahului arahan pimpinan pasukan (APP), memastikan semua anggota yang terlibat memahami dan menguasai tindakan teknis, taktis serta strategis.
Ketujuh, memperkuat pengawasan, pengamanan, dan pendampingan Propam secara terbuka dan tertutup saat unjuk rasa dan upaya paksa yang memiliki kerawanan. Kedelapan, mengoptimalkan pencegahan dan pembinaan anggota Polri agar dalam bertugas tidak arogan, tidak simpatik, berkata kasar, menganiaya, menyiksa dan tindakan kekerasan berlebihan.
Kesembilan, memerintahkan fungsi operasional khususnya yang berhadapan langsung dengan masyarakat dan kemampuan first line supervisor dalam pengawasan melekat dan pengendalian langsung di lapangan. kesepuluh, memerintahkan direktur, kapolres, kasat, dan kapolsek untuk memperkuat pengawasan dan pengendalian dalam penggunaan kekuatan dan tindakan kepolisian agar sesuai SOP.
Kesebelas, memberikan punishment atau sanksi tegas terhadap anggota yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin atau kode etik, maupun pidana. Khususnya, berkaitan dengan tindakan kekerasan berlebihan serta terhadap atasan langsung yang tidak melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai tanggung jawab.
Setelah mengeluarkan telegram tersebut, kapolri juga menggelar video conference dengan semua kasatwil kemarin. Dalam acara itu, Sigit-panggilan akrab kapolri- menegaskan, kapolda dan kapolres tidak boleh ragu memberikan sanksi tegas kepada setiap anggota yang melanggar. Sanksi itu bisa berupa pencopotan, pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), dan pidana.
”Tolong tidak pakai lama, copot, PTDH, dan proses pidana. Kalau ragu saya ambil alih,” tuturnya.
Perbuatan oknum kepolisian tersebut telah merusak marwah institusi Polri. serta, mencederai kerja keras dan komitmen dari personel Korps Bhayangkara yang bekerja maksimal untuk masyarakat. “Mencederai perjuangan dan kerja keras anggota Polri yang menangani Covid 19,” ujarnya.
Dia menuturkan, dengan tindakan tegas kepada oknum polisi yang melanggar diharapkan memberikan efek jera. Perilaku semacam itu berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri, yang selama ini trennya positif. “Saya tidak mau kedepan terjadi lagi,” tegasnya.
Orang nomor satu di kepolisian itu juga memastikan Polri merupakan lembaga yang terbuka dalam menerima kritik. semua aspirasi masyarakat akan menjadi bahan evaluasi demi kebaikan Polri. “Kami tidak anti kritik dan jangan ada yang anti kritik,” ujarnya.
Terbitnya telegram Kapolri ini diapresiasi oleh legislatif. Namun, mereka juga memberikan catatan khusus. Anggota Komisi III dari PPP Arsul Sani, misalnya, menilai bahwa telegram ini menunjukkan kultur hukum Indonesia yang selalu tertinggal.
Arsul menyayangkan imbauan dalam bentuk telegram tersebut muncul setelah banyak kasus terjadi dan melibatkan oknum anggota Polri lebih dulu. “Pertanyaannya itu selalu kenapa sih kok harus menunggu kejadian dulu? Di mana-mana kita memang punya kultur hukum ketinggalan kereta,” jelas Arsul di Kompleks Parlemen Senayan kemarin.
Bukan hanya telegram Kapolri, Arsul juga mencontohkan adanya surat edaran, peraturan kelembagaan, hingga undang-undang yang baru diterbitkan setelah kejadian marak dan menimbulkan banyak korban. Namun demikian, Arsul berharap terbitnya telegram ini bisa menjadi preseden baik bagi penegakan hukum di kalangan internal Polri ke depan.
Menurut dia, ini merupakan kemajuan dibandingkan sikap Polri zaman dahulu, di mana banyak laporan tentang kekerasan anggota tidak ditindaklanjuti. “Apalagi tradisi zaman dulu itu cenderung ada sifat self-defense, sifat apology. Ini saya kira responnya baguslah meski dengan kejadian berulang,” sambungnya.
Terpisah, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menyatakan bahwa, pihaknya melihat ada semangat yang besar dari Polri untuk berbenah diri. Di samping langkah-langkah yang sudah diambil oleh kapolri, dia menyebut Polri saat ini sudah bersedia terbuka dan lebih akuntabel dalam berbagai hal. Keterangan tersebut disampaikan oleh Anam usai bertemu dengan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di kantor Komnas HAM kemarin.
Menurut Anam, semangat yang ditunjukkan oleh Polri untuk memperbaiki diri patut diapresiasi. Selain itu, pihaknya juga berkomitmen untuk memberi dukungan. ”Agar tidak berulang kembali kasus-kasus yang ada,” imbuhnya.
Dalam kesempatan tersebut, dia juga mengungkapkan bahwa Ferdy sudah menyampaikan informasi terbaru berkaitan dengan penanganan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi. Termasuk kasus yang mendapat banyak perhatian publik belakangan ini.
Dari penjelasan yang dia terima, Anam juga menyebut, saat ini Polri semakin tegas menindak personel yang melanggar aturan dan ketentuan yang berlaku. ”Tidak hanya soal (sanksi) etik, tapi penegakkan hukum juga ada,” jelasnya. Dia berharap dengan langkah-langkah yang sudah diambil oleh Polri, tindak kekerasan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh aparat kepolisian tidak terjadi lagi. Apalagi tindakan yang berpotensi melanggar hak asasi. (idr/deb/syn/jpg)