SAMPIT – Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) memastikan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Wana Yasa Kahuripan Indonesia (WKYI), anak perusahaan PT Makin Group, menggarap kawasan hutan dalam aktivitasnya. Hal tersebut dilakukan sejak delapan tahun silam.
Wilayah yang disebut-sebut menggarap hutan tersebut berada di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) Koperasi Cempaga Perkasa. Luasannya sekitar 702 hektare. Meski demikian, PT WYKI bakal lepas dari jeratan pidana. Hal itu setelah berlakunya Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, perusahaan terancam denda administratif (ultimum remedium) yang harus diselesaikan dalam batas waktu tertentu.
Hal tersebut disampaikan Kepala Bagian Sumber Daya Alam Sekretariat Daerah Kotim Rodi Kamislam. Dia menuturkan, penggarapan di kawasan hutan tersebut belum mengantongi izin pelepasan kawasan sesuai ketentuan perundang-undangan.
”Tapi, dengan terbitnya Undang-Undang 11/2021 tentang Cipta Kerja, (PT WYKI) bisa diberikan dispensasi. Tidak mengedepankan sanksi pidana, tapi mereka akan membayar denda atas perhitungan KLHK,” katanya.
Rodi mengungkapkan, PT WYKI pernah menyampaikan telah mengurus pelepasan kawasan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Akan tetapi, sampaui sekarang proses itu belum jelas, karena Pemkab Kotim tidak menerima pemberitahuan.
”Saat ini PT WYKI ini sedang menempuh di PP Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan,” ujarnya.
Lebih lanjut Rodi mengatakan, solusi kerja sama pengelolaan dengan Koperasi Cempaga Perkasa merupakan alternatif terbaik penyelesaian sengketa. Sebab, di areal tersebut sudah terbit izin pemanfaatan dari KLHK oleh masyarakat yang tergabung dalam koperasi.
”Artinya, pemegang IUPHKm dan perusahaan saja yang berunding dan ini kita tunggu saja,” katanya.
Mengenai sanksi denda adminitratif yang akan dijatuhkan kepada PT WYKI perihal penggarapan kawasan hutan, menurut Rodi, nominalnya akan ditentukan dari berbagai kriteria, di antaranya masa tanam, luasan, waktu tanam, tutupan tajuk, dan keuntungan.
”Itu akan dihitung KLHK. Mereka beruntungnya ada UU Cipta Kerja saja. Seandainya itu tidak ada, bisa dijerat pidana kehutanan sebagaimana UU 41 Tahun 1999,” kata dia.
Rodi menambahkan, persoalan itu berawal dari terbitnya IUPHKm di areal sawit PT WYKI. Lahan itu awalnya seluas 1.600 hektare. Namun, oleh perusahaan diserahkan separuhnya untuk dijadikan plasma seluas 800 hektare.
Dalam perjalanannya, KLHK menerbitkan IUPHKm atas nama Koperasi Cempaga Perkasa di areal inti milik PT WYKI. Di lokasi itu terdapat kantor besar, mes karyawan serta fasilitas perusahaan. Termasuk tanaman kelapa sawit. ”Kegiatan itu sudah berlangsung lama. Akhirnya menjadi polemik,” katanya.
Rodi melanjutkan, ada tiga opsi penyelesaian sengketa dengan koperasi, yakni berdasarkan UU Cipta Kerja, PP 24 Tahun 2021, dan Permen LHK Tahun 2020. Ada pilihan, di antaranya historis perizinan. Artinya, siapa yang lebih dulu mengantongi izin di areal tersebut.
Kedua, areal itu bisa dikerjasamakan dengan Koperasi Cempaga Perkasa sebagai pemegang IUPHKm. Alternatif ini merupakan yang terbaik untuk penyelesaian polemik perusahaan dan masyarakat tersebut. Ketiga, juga bisa dilakukan enclave dari areal PT WYKI untuk areal yang kini tengah bermasalah dengan IUPHKm koperasi tersebut.
”Tapi, untuk kerja sama itu dibicarakan lebih lanjut. Perusahaan meminta waktu satu minggu untuk berkomunikasi dengan manajemen di Jakarta. Kita tunggu hasil dari Jakarta. Manajemen pusat akhirnya yang memutuskan,” tandasnya. (ang/ign)