Buruknya kondisi infrastruktur bukan hanya memukul ekonomi masyarakat, tetapi juga berdampak bagi perkembangan pendidikan anak-anak di Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat.
KOKO SULISTYO, Pangkalan Bun
Ufuk Timur masih gelap gulita. Semburatnya belum juga terlihat merona di pucuk langit, namun bocah-bocah belia di ujung Kecamatan Arut Utara itu sudah bersiap menuju sekolah.
Tas lusuh mereka bukan hanya berisi buku dan alat tulis, tetapi sudah bercampur dengan pakaian seragam yang mereka jejalkan di sela-sela buku dalam. Kaki kecil mereka tidak beralas, karena sepatu yang dimasukkan ke dalam kantong plastik.
Sebagian di antara anak-anak itu, tak sempat lagi menyantap hidangan pagi, karena harus berkejaran dengan waktu dan ”mengejar matahari” sebelum pintu kelas tertutup rapat, tanda jam pelajaran telah dimulai.
Mirisnya, dengan kendaraan roda dua, anak-anak itu harus menempuh jarak puluhan kilometer di jalan yang rusak dan di beberapa titik yang terendam air bercampur lumpur. Tidak jarang jalan yang licin dan berlumpur itu membuat mereka harus jatuh bangun. Sebelum sampai ke sekolah, para pelajar harus membersihkan diri terlebih dahulu di parit dan mengenakan pakaian seragam.
Sejak empat tahun ini, kondisi tersebut dirasakan masyarakat setempat. Jalan yang sejatinya dibangun negara dan menjadi akses utama masyarakat yang menghubungkan empat desa itu, rusak berat. Desa tersebut, yakni Sungai Dau, Pandau, Sambi, dan Desa Penyombaan.
”Karena jalan sangat sulit ditembus, kami berangkat dari rumah pukul 05.00 WIB. Pakaian seragam serta sepatu, kami masukkan dalam tas agar tidak kotor dan kami kenakan kembali di tepi jalan,” kata Putra, pelajar SMPN 2 Aruta.
Saat hujan turun, mereka harus bahu-membahu saling dorong kendaraan yang terjebak lumpur. Para pelajar itu terpaksa menggunakan kendaraan roda dua. Selain jauhnya jarak rumah mereka ke sekolah, roda empat tidak mampu melewati ruas jalan tersebut.
Rusaknya jalan tersebut sangat ironis, mengingat kawasan itu dikepung perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit dan tambang. Para investor tersebut terus mengeruk keuntungan dan membiarkan belasan kubangan sedalam 40 sentimeter dibiarkan menganga.
Para siswa berharap, pemerintah cepat menangani persoalan infrastruktur di wilayah itu, sehingga proses belajar mengajar tidak lagi terkendala. Apalagi Desa Sambi merupakan desa yang sarat sejarah pada masa merebut kemerdekaan, yakni titik mendaratnya penerjun payung pertama oleh Tentara Nasional Indonesia.
Kepala Sekolah SMPN 2 Arut Utara Florenstinus Kusnarto mengatakan, jalan sepanjang 21 kilometer tersebut merupakan jalan pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT). ”Para siswa ini harus menempuh waktu selama dua jam sebelum sampai sekolah dengan kondisi infrastruktur yang buruk,” katanya. Mengingat kondisi tersebut, pihak sekolah memberikan kelonggaran dengan tidak menerapkan disiplin ketat seperti sekolah lain pada umumnya. (***/ign)