Kebijakan pemerintah terkait Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa dicairkan pekerja saat usia memasuki 56 tahun atau mengalami cacat total, dinilai semakin menambah derita pekerja. Aturan tersebut diminta segera dicabut dan pemerintah tak mempermainkan nasib pekerja. Hal tersebut merupakan poin penting aksi unjuk rasa yang digelar Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PD-FSP PP-KSPSI) Kalteng, Senin (21/2). Mereka mendesak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Program JHT segera dicabut.
Puluhan pengurus serikat pekerja yang datang dari sejumlah kabupaten dan kota mendatangi Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalteng. Mereka membentangkan spanduk penolakan terhadap permenaker tersebut, sembari menyampaikan tuntutan agar aspirasi mereka diteruskan sampai ke Kementerian Ketenagakerjaan di Jakarta. Pekerja menilai aturan sebelumnya, yakni Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 jauh lebih sesuai.
Sebab, aturan dalam aturan lama disebutkan pekerja yang tidak lagi berkerja, baik karena mengundurkan diri maupun PHK, bisa mencairkan manfaat JHT kapan pun. Baik saat kehilangan pekerjaan atau saat memasuki usia pensiun. Ketua PD FSP PP Kalteng Nasarie menuturkan, penolakan terhadap Permenaker tersebut didasarkan pada ketentuan di dalamnya yang dianggap tidak berpihak kepada pekerja atau aturan yang justru memberatkan.
”Kami dengan tegas menolak dengan keras peraturan baru itu, karena tidak berpihak kepada kepentingan pekerja,” ujarnya. Permenaker yang rencananya diberlakukan pada Mei mendatang tersebut dinilai rancu, karena secara langsung merugikan pekerja. JHT dapat dianggap sebagai tabungan para pekerja, karena dipotong dari gaji atau upah pekerja yang diterima setiap bulannya. Karena itu, sangat aneh apabila kementerian menghalangi pekerja mencairkan uang yang ditabung pekerja sendiri.
Dia menambahkan, JHT yang baru bisa diterima pada usia 56 tahun atau saat mengalami cacat total atau meninggal dunia, merupakan pembodohan bagi pekerja buruh. Sebab, pekerja memiliki masa kerja yang tidak sama dengan pegawai negeri yang memiliki masa pensiun dan jaminan setelahnya. ”Mohon maaf saja. Itu kan (JHT, Red) bukan uang pemerintah, bukan uang negara. Saya tegaskan bahwa JHT itu adalah uang pekerja dan hak mereka untuk menggunakannya saat kehilangan pekerjaan,” ucapnya.
Pernyataan kementerian yang menyebutkan pencairan JHT pada usia 56 tahun sebagai perlindungan sosial jangka panjang dinilai salah besar. Sebab, pekerja yang masa kerjanya hanya beberapa tahun saja, hanya akan memiliki tabungan JHT yang tidak banyak, sehingga sangat tidak mungkin ditahan bertahun-tahun tanpa alasan tak jelas. ”Bayangkan pekerja yang kehilangan pekerjaan pada usia 30 tahun dan saldo JHT-nya hanya tiga jutaan, apakah harus menunggu 26 tahun dulu untuk mencairkan uang tiga juta itu? Ini di mana logikanya bisa memberi jaminan,” ucapnya.
Pihaknya menilai, munculnya Permenaker tersebut merupakan bukti nyata sikap pemerintah di bidang ketenagakerjaan yang sama sekali tidak berpihak pada nasib dan kesejahteraan pekerja. Menurut Nasarie, munculnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 akan menambah derita para pekerja, setelah sebelumnya muncul Undang-Undang Cipta Kerja. Terutama yang mengatur tentang klaster ketenagakerjaan.
”Selain itu, kami melihat Permenaker ini dalam penyusunannya tidak melalui dialog sosial dengan serikat pekerja. Jadi, keputusannya diambil sendiri tanpa pembicaraan dengan federasi,” ucapnya. Sementara itu, Sekretaris PD-FSP PP Ahmad Tahudin Noor mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang menjadi tuntutan pihaknya sebagai dasar penolakan Permenaker. Semuanya menyangkut hak pekerja, ketidaksesuaian aturan, dan ketidakberpihakan pemerintah kepada pekerja.
”Bukan lagi ditunda, tapi tegas tolak dan batalkan aturan itu, karena sudah pasti merugikan pekerja yang merupakan anak negeri sendiri,” tegasnya. Pihaknya mengharapkan tuntutan tersebut segera diteruskan kepada kementerian agar dapat diperhatikan. Aspirasi itu merupakan bagian yang sama dengan federasi lain di seluruh wilayah Kalteng yang menyuarakan hal yang sama. ”Kami berharap yang menjadi tuntutan, baik dari serikat pekerja di Kalteng dan seluruh wilayah di Indonesia bisa diperhatikan dan kementerian mencabut Permenaker Nomor Tahun 2022 itu,” ujarnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disnakertrans Kalteng Fairid Wadji memastikan pihaknya sesegera mungkin meneruskan pernyataan sikap tersebut kepada Kemenaker sebagai bentuk penyaluran aspirasi serikat pekerja di Kalteng. ”Sesuai permintaan dari teman-teman serikat pekerja, tugas kami hanya meneruskan pernyataan sikap yang mereka aspirasikan melalui kami,” tandasnya. (sho/ign)