Bahasa ternyata bisa menjadi konflik berimplikasi hukum. Apalagi beberapa tahun terakhir sangat marak berita tentang tindak pidana berkaitan dengan kebahasaan yang ditangani oleh penegak hukum, seperti penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, fitnah, perjudian. Selain itu, pemerasan dan pengancaman hingga ujaran kebencian yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sehingga bahasa dapat menyinggung perasaan orang lain dan menimbulkan kebencian serta menimbulkan fitnah.
Penekanan itu disampaikan Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah Valentina Lovina Tanate, saat menggelar sarasehan Konflik-Konflik Kebahasaan Berindikasi Hukum Tahun 2022, Rabu (2/3). Dia menuturkan, dalam bidang hukum, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa legislasi untuk dokumen-dokumen hukum, seperti perundang-undangan.
Pendampingan dalam penyusunan perundang-undangan di Indonesia penting dilakukan agar produk hukum tersebut sesuai secara kebahasaan. ”Selain itu, bahasa Indonesia juga berperan dalam penyelesaian konflik sosial. Maka itu, sangat marak berita tentang tindak pidana berkaitan dengan kebahasaan, yang banyak menimbulkan hal-hal negatif. Karena itu, dalam proses hukum penanganan kasus tersebut memerlukan ahli bahasa ranah hukum untuk didengar keterangannya,” ujarnya. Valentina menambahkan, Indonesia merupakan negara hukum dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya. Selain bahasa Indonesia, khazanah bahasa dan sastra daerah di Indonesia sangat beragam.
”Di situlah adanya Badan Bahasa, mempunyai tugas melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan di bidang bahasa dan sastra. Untuk melaksanakan amanat peraturan tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) melakukan upaya pembinaan dan pemasyarakatan bahasa Indonesia,” ujarnya.
Dia menambahkan, dalam kehidupan masyarakat Indonesia, telah terjadi berbagai perubahan, baik sebagai akibat terjadinya tatanan kehidupan dunia yang baru, seperti pemberlakuan pasar bebas dalam rangka globalisasi. ”Akibat perkembangan teknologi informasi yang amat pesat maupun pemberlakuan otonomi daerah. Teknologi informasi mampu menembus batas ruang dan waktu, sehingga keterbukaan tidak dapat dihindari,” tuturnya.
Valentina mengatakan, masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat pendukungnya. Bahasa Indonesia digunakan oleh bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Hal itu, lantaran bahasa merupakan cermin masyarakat pemakainya. Sikap positif yang dimiliki masyarakat terhadap bahasa Indonesia diharapkan dapat tercermin dalam berkomunikasi. Tertib berbahasa dapat diperagakan oleh masyarakat yang memiliki sikap positif itu. Mereka akan bertutur kata dengan santun. ”Maka itu, pilihan katanya dipertimbangkan dengan cermat, sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak menimbulkan kebencian, dan tidak menimbulkan fitnah,” pungkasnya. (daq/ign)