Tersangka perkara penipuan jual-beli lapak Pasar eks Mentaya Teater, AS, mengungkap aliran dana praktik haram itu. Dia berani menjual lapak atas suruhan pimpinannya saat itu. Akibat perbuatannya, korban Hj Iriani dan Hj Aan harus mengalami kerugian sebesar Rp 130 juta. Hal itu terungkap saat penyidik Polres Kotim melimpahkan perkara kasus tersebut kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kotim. ”Saya terima uang dari korban secara bertahap,” kata tersangka saat pelimpahan berkas tahap II di Kejari Kotim, Senin (28/3).
Tersangka melakukan perbuatannya pada Desember 2019 di pasar Jalan Ahmad Yani, Kelurahan MB Hulu, Kecamatan MB Ketapang. Dia menawarkan korban membeli kios di Pasar eks Mentaya Teater sebesar Rp 10 juta untuk ukuran kecil dan Rp 25 juta ukuran besar. Dia juga memperlihatkan Surat Keputusan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kotim.
Korban membeli delapan kios kecil dan dua kios besar dengan total harga Rp 130 juta. Pembayaran dilakukan bertahap hingga lunas dengan bukti kuitansi Rp 92 juta. Pembayaran sebesar Rp 28 juta dilakukan tanpa kuitansi. Korban lalu menerima sepuluh SK terkait penempatan kios itu dan dijanjikan akan menempatinya setelah pergantian kepala dinas yang baru. Namun, sampai pejabat berganti, korban tidak bisa menempati kios.
Saat mempertanyakan hal itu ke instansi terkait, korban mendapat penjelasan bahwa SK tersebut tidak berlaku. Mengetahui hal tersebut korban meminta pertanggungjawaban AS. Karena AS tak kunjung bertanggung jawab, akhirnya perkara itu dilaporkan ke polisi. Dari pengakuannya, tersangka menyebut semua uang hasil penjualan lapak diserahkannya kepada kepala dinasnya saat itu. Dirinya maupun anggota timnya yang lain hanya diberikan sebesar Rp 300 ribu, sehingga uang hasil penjualan kios tidak dinikmatinya sendiri.
Selain itu, AS juga mengatakan, uang hasil setoran pedagang juga digunakan untuk biaya kegiatan kantornya. ”Uang itu saya yang terima, namun saya serahkan kepada kepala dinas,” ucapnya. Dalam ketentuan, kios itu tidak diperjualbelikan, tetapi jika ada nama yang tertera dalam SK, setelah mereka tempati, baru akan dipungut retribusi. Besarannya mengikuti ketentuan dalam peraturan daerah.
Menurut tersangka, orang yang membeli kios darinya tidak hanya pelapor Hj Iriana dan Hj Aan, namun ada pedagang lain. Namun, setoran dari sejumlah pedagang itu telah dikembalikan.
Menurut tersangka, kasus itu bermasalah setelah ada kebijakan kepala dinas yang baru. Padahal, apa yang dilakukan kepala dinas lama sudah sesuai dan pedagang yang menerima kios sudah sesuai kriteria. Kepala Disperdagin Kotim Zulhaidir sebelumnya mengaku tak tahu pasti jumlah pedagang yang menyetor pada AS. Namun, nilai pundi-pundi uang dari hasil transaksi jual beli lapak dengan pedagang itu mencapai lebih dari setengah miliar.
”Berapa banyak pedagang yang menyetorkan uang saya belum tahu pasti. Kemungkinan ada 20-an orang. Hanya saja, satu orang itu ada yang mengambil sepuluh kios, bahkan lebih. Mereka tak tahu semua lapak itu kan bukan lapak kosong, tetapi sudah ada isinya,” kata Zulhaidir, 4 Februari lalu.
Dia menuturkan, Pemkab Kotim telah melakukan relokasi pedagang khusus bagi pedagang lama yang berjualan di Pasar eks Mentaya Teater dan pedagang yang berjualan di sekitar lokasi Taman Kota Sampit. Dari data, pedagang yang menyetorkan bukan pedagang lama, melainkan pedagang baru yang ingin membangun usaha dengan niat ingin membeli lapak di tempat yang sudah ada pemiliknya. ”Pedagang ingin mencari lokasi yang strategis dan nyaman. Oknum memanfaatkan kesempatan itu, lalu terjadilah tawar-menawar yang dilakukan person to person dan itu tidak melibatkan instansi (Disperdagin),” tegasnya.
Zulhaidir menambahkan, tindakan oknum yang jelas-jelas menyalahi kewenangan sebagai ASN itu diketahuinya setelah satu per satu pedagang mendatangi Kantor Disperdagin Kotim untuk menuntut lapak yang sudah dibayarkan ke oknum tersebut. ”Ada keluhan dari pedagang. Ada yang datang ke rumah, bahkan ada yang sampai sakit-sakitan karena sudah membayar setoran lapak dengan jumlah yang cukup besar. Dari situ baru ketahuan,” ungkapnya.
Dia menegaskan, relokasi pedagang untuk menempati lapak/kios tersebut dilakukan tanpa dikenakan biaya, namun harus melalui pengundian. ”Semua lapak itu nol persen, alias gratis. Asalkan dapat dibuktikan pedagang lama dan benar-benar memanfaatkan lapak untuk berjualan. Prosesnya juga dilakukan transparan melalui pengundian yang dihadiri instansi dan aparat kepolisian,” ujarnya.
Namun, faktanya, satu kios atau lapak dijual seharga Rp 15-20 juta per lapak oleh oknum. Puluhan pedagang yang menjadi korban oknum AS itu pun tak jelas nasibnya. ”Sebagian informasinya ada yang sudah dikembalikan. Berapa banyak pedagang yang menyetor, berapa besaran nilai jual belinya saya tidak pegang datanya,” ujarnya. Sebelum kasus tersebut mencuat, pihaknya berkali-kali diminta aparat kepolisian untuk melakukan langkah mediasi kepada kedua belah pihak. ”Saya katakan ini tidak bisa dimediasi, karena dilakukan dari orang ke orang. Kalau itu mengatasnamakan instansi seperti persoalan Pasar Mangkikit itu, pemerintah pasti turun tangan. Karena ada perjanjian, surat resmi, ada aturan mainnya. Selama pedagang mengikuti aturan, uang pedagang aman,” tuturnya. (ang/ign)