SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

METROPOLIS

Jumat, 08 April 2022 13:25
Kisah Penyimpangan Proyek Jalan di Pedalaman Katingan, Asang dan Camat Anggap Putusan Tak Adil
Persidangan kasus proyek jalan di Katingan.

Sejumlah kades lainnya tak menyebut Hernadie menyampaikan hal tersebut dalam forum rapat. Namun, mereka membenarkan bahwa Hernadie tak akan mengevaluasi APBDes 2020 apabila tak mengalokasikan anggaran untuk proyek jalan yang diminta.

Kepada Radar Sampit saat ditemui di Desa Rantau Bahai, Rusianto menegaskan, semua hal terkait proyek tersebut diatur Hernadie. Dia juga mengaku tak tahu proyek itu dikerjakan Asang. Dia baru mengetahuinya setelah Asang bekerja.

”Saya tahu Haji Asang mengerjakan setelah dia bekerja. SPK itu kan waktu kami rapat belum ditandatangani. Setelah beberapa hari baru ditanda tangan. Saya mau tanda tangan karena disuruh atasan (Hernadie, Red),” ujarnya.

Keterangan Rusianto berbeda dengan kesaksiannya saat sidang. Dalam dokumen putusan Majelis Hakim terhadap Hernadie, Rusianto menyebut pernah bertemu dengan Asang ketika diundang Hernadie untuk hadir di kantor kecamatan untuk membahas SPK sekaligus menandatanganinya.

Hernadie sebelumnya telah membantah tuduhan ancaman terhadap kades. Pernyataan tak akan mengevaluasi APBDes disampaikannya setelah rapat dalam perbincangan santai dengan para kades. Hal itu sebagai bentuk komitmen untuk pembangunan jalan tersebut. Menurutnya, para kades juga menyetujui hal itu.

Keterangan lainnya yang memberatkan, jalan yang dibangun Asang tak bisa dilalui. Rusianto mengatakan, jalan tersebut tidak bisa dipakai karena tidak layak. Demikian pula dengan Julkarnain, yang menyebut jalan tak bisa digunakan kendaraan roda dua maupun empat. Selain itu, pembangunan jalan merupakan permintaan Hernadie, bukan keinginan masyarakat setempat.

Dokumen foto yang diperoleh Radar Sampit saat jalan tersebut dikerjakan, badan jalan masih bersih dan berupa tanah liat. Ruas itu juga bisa dilintasi kendaraan roda dua maupun empat. Hal tersebut juga dibenarkan sejumlah warga yang ditemui Radar Sampit.

”Warga sesekali menggunakan jalan itu saat sudah selesai dikerjakan menggunakan sepeda motor. Namun, kini memang sudah tak bisa dipakai karena ditumbuhi rumput dan pohon,” kata seorang warga Desa Sei Nanjan kepada Radar Sampit, seraya meminta namanya tak disebutkan.

Jalan yang masih bisa dilalui juga disampaikan perangkat Desa Tumbang Kabayan. Pria yang meminta namanya tak disebutkan karena tak mau mengundang polemik itu mengatakan, jalan yang dibuat Asang masih bisa dilintasi ketika baru selesai dikerjakan. ”Kalau sekarang memang tak bisa,” ujarnya.

Hernadie juga membantah jalan itu tak bisa digunakan. ”Keterangan semua kades yang mengatakan jalan itu tidak pernah dilalui itu tak benar. Buktinya, Wabup Katingan (Sunardi Litang) dua kali melewati jalan itu dari Tumbang Sanamang sampai Kiham Batang,” ujarnya pada Radar Sampit.

Mengutip dokumen sidang vonis Hernadie, barang bukti yang ada hanya foto jalan yang dibangun tahun 2009. Dari 81 bukti yang ada, penyidik tak menyertakan foto jalan yang dibuat Asang setelah dikerjakan.

Hernadie menyebut semua kades memberikan keterangan palsu. Dia tak terima dituduh memaksa. Padahal, pembuatan jalan itu merupakan kesepakatan kades, sementara dirinya hanya memfasilitasi.

Sepanjang penelusuran di Kecamatan Katingan Hulu, sejumlah warga yang ditemui Radar Sampit juga heran dengan tudingan terhadap Hernadie yang memaksa kades. Sepengetahuan warga, proyek itu merupakan kesepakatan bersama para kades. Mereka tak pernah mendengar istilah pemaksaan sampai proyek ramai dibahas ketika bermasalah.

”Kalau umpamanya ada pemaksaan (terhadap kades), kami juga agak pusing memikirnya. Inti dari beberapa kali pertemuan terkait jalan itu untuk mencapai kata mufakat, bukan pemaksaan. Selain itu, anggaran juga milik desa. Kalau memang dipaksa, mereka bisa menolak,” kata Agung Kramajaya, Ketua RT 2 Sei Nanjan.

Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kuluk Sapangi, Igo, memberikan kesaksian sama. Dia mengaku tak pernah mendengar Hernadie mengancam kades tidak akan menandatangani APBDes kalau tidak memasukkan anggaran proyek jalan tersebut.

Dalam keterangannya, Igo juga mengungkap kejanggalan dalam penetapan APBDes 2020 di desanya. Di antaranya, tak ada musyawarah desa dalam pembahasan APBDes, tak pernah diberi tahu pembahasan APBDes oleh Kades Kuluk Sapangi, Reli, dan tak pernah tanda tangan Perdes tentang APBDes Kuluk Sapangi tahun 2020.

”Kepala Desa Kuluk Sapangi menyampaikan kalau APBDes adalah kewenangan kepala desa dan saya selaku BPD tidak berhak tahu APBDes,” ujar Igo, mengutip dokumen sidang.

Berdasarkan Undang-Undang 14 Tahun 2014 tentang Desa, peran BPD sangat penting dalam penetapan APBDes. Termasuk dalam penetapan Perda APBDes yang harus disepakati antara kepala desa dengan BPD. Hal itu tertuang dalam Pasal 55 UU tersebut. BPD juga berperan mengawasi kinerja kades.

Reli dalam keterangannya mengakui tak ada musyawarah desa dalam penetapan APBDes 2020. Hal itu disebabkan adanya permintaan Hernadie untuk menganggarkan proyek jalan sebesar Rp 500 juta. Apabila tak dianggarkan, tak akan disetujui saat verifikasi.

Situasi yang sama juga terjadi di sejumlah desa lainnya. Kesaksian terkait adanya kejanggalan dan dugaan pelanggaran dalam pengelolaan APBDes di sejumlah desa tersebut, tak didalami lebih jauh oleh Kejati Kalteng. Korps Adhyaksa hanya fokus pada keterangan kades yang mengaku dipaksa Hernadie.

Mengenai tuduhan tak ada RAB dan sejumlah kelengkapan lainnya, kepada Radar Sampit, Hernadie yang saat diwawancara masih mendekam dalam rutan mengaku pernah meminta Dinas Pekerjaan Umum Katingan untuk membuat RAB. Akan tetapi, sampai Juni 2020, dokumen yang diminta tak kunjung dibuat. Dia lalu berinisiatif meminta stafnya membuat RAB dan gambar proyek.

Dokumen itu lalu diserahkan pada Honda selaku Ketua Badan Kerja Sama Antardesa (BKAD). Hernadie meminta agar dokumen itu ditandatangani dan kembali diserahkan padanya sebagai arsip dan pada kades lainnya. ”Sampai sekarang dokumen itu disimpan oleh Honda,” ujarnya.

Ketika diminta keterangan dalam sidang, Honda justru tak mengungkap keberadaan RAB itu. Sebaliknya, pernyataannya memberatkan Hernadie. Honda juga dinilai tak konsisten memberikan pernyataan. Keberadaan RAB yang disebut Hernadie ada pada Honda juga tak didalami oleh hakim maupun penyidik jaksa.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Honda menyebut penandatanganan SPK dilaksanakan pada Juni 2020 di Kasongan. Namun, ketika sidang diperlihatkan bukti foto dan kehadirannya pada rapat penandatanganan SPK di Tumbang Sanamang, dia mencabut pernyataannya dalam BAP.

Saat sidang, Honda memberikan kesaksian bahwa pembuatan jalan tembus sebelas desa itu merupakan inisiatif Hernadie. Hal itu bertentangan dengan keterangan Hernadie, bahwa Honda-lah yang menyampaikan padanya, sebelas kades sepakat menggunakan sebagian dana desa untuk membangun jalan.

Informasi dihimpun Radar Sampit, Honda kini terseret perkara dugaan korupsi dana desa dan alokasi dana desa tahun 2020 yang dilaporkan warga ke Polda Kalteng. Pelaksanaan ADD Kiham Batang sebesar Rp 785.424.000 dan pagu DD sebesar Rp 520.662.409, diduga tidak sesuai dengan item kegiatan yang telah ditetapkan. Selain itu, pertanggungjawaban DD dan ADD dibuat fiktif, sehingga berpotensi mengakibatkan kerugian negara.

Selain pengakuan para kades yang disebut palsu, Hernadie juga menyebut Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabul Mustiman berbohong memberikan keterangan dalam BAP, yakni tak tahu ada pekerjaan pembuatan jalan tembus sebelas desa. Kabul mengaku baru mengetahuinya setelah permasalahan itu ramai dibahas di media sosial.

”Padahal, dari awal berkas (terkait proyek) itu pada Maret sudah saya serahkan pada Kadis PMD dan Inspektorat. Tujuannya supaya Inspektorat dan dinas bisa mempelajari mana yang kurang. Tetapi, sampai Desember 2020, sampai selesai pekerjaan tak ada tanggapan, jadi kami anggap betul semua berkas itu, kami anggap tak ada salah,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, Kabul juga pernah mendampingi Bupati Katingan Sakariyas meninjau jalan pada Juni 2020 dan melihat langsung proses pembuatannya. Hal itu dibuktikan dengan foto peninjauan yang memperlihatkan kehadiran Kabul Mustiman.

”Intinya, dia memberikan keterangan palsu. Setelah ada perkara, baru mereka bilang kelengkapan berkas kurang. Kenapa tidak dari awal?” tegas Hernadie.

Dalam kesaksiannya, Kabul Mustiman mengatakan, adanya permasalahan kerja sama antardesa tersebut ketika ada berita ramai di masyarakat maupun di media sosial; Facebook, berupa somasi dari Asang. Setelah itu dirinya bersama Wakil Bupati Katingan mengundang Hernadie dan sebelas kepala desa untuk rapat di Kantor Bupati Katingan pada 15 Desember 2020.

Terkait penunjukan langsung terhadap Asang, Hernadie tak membantahnya. Akan tetapi, hal tersebut merupakan kesepakatan para kades, bukan dia yang menunjuk langsung. Selain itu, dia menerapkan pola yang sama terkait pembuatan jalan tersebut saat pertama kali dibuka pada 2009 silam oleh Camat Katingan Hulu periode 2007-2012, Bakti Gunawan.

Dalam kesaksiannya saat sidang, Bakti Gunawan mengatakan, di masanya, biaya pembuatan jalan tersebut bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD) 21 desa dengan total sebesar Rp 947.610.000. Pembangunan jalan sepanjang 33 kilometer (lebih pendek 10 kilometer dari yang dibuat Asang) itu juga tanpa proses lelang, karena dananya milik masing-masing desa, sehingga pengerjaannya dilakukan warga desa sendiri.

Bakti Gunawan mengaku hanya membantu mencarikan alat berat dan sarana lainnya, seperti minyak untuk operasional, kebutuhan operator alat, dan pengawasan. Anggaran patungan desa sebesar Rp 947,6 juta, digunakan untuk membayar sewa alat dan upah pekerja.

Jalan yang dibuat Asang dengan membuka kembali ruas yang pernah dibangun Bakti Gunawan itu juga jadi salah satu poin yang memberatkan Hernadie. Asang dinilai hanya menggarap ulang jalan yang sudah pernah dibangun. Padahal, keterangan sejumlah saksi menyebutkan, jalan tersebut sudah kembali menjadi hutan karena tak ada perawatan. Bahkan, ada yang ditumbuhi pohon dengan diameter sampai 30 sentimeter.

Nasib Hernadie dan Bakti Gunawan yang menerapkan pola nyaris sama dalam membangun jalan itu berbanding terbalik. Padahal, patungan anggaran desa dalam proyek yang sama saat Bakti Gunawan memimpin Kecamatan Katingan Hulu mencapai 21 desa.

Hernadie tak terima ditetapkan sebagai orang yang bertanggung jawab terkait kerugian negara akibat proyek itu. Menurutnya, orang yang bertanggung jawab dalam penggunaan dana desa adalah kades. ”Kepala desa adalah kuasa pengguna anggaran, sehingga kadeslah yang bertanggung jawab atas semua ini,” tegasnya.

Muchamad Ghufron Taufik, ahli yang dihadirkan JPU Kejati Kalteng dari Inspektorat Katingan mengatakan, berdasarkan audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) yang dilakukannya, ada 12 orang yang bertanggung jawab terkait kerugian negara, yakni Hernadie dan sebelas kades.

Nama Asang muncul belakangan sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab, karena dinilai ikut diuntungkan dari proyek, yakni berupa pembayaran dari sebelas kades. Adapun Inspektorat melakukan audit berdasarkan sejumlah data, yakni kuitansi pembayaran, BAP sebelas kades, BAP Hernadie, BAP Asang Triasha, dan buku rekening masing-masing desa.

Menurut Ghufron, audit dilakukan dengan menghitung jumlah penggunaan dana desa untuk proyek jalan yang telah dibayarkan pada pihak ketiga berdasarkan bukti kuitansi. Kemudian menghitung jumlah potongan pajak yang sudah dikumpul oleh kepala desa atau bendahara desa berdasarkan bukti keterangan saksi dan klarifikasi. Selanjutnya, menghitung kerugian keuangan negara, yaitu dari biaya yang dibayarkan dikurangi dengan potongan pajak, sehingga ditemukan kerugian sebesar Rp 2.107.850.000.

”Atas kerugian negara tersebut, ada yang dikembalikan sembilan kades. Pengembalian berdasarkan hasil pemeriksaan khusus yang pernah dilakukan Inspektorat sebelumnya karena tidak sesuai prosedur. Dari Rp 2.107.850.000, yang sudah dikembalikan kades sejumlah Rp 245.350.000,” kata Ghufron, seperti dikutip dari dokumen sidang.

Ghufron merupakan satu-satunya ahli yang dihadirkan. JPU maupun pihak Hernadie, tak menghadirkan ahli lain, seperti dari kalangan akademisi. Hasil audit Inspektorat juga jadi dasar penetapan kerugian negara yang akhirnya menjerat para tersangka, bukan dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Hernadie juga mempertanyakan sejumlah pihak yang tak dihadirkan untuk memberi keterangan, seperti Bupati Katingan Sakariyas yang mengarahkan pembangunan jalan di ruas itu. ”Seharusnya diminta juga keterangannya,” kata Hernadie.

Hernadie menilai vonis itu tak adil. Melalui kuasa hukumnya, Parlin Bayu Hutabarat, dia mengajukan banding. ”Sepertinya putusan tersebut copy paste (salin tempel, Red) dari tuntutan Jaksa. Hakim tidak menilai fakta persidangan dari saksi-saksi yang kami hadirkan,” kata Parlin, Rabu (9/3), dikutip dari laman prokalteng.jawapos.com (grup Radar Sampit).

Menurut Parlin putusan hakim sama dengan tuntutan jaksa, yakni Hernadie didakwa menyalahgunakan kewenangan. ”Hernadie ini sebagai camat. Tidak ada kewenangan mengelola anggaran, membelanjakan dana desa, dan hal lainnya yang didakwakan jaksa kepadanya,” ujarnya. Radar Sampit menemukan bukti bahwa putusan itu merupakan salin tempel. Pada halaman 185 dokumen vonis terhadap Hernadie, disebutkan bahwa terdakwa dalam kasus itu adalah Sri Yeni Binti Lodoy T Nyangun, bukan Hernadie. Sri Yeni merupakan terdakwa pada perkara lain, yakni dugaan korupsi anggaran Desa Bereng Jun tahun 2018 sebesar Rp 637.463.190.

Mengenai kesalahan penulisan nama itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kalteng Dodik Mahendra mengatakan, hal tersebut hanya kesalahan ketik. ”Typo saja itu,” katanya kepada Radar Sampit, Kamis (24/3). Adapun Kejati Kalteng, juga mengajukan banding terkait vonis Hernadie.

Setali tiga uang dengan Hernadie, Asang yang mengerjakan proyek berang disebut korupsi uang negara dan diuntungkan dari pembayaran para kades yang tak cair sepenuhnya. Alih-alih untung, Asang justru buntung. Dia menderita kerugian sebesar Rp 1.348.140.000.

Mengutip laporan Asang terhadap sembilan kades yang disampaikan ke Polda Kalteng, total biaya yang dikeluarkan Asang sebesar Rp 3.426.500.000 untuk menggarap proyek jalan tersebut. Dia baru menerima pencairan sebesar Rp 2.078.360.000, berbeda dengan perhitungan kerugian negara yang disebut sebesar Rp 2,1 miliar lebih.

”Saya secara pribadi merasa keberatan, karena dalam penegakan hukum yang dilakukan penyidik Kejati Kalteng terasa janggal sekali. Saya dikriminalisasi murni oleh mereka,” kata Asang.

Lisnawati, istri Asang (ralat dari penulisan sebelumnya yang disebut Lisnawi, Red), mengungkapkan, ada permainan hukum yang membuat suaminya dipenjara. ”Kami mau mengerjakan proyek itu karena niatnya untuk membangun daerah dan membantu masyarakat Katingan Hulu. Bukan mencari untung. Kami tak terima disebut korupsi. Fitnah yang luar biasa dituduhkan pada kami,” ujanya, saat ditemui di kediamannya, Tumbang Sanamang.

”Siapa sebenarnya yang korupsi? Megang uang tidak, pejabat bukan, sedangkan kami mengambil upah (mengerjakan proyek). Gara-gara menagih upah dan tak dibayar, lalu (suami saya) jadi tersangka. Jelas ada permainan hukum dalam kasus ini,” tambah Lisnawati lagi dengan suara meninggi.

Lisnawati menegaskan, proyek itu murni dikerjakan untuk membangun dan membuka keterisolasian daerah, mengingat akses di wilayah itu hanya mengandalkan sungai. Tak ada pihak yang diuntungkan, misalnya ada orang yang mendapat fee seperti layaknya perkara korupsi lainnya. Dia mencurigai keterangan para kades dan sejumlah pihak yang memberatkan, sudah diatur sedemikian rupa dengan tumbal suaminya dan Hernadie.

Vonis Hakim Pengadilan Tipikor Palangka Raya juga memastikan Hernadie tak menerima apa pun terkait proyek tersebut. Kerugian negara hanya dari pembayaran terhadap Asang. ”Karena tak ada suap, dipakailah istilah memaksa untuk menjerat Hernadie dan Asang,” ujar salah seorang keluarga Asang seraya meminta namanya tak disebutkan.

Sebagai informasi, proyek yang dikerjakan tanpa praktik jatah pada pihak tertentu jarang ditemukan dalam proyek pemerintahan. Sejumlah kontraktor yang ditemui Radar Sampit, mengaku harus menyetor fee pada pejabat tertentu dengan besaran bervariasi apabila mendapat proyek pemerintah. (bersambung)

loading...

BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 00:45

Uji Kebohongan, Tim Hukum Ujang Dukung Uji Forensik

<p>&nbsp;PALANGKA RAYA - Tim Kuasa Hukum Ujang-Jawawi menyatakan penetapan hasil musyawarah…

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers