NANGA BULIK – Proses hukum terhadap Kepala Desa Kinipan Willem Hengki, dinilai menjadi jalan kelam bagi pedang keadilan. Willem yang kini jadi pesakitan, dikriminalisasi secara terang-terangan. Sidang yang tengah berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palangka Raya mempertegas dugaan tersebut.
Penasihat Hukum Kades Kinipan Waluyo menuturkan, ada upaya Jaksa Penuntut Umum memutarbalikkan fakta untuk menyesatkan publik. Hal itu terlihat dari pernyataan jaksa yang menyebutkan konsultan yang dihadirkan, Tripeno Gresius, disebutkan bekerja bukan berdasarkan observasi di lapangan, namun permintaan terdakwa (Willem Hengki) untuk menyusun rancangan biaya sesuai yang diinginkan.
”Berdasarkan isi rekaman persidangan, informasi yang kami terima dari saksi Tripeno sebagai fakta persidangan menyatakan, ia diminta Desa Kinipan pada 2019 untuk membuat rencana anggaran biaya (RAB) dan gambar pembukaan jalan usaha tani,” katanya, Jumat (8/4).
Waluyo melanjutkan, dalam sidang yang berlangsung Kamis (7/4) tersebut, Tripeno juga memberikan keterangan yang menyatakan, kondisi eksisting waktu dilakukan survei, memang telah ada terbentuk badan jalan yang sudah dikerjakan sebelumnya. Tripeno lalu menghitungnya dengan membuat RAB.
Waluyo mengungkapkan, saat diminta Pemerintah Desa Kinipan, Tripeno diperlihatkan pagu APBDes senilai Rp 400 juta. Begitu dihitung setelah hasil survei lapangan, margin Rp 400 juta tidak bisa dicapai. Maksimalnya hanya mencapai sekitar Rp 350 juta.
”Hitungan 350 juta ini sudah terakumulasi dari perhitungan jalan yang sudah dibuka dan kegiatan pembersihan jalan di tahun 2019,” kata Waluyo mengutip pengakuan Tripeno saat sidang.
Dari pernyataan Tripeno, lanjutnya, sangat jelas selaku konsultan perencana bekerja berdasarkan survei lapangan. Bukan seperti pernyataan dari salah satu JPU yang menyatakan konsultan berkerja tidak berdasarkan observasi, namun permintaan terdakwa.
Selain Tripeno, sejumlah saksi lain juga dihadirkan untuk memberikan keterangan, yakni Ratno (mantan Direktur CV Bukit Pendulangan) dan Dedi Gusmanto selaku Direktur CV Bukit Pendulangan yang baru. Dari keterangan Tripeno dan Ratno, pihaknya mendapat gambaran bahwa pembayaran yang dilakukan Willem Hengki selaku Kades Kinipan ke CV Bukit Pendulangan pada 2019, merupakan pembayaran utang desa atas pekerjaan di tahun 2017.
”Kasus ini masih terus bergulir di persidangan. Walaupun mulai terlihat intrik-intrik jahat untuk memenjarakan Kades Kinipan semakin terang, kami akan tetap mengawal persidangan ini sampai selesai,” tegasnya.
Sementara itu, salah seorang JPU Okto Silaen saat dikonfirmasi usai sidang mengatakan, Tripeno Gresius selaku konsultan perencana menerangkan bahwa ia dihubungi langsung pihak Desa Kinipan untuk datang ke Desa Kinipan. Tripeno diminta Willem untuk dibuatkan RAB terhadap pekerjaan jalan tersebut hingga mencapai nominal pekerjaan sebesar Rp 400 juta.
Namun, lanjutnya, Tripeno hanya bisa membuat RAB sebesar total Rp 350 juta. RAB tersebut digunakan Willem Hengki untuk dicantumkan dalam APBDes 2019. Saksi juga menerangkan bahwa pekerjaan itu bisa saja memakan biaya di bawah harga perkiraan yang dibuat.
Kemudian, kata Okto, saksi kedua adalah Anggota DPRD Lamandau Ratno (mantan Direktur CV Bukit Pendulangan) selaku pihak ketiga yang mengerjakan proyek. Menurut Okto, dari pengakuan Ratno, pada 2017 pekerjaan tersebut tidak dilaksanakan sesuai prosedur. Dalam pelaksanaannya tidak dilakukan pelaporan progres pekerjaan, tidak mencantumkan biaya riil yang digunakan dan tidak ada serah terima pekerjaan.
"Dasar saksi (Ratno, Red) dalam melakukan penagihan hanyalah perjanjian yang dibuat saksi dengan kades terdahulu. Saksi juga tidak melakukan penagihan di tahun 2018 dan tidak melakukan upaya hukum di tahun 2018. Saksi lebih memilih untuk menunggu hingga terdakwa terpilih sebagai Kades Kinipan yang baru. Saksi juga mengakui bahwa di tahun dan tempat yang sama, yaitu Desa Kinipan, memiliki tiga proyek lain yang masuk ke dalam APBDes dan sudah dibayarkan,” ujarnya.
Saksi ketiga, lanjut Okto yang juga menjabat Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Lamandau ini, Dedi Gusmanto mengaku hanya disuruh Ratno untuk menagih terdakwa. Uang tersebut untuk membayar utang pajak CV Bukit Pendulangan.
”Dedi melakukan penagihan di akhir tahun 2019, di mana posisi saat itu, pekerjaan tersebut telah dianggarkan di APBDes Kinipan, namun saksi menolak menjawab siapa yang berperan memasukkan pekerjaan tersebut ke dalam APBDes Kinipan tahun 2019,” ungkap Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Lamandau tersebut.
Saat dihubungi, Ratno mengatakan, pekerjaan tersebut dia kerjakan sebelum dirinya menjadi anggota DPRD Lamandau. ”Tadi saya sudah memberikan kesaksian, membenarkan bahwa pekerjaan itu memang ada, bukan fiktif," tegasnya.
Dia menambahkan, sesungguhnya negara tidak dirugikan atas pekerjaan pembangunan jalan tersebut. Justru dirinya yang dirugikan karena pekerjaan sudah selesai dikerjakan tahun 2017, namun pembayarannya berlarut-larut hingga 2019. Nilainya juga tidak sesuai rencana, yakni awalnya Rp 400 jutaan, namun hanya dibayar sekitar Rp 300 jutaan.
”Kami sudah melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur dan mengikuti sesuai dengan RAB yang diberikan Pak Kades Emban pada tahun 2017 . Pada 2018 kami melakukan upaya penagihan kepada saudara Karya, tapi saat itu beliau hanya pejabat sementara dan anggaran dana di tahun 2018 sudah dialokasikan untuk pembangunan yang lain. Akhirnya kami menunggu kades definitif untuk melakukan penagihan kembali," ujarnya.
Kesaksian Ratno sekaligus membantah pernyataan Inspektorat Lamandau yang sebelumnya menyatakan telah turun memeriksa ke Desa Kinipan pada Februari 2020, di mana kondisi Jalan Pahiyan tidak dapat dilalui walau dengan berjalan kaki sehingga sama sekali tidak bermanfaat. Tim inspektorat juga menganggap pekerjaan tahun 2019 adalah fiktif dan telah memberikan rekomendasi agar terdakwa menagih pembayaran pekerjaan tersebut dari rekanan, namun hal tersebut tidak dilakukan terdakwa. (hgn/mex/yit/ign)