SAMPIT – Dibukanya kran ekspor minyak goreng diharapkan berdampak pada membaiknya harga beli tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Pasalnya, dalam sebulan terakhir, petani kelapa sawit terpuruk karena menghasilan yang anjlok akibat harga TBS merosot.
”Semoga dengan dibukanya keran ekspor, tidak ada lagi alasan tidak menerima dan mematok harga murah untuk TBS warga,” kata Ady, petani sawit di Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Jumat (20/5).
Dia mengungkapkan, dalam beberapa pekan terakhir, pihaknya kesulitan menjual TBS. Ada sejumlah pabrik penerima menolak membeli TBS warga dengan alasan stok minyak sawit mereka tidak tertampung jika menerima dari luar. Pabrik hanya bisa mengolah dan menampung buah milik sendiri.
”Kemarin, alasan PKS (pabrik kelapa sawit) tidak menerima karena stok CPO mereka melimpah dan tidak ada lagi tempat penampungannya sejak ekspor dilarang. Tapi, per Senin nanti, ketika keran ekspor dibuka, kami berharap harga lebih baik dan TBS diterima,” ujar Ady.
Sementara itu, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Kabupaten Kotim mencatat, kebijakan larangan eskpor sebelumnya berdampak buruk terhadap petani. Harga jual TBS dari sebelumnya Rp 3.500, anjlok menjadi Rp 1.500 – Rp 1.700. Kondisi itu membuat petani kian terjepit. Apalagi untuk harga pupuk, herbisida, dan sejenisnya masih tinggi.
”Harga pupuk, herbisida, dan lainnya tidak ada penurunan, sehingga dengan harga Rp 1.700 itu tidak sebanding dengan biaya operasional kebun kami,” kata Harnes, Sekretaris Apkasindo Kotim.
Berdasarkan data statistik perkebunan angka tetap tahun 2017 Dinas Pertanian Kotim, kebun kelapa sawit swadaya di Kotim tercatat seluas 24.625 hektare, sedangkan kebun plasma yang bermitra dengan perusahaan besar swasta mencapai 41.834 hektare.
Dari angka tersebut, bukan tidak mungkin pada 2021 luasan perkebunan kelapa sawit swadaya dan mitra perusahaan semakin jauh meningkat. Hal itu bisa dilihat dari animo masyarakat mengembangkan dan membudidayakan tanaman kelapa sawit tersebut. (ang/ign)