Pangeran Ratu Sultan Imanuddin, Sultan ke-IX menyampaikan amanah: “Kudirikan Negeri Sukabumi Kutaringin Baru Pongkalan Bu’un untuk anak-anakku, cucu-cucuku, keturunanku, dan orang-orang yang mau berdiam di negeriku dalam Pengkuan Kesultanan Kutaringin”
KOKO SULISTYO, Pangkalan Bun
Tepat 25 Juli 2022 Kota Pangkalan Bun ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat telah berusia 216 tahun. Diusianya yang mencapai 2 abad lebih itu, tidak banyak yang tahu kapan hari jadi Pangkalan Bun.
Menelusuri jejak berdirinya Pangkalan Bun tidak lepas dari sejarah Kesultanan Kutaringin di masa kepemimpinan Sultan ke-IX Sultan Imanuddin. Di masa itulah nama Pangkalan Bun resmi digunakan.
Nama Pangkalan Bun aslinya bernama Sukabumi Kutaringin Baru Pongkalan Bu’un. Nama Pongkalan Bu’un disebut Sultan sebagai bentuk penghormatan terhadap penduduk lokal yang bernama Bu’un yang dinilai berjasa untuk Kesultanan Kutaringin.
Perpindahan pusat pemerintahan yang sebelumnya berada di Kutaringin (kini Kotawaringin Lama) ditandai dengan mendirikan tiang Sangga Buana pada 9 Jumadil Awal 1221 Hijriah atau hari Jumat tanggal 25 Juli 1806.
Saat ini tiang Sangga Buana tersebut telah tumbang ketika terjadi hujan deras dan angin kencang beberapa tahun silam. Namun petilasan tiang tersebut masih terawat dengan rapi hingga saat ini.
Diwaktu bersamaan dengan pendirian tiang Sangga Buana tersebut, sekaligus dilakukan pembangunan Istana Lawang Kuning di Bukit Indra Kencana yang kini menjadi ikon kebanggaan masyarakat Kobar dan tujuan destinasi wisata budaya dan sejarah.
Untuk mengenang jasa Sultan Imanudin, namanya saat ini diabadikan sebagai nama jalan dan rumah sakit di Kota Pangkalan Bun. Sultan Imanudin sendiri dimakamkan di pemakaman raja-raja Kutaringin, tepatnya di kubah kecil tidak jauh dari Istana Kuning Pangkalan Bun.
Sayangnya, hari dimana lahirnya Pangkalan Bun kini mulai terlupakan, tidak ada perayaan seperti HUT Kotawaringin Barat atau HUT Kotawaringin Lama. Padahal Pangkalan Bun menjadi cikal bakal Bumi Marunting Batu Aji.
Kerabat Kesultanan Kutaringin, Pangeran Muasjidinsyah memberikan perhatian besar terhadap hal itu, harapan tersemat agar HUT Kota Pangkalan Bun dapat dirayakan meriah layaknya hari besar lainnya, sehingga masyarakat luas dapat mengetahui sejarah berdirinya Kabupaten Kotawaringin Barat.
“Kalau dapat dirayakan saya sangat setuju dan mengapresiasi, selama ini belum pernah dirayakan hari jadi Pongkalan Bu’un,” katanya, Senin (25/7).
Ia menyadari tidak adanya perayaan lantaran adanya permasalahan di masa lampau. Meski begitu, ke depan ia berharap momen hari jadi ‘Kota Manis’ ini menjadi agenda rutin setiap tahunnya.
Ia menjelaskan bahwa pada waktu itu sangat riskan, hanya karena hari jadi kabupaten sempat dipermasalahkan dengan beragam versi. Mudah-mudahan ke depan semua kerabat kesultanan, pemerintah daerah bisa berkumpul bermusyawarah mufakat membicarakan dan bersama-sama membentuk panitia.
Pria yang akrab disapa Ama Pangeran ini kemudian sedikit mengulas bagaimana sejarah berdirinya kota Pangkalan Bun yang tidak terlepas dari keberadaan Kesultanan Kutaringin.
Sebab kota ini secara resmi didirikan pada masa pemerintahan Sultan ke-IX Pangeran Imanudin, setelah sebelumnya sempat berpusat di Kotawaringin Lama.
Berdasarkan arsip resmi dan catatan sejarah, Kota Pangkalan Bun didirikan pada tanggal 9 Jumadil Awal 1221 Hijriah atau 25 Juli 1806. Cikal bakal ibukota Kobar ini ditandai dengan pendirian tiang Sangga Buana di Bukit Indra Kencana.
Pangeran Muasjidinsyah melanjutkan, sejatinya nama resmi yang diberikan oleh sultan kala itu yakni Soekaboemi Pongkalan Bu’un, namun lambat laun mengalami perubahan penulisan menjadi Pangkalan Bun. Nama Bu’un sendiri disebut oleh sultan sebagai bentuk penghormatan kepada penduduk lokal yang berjasa untuk Kesultanan Kutaringin.
“Kudirikan negeri Sukabumi Kutaringin Baru Pongkalan Bu’un untuk anak-anakku, cucu-cucuku, keturunanku, dan orang-orang yang mau berdiam di negeriku dalam Pengkuan Kesultanan Kutaringin”. Pengkuan itu berarti bingkai. Jadi Pangkalan Bun ini terbuka buat siapa saja, tapi tetap mengikuti adat istiadat setempat. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” ucapnya.
Di samping itu, ia juga mengaku sepakat apabila tiang Sangga Buana yang sempat roboh beberapa tahun silam dibangun dan didirikan kembali sebagai bentuk ungkapan syukur dan tanda persatuan. “Setuju, itu butuh kayu ulin yang utuh sebijian (tanpa sambungan),” pungkasnya. (*/sla)