Setelah melalui perdebatan dan perhitungan serta diskusi alot, Upah Minimum Provinsi (UMP) Kalimantan Tengah tahun 2023 akhirnya ditetapkan sebesar Rp3.181.013. Jumlah itu naik sebesar 8,7 persen atau Rp258 ribu dibanding UMP 2022 yang sebesar Rp2.922.516. Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 188.44/448 /2022 tentang UMP Kalteng Tahun 2023 itu dibacakan Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalteng Farid Majedi, Senin (28/11).
Fairid mengatakan, UMP Kalteng 2023 ditetapkan dengan mempertimbangkan beberapa variabel, di antaranya pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Pertumbuhan ekonomi Kalteng tercatat 7, 25%, kemudian inflasi gabungan September 2021 – September 2022 sebesar 8,12%. Kemudian, indeks Tertentu yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dengan nilai tertentu. ”UMP hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun pada perusahaan yang bersangkutan,” katanya.
Dia menekankan, perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari ketetapan UMP dilarang mengurangi dan/atau menurunkan upah pekerjanya, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari UMP, kecuali bagi pelaku usaha mikro dan usaha kecil yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Farid melanjutkan, perusahaan menyusun dan memberlakukan struktur dan skala upah dalam menentukan besaran nilai yang dibayarkan bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih. Keputusan itu mulai berlaku pada 1 Januari – 31 Desember 2023. Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalteng Frans Martinus menolak kenaikan tersebut, lantaran bertolak belakang dengan UU Cipta Kerja. Menurutnya, selama dua tahun pemerintah tidak boleh melakukan perubahan apa pun, karena hal tersebut bisa membahayakan dunia usaha.
”Kami menolak formula penerapan aturan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Tapi, kami tidak menolak kenaikan yang sesuai sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yakni berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflansi,” ujarnya. Dia menegaskan, Apindo tidak hanya bicara pada kepentingan pengusaha, tetapi juga kepentingan nasional, baik pekerja, pemerintah, kepastian hukum, hingga investasi.
”Kami menolak lantaran formulanya selalu berubah-ubah. Kami tidak menolak kenaikan, tetapi formula atau aturan penetapannya tidak boleh diubah-ubah. Makanya kami juga akan gugat Permenaker Nomor 18 Tahun 2022. Kenaikan itu cukup berat,” ujarnya. Ketua Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan Konferensi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP PP KSPSI Kalteng) Nasarie mengapresiasi kenaikan tersebut. ”Ini merupakan sejarah bagi kami dalam dua tahun terakhir, bahwa kenaikan tersebut sangat ditunggu. Ini memuaskan dan memacu semangat kami pekerja untuk bekerja lebih baik,” ujarnya. (daq/ign)